Reynand berjalan dengan langkah cepat memasuki sebuah rumah megah di mana tempat itu adalah kediaman sang pengantin wanitanya mempersiapkan diri untuk menghadiri janji suci pernikahan mereka. Taman yang berada di belakang kediaman Sheryl memang tempat yang sengaja dipilih sebagai tempat pelaksanaan acara penting sekali seumur hidup bagi kedua insan yang terpaksa mendapatkan takdir ini.
Kebahagiaan itu hanya milik Reynand. Dia adalah orang pertama yang menginginkan hal itu. Namun, kali ini tampaknya pria itu sudah sangat tidak sabar. Dia datang seorang diri tanpa keluarganya. Memakai kaus oblong berwarna hitam berpadu jins biru belelnya.
Beberapa orang melihatnya dengan tatapan heran, tapi mereka tidak berani bertanya karena raut wajah Reynand terlihat sangat serius. Ia terus berjalan dengan langkah tegap menuju tangga yang menuntunnya hingga ke sebuah lorong dan seketiia berhenti pada salah satu pintu.
Tanpa mengetuk terlebih dulu, pria itu menekan handelnya. Di dalam ruangan itu, terlihat seorang wanita menghadap cermin meja riasnya. Wajahnya terpantul sangat cantik, tapi kesedihan tampak sangat jelas pada kedua matanya. Ia sedang dirias oleh Irene—seorang make up artist, sahabat wanita itu, dan juga merupakan salah satu karyawannya di kantor Pradipta Corporation. Di dekat Irene, berdiri seorang pria lainnya—Farhan—perancang busana—yang juga merupakan sahabat baik Reynand.
Farhan menoleh dengan bola matanya yang sedikit menyipit melihat air muka ketegangan pada wajah tampan Reynand. Berbanding terbalik dengan penampilannya yang begitu santai berpakaian kasualnya.
"Rey, akhirnya kau datang. Ayo, pakailah setelan jasmu. Semua sudah kusiapkan untukmu, mempelai pria yang berbahagia!" seru Farhan seraya memberikannya setelan jas pengantin laki-laki.
"Far, Ren, bisa tinggalkan aku dan Sheryl berdua saja sekarang?" pinta Reynand dengan wajah serius. Memandang satu per satu manusia yang berada di sana, tak terkecuali Sheryl. Wanita itu buru-buru menyeka air matanya yang sempat berlinang dengan sehelai tisu yang ada di depannya. Ia ikut mengarahkan pandangannya ke arah Reynand.
Farhan dan Irene saling pandang bingung. Reynand begitu serius meminta mereka keluar dari tempat itu. Irene yang masih bingung dengan ucapan bosnya lalu menyunggingkan senyum.
"Pak Rey, anda sudah tidak tahan rupanya berduaan saja dengan calon istri," celetuk Irene menggoda bos Pradipta itu.
"Saya tidak sedang bercanda, Ren. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan calon istri saya," jawab Reynand.
Irene terdiam. Dia tidak berani membalas perkataan Reynand. Wanita itu segera membalikkan badannya berjalan keluar. Namun Farhan tampaknya tidak peduli dengan perintah sang sahabat. Sorot mata Reynand kembali menatapnya serius.
"Aku serius, Far. Bisa tinggalkan kami?" ujarnya sedikit memohon.
Walau tidak mengerti apa yang sedang terjadi, Farhan terpaksa melangkah menuju pintu keluar. Namun saat jaraknya begitu dekat dengan Reynand, dia menepuk bahu pria itu dari depan.
"Walau aku tidak mengerti mengapa kau menyuruh kami pergi, aku harap kau tidak melakukan hal gila yang menyangkut masa depanmu. Sudah cukup bermain-main, Rey," ucapnya lirih.
Reynand tidak menyahut. Tubuhnya bergeming saja seraya memandang sosok wanita yang dicintainya itu kini sudah duduk membelakangi meja riasnya. Tatapan mereka saling beradu. Namun, tidak ada sepatah kata pun hingga Farhan akhirnya keluar dari kamar sang mempelai wanita.
"Ha-hai, Rey," sapa Sheryl begitu canggung. Senyumnya terulas dengan terpaksa. Namun Reynand tetap diam membisu, tidak menjawab sapaan Sheryl.
Beberapa saat kemudian, pria itu tiba-tiba saja berujar, "Ada yang ingin aku bicarakan, Sher."
"Apa?" balas Sheryl lirih. Nada suaranya begitu lembut hingga nyaris tidak terdengar.
"Aku sudah memikirkannya semalaman ...." Reynand menggantung kalimatnya. Hal itu membuat Sheryl bertanya-tanya dalam hati kalimat apa yang terlontar setelahnya.
"Memikirkan apa?" Kembali Sheryl bertanya dengan penuh tanda tanya besar di kepalanya.
Reynand tidak segera menjawab, dia berjalan mendekat. Menyeka sisa-sisa air mata di kedua sudut mata Sheryl dengan jarinya. Memegangi kedua bahu wanita itu dan menuntunnya berdiri hingga wajah mereka begitu dekat, hanya berjarak beberapa sentimenter. Tanpa basa-basi, kemudian merengkuh mempelai wanitanya ke dekapannya yang bidang. Sheryl yang bingung hanya bisa menurut, tapi ia tidak membalas pelukan hangat pria itu.
"Ayo kita hentikan pernikahan ini!" bisik Reynand lirih dengan mata yang hampir berair di sana.
Kalimat itu membuat Sheryl terkesiap mendengarnya. Buru-buru menarik tubuhnya dari dekapan sang calon suami. Reynand mungkin sudah gila. Pria itu mengatakan hal penting di saat mereka akan resmi menjadi pasangan suami istri kurang dari satu jam lagi.
Reynand memandang Sheryl dengan senyuman yang paling tulus yang pernah dilihat wanita itu selama ia mengenalnya. Tiba-tiba dengan bibir bergetar ia mengatakan sesuatu yang kembali membuat Sheryl terkejut.
"Aku memang mencintai dan menyayangimu, tapi aku juga menyayangi saudara tiriku. Perkataan Baruna semalam sudah menyadarkanku, kalau kalian berdua sangat berharga bagi hidupku."
"Maksudmu?"
"Maafkan aku, Sheryl. Bukannya aku tidak ingin bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Namun aku sadar kalau sudah menghancurkan hubungan kalian. Sekarang belum terlambat. Kamu masih bisa mengejarnya sebelum ia pergi dari Indonesia," ujar Reynand seraya melirik jam tangannya.
"Rey ...."
Tidak terasa air mata Sheryl meleleh. Bukan! Bukan tangisan sedih lagi kali ini. Namun, sebuah tangisan haru yang menghampirinya. Sheryl memandang wajah Reynand yang begitu teduh. Membalas senyuman yang tulus untuknya.
Sheryl lalu memeluk Reynand selama beberapa detik, kemudian melepaskannya. "Rey, terima kasih ... terima kasih banyak .... Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu," katanya dengan mata berbinar-binar. Reynand hanya mengangguk. Matanya terlihat berkaca-kaca.
"Pergilah! Kejar dia! Jika ia menolakmu, saat itu, kau harus rela menjadi istriku," sahut Reynand dengan air mata yang keluar dari kedua sudut matanya. Perkataannya adalah ucapan yang sia-sia saja. Faktanya, ia sangat tahu bagaimana kedua insan itu saling mencintai. Mereka tidak akan pernah terpisahkan walau apapun yang terjadi.
Sheryl menyunggingkan senyumnya. Tanpa mengucap sepatah kata pun, kepalanya mengangguk. Ia mengusap air mata yang mulai jatuh menggelinang pada pipi Reynand. Sedetik kemudian ia pun berjalan dengan tergesa-gesa pergi memakai gaun pengantin berwarna biru muda. Gaun yang begitu cantik, yang membalut tubuhnya.
Kriiing!
Suara keras alarm ponsel membangunkan Reynand. Kedua matanya sontak terbuka. Secara tiba-tiba bernapas dengan sangat cepat. Mimpi itu kembali datang. Kenangan hampir enam bulan lamanya kembali masuk ke dalam mimpinya seminggu terakhir ini.
Reynand yang terkejut segera beranjak dari ranjang berkelambu miliknya. Muka bantalnya tidak berpengaruh sama sekali atas wajah tampannya yang masih tetap tampan dalam keadaan sadar sekalipun. Tubuhnya malah makin membuat iri siapapun yang melihat. Ia hanya memakai celana pendek dan membiarkan setengah tubuh bagian atas terbuka. Memperlihatkan otot-otot perut yang kencang. Pria itu meneguk air putih dalam gelas dengan terburu-buru.
"Haish! Mengapa mimpi itu lagi?" batinnya sedikit kesal.