"Aku- sedang menengok temanku," mata Igho liar karena ia sedang berbohong. Kata-katanya sedikit canggung ragu untuk membalas pertanyaan ayahnya lagi.
Sebelum ayahnya melontarkan banyak pertanyaan lainnya, Igho pun balik bertanya sambil mengangkat satu alisnya.
"Ayah sendiri sedang apa di sini?" ketus Igho dengan mata yang sangat sinis.
Manaf tetap santai, mengingat dia berdiri di tempat umum dan tidak bisa memberi pelajaran pada Igho yang sudah bertingkah tidak sopan.
"Ayah sedang menengok teman juga. Ya sudah, ayo ikut ayah untuk pulang!" ajak Manaf pada Igho mengabaikan semua pandangan sekitar yang menyaksikan perbincangan mereka di tengah ruangan informasi.
"Teman? Teman yang mana? Tidak! Igho tidak mau pulang bersama ayah. Igho bawa motor sendiri kok!" elaknya.
"Kamu tak usah tahu, ayah bertemu dengan siapa. Kalau begitu ayah pergi duluan saja!" Manaf nampak kesal menaikan jasnya yang sedikit melorot. Lalu mereka pun lenyap bersamaan meninggalkan Igho sendirian di tempat yang asing itu.
Igho terdiam melihat ayahnya begitu dingin terhadapnya. Ia hanya bisa diam sambil meremas tangannya jengkel. Lalu Igho membiarkan waktu berlalu beberapa saat saja, agar dia tidak pulang dan berpapasan dengan ayahnya lagi di jalanan.
***
Keesokan harinya, Igho melampiaskan kekesalan pada ayahnya dengan menenggelamkan dirinya di lingkar lapangan besar.
Beberapa formasi lengkap temannya dan di iringi dengan dribbling bola basket, ia memantulkan bola berwarna orange bercorak hitam memutari bola itu. Lalu ia menggiring bola itu sambil melangkah, melewati beberapa lawan yang menyiapnya.
"Lepar sini Gho!" ujar salah satu temannya yang sangat akrab di sebut dengan Zayyan Shaka. Pria tinggi melebihi tinggi Igho yang selalu membantu Igho dalam hal sekecil apapun.
Mereka solid karena sedari kecil, mereka ada dalam satu sekolah yang sama.
Hingga terus beurutan sampai kuliah pun Zayyan menitik langkah Igho yang selalu menginfirasinya.
Tangan Zayyan sudah mengembang, siap menangkap bola yang akan di ajukan oleh Igho.
Tapi, niat Igho untuk passing atau mengoper bola, tiba-tiba ia urungkan ketika ekor matanya mendelik ke arah seorang yang berjalan di bibir lapangan.
Dribble itu semakin kuat ia lancarkan hingga suara pantulan sangat menggema membuat sorot mata tertuju pada bola itu.
Dalam hitungan ketiga dalam hatinya, Igho mulai melempar.
Tuiiiiiing!
Prak!
Bukan keranjang ring yang mendapat hantaman pashing dari Igho, melainkan kepala lancip Alyn yang sedang berjalan santai dengan temannya di pinggiran lapang.
"Aawwww!"
Sontak bintang-bintang berkerumun di atas kepala Alyn, membuatnya meremas kepalanya, dan mengernyitkan pandangannya.
Dunia terasa berputar dan orang sekitar seperti semakin mendekat hendak menerjangnya.
"Hei, Kalian! Apa yang kalian lakukan?" teriak teman Alyn yang bernama Kris Anjar.
Teriakannya sontak menarik perhatian team basket yang tinggi besar.
Kepala Alyn yang mendapat lemparan dari Igho, malah Anjar yang membela dan ikut naik darah melihat tingkah laku Igho yang jelas terlihat di sengaja.
Igho dengan langkah tegak santai berjalan menuju ke arah Anjar dan Alyn yang masih mengaduh kesakitan.
Alih-alih meminta maaf, setelah Igho berada di depan mata Alyn dan Anjar malah menengadahkan tangannya. " Kembalikan bolanya!" Ketus Igho mendesak Anjar yang sedang mengekang bola basket itu di bawah ketiaknya.
"Apa? Kembalikan? Gak punya budi banget sih lo?" Sahut Anjar menyolot hingga tangannya harus di tarik oleh Alyn untuk menghentikan langkah Anjar yang sedang berkobar amarah.
Anjar sebenarnya wanita yang baik, tapi ketika ada orang yang menyakiti temannya, ia tak bisa berdiam diri melihat Alyn seperti teraniaya.
Anjar mendongak ke arah Alyn, menantikan arahan Alyn, karena di sana Alyn yang lebih berhak menindak Igho di bandingkan dirinya.
Alyn terdiam dengan matanya masih keleyengan. Sejenak ia memejamkan mata, untuk mengumpulkan kekuatannya kembali.
"Berikan saja bolanya!" balas Alyn tanpa reaksi.
"Apa? Berikan saja? Semudah itu?" tanya Kris Anjar yang jelas-jelas malah ia yang tak terima atas kelakuan Igho yang semena-mena terhadap temannya.
Meskipun Igho salah satu bintang basket di kuliahannya itu, dan hampir beberapa kali menggiring nama baik Universitasnya ke kancah Nasional, tapi ia tak perlu setinggi itu menindas wanita-wanita lemah.
Anjar yang sedikit mempunyai perangai tomboy langsung melinting lengan kemejanya sampai sikut, dan mengeratkan gigi putihnya tak sabar ingin memberi pelajaran pada Igho.
Tapi lagi-lagi Alyn mendorong Anjar. " Sudahlah, aku baik-baik saja kok, berikan bolanya dan ayo kita pergi!" ujar Alyn hanya bisa mengelus dadanya rapi.
Tingkah Alyn yang tak sama dengan pertemuan pertamanya dengan Igho, jelas mengundang pertanyaan besar di benak Igho.
Mungkin karena Alyn sedang kalut dan pikirannya hanya penuh memikirkan kondisi ibunya yang tak kunjung membaik, membuat bibir Alyn yang cerewet, periang dan sangat manis seketika hilang.
Igho menyimpan sebongkah pertanyaan pada wanita aneh di depannya, apalagi setelah ia ingat masih menyimpan kain merah muda bekas balutan lukanya pada tragedi tabrakan itu.
Igho heran melihat Alyn yang tidak menyerangnya balik. Justru Igho menyimpan dalam rasa ketertarikannya dan menambahkan keisengannya untuk menggoda alyn.
"Hei, wanita culun. Apa hari ini kamu tidak membawa mulutmu?" goda Igho dengan suara ketir.
Alyn mulai menaikan pandangannya dan mulai ketus menyambar pertanyaan Igho yang aneh. "Aku bawa. Cuman aku sedang tidak ingin bicara!" balas Alyn dengan santai lalu melewatkan Igho berjalan meninggalkan gerombolan team basket yang semakin memadati bibir lapangan.
Tersisalah Anjar di tempat ia berdiri sedari tadi sambil menyilangkan tangannya di atas dada.
"Heh, makannya kalau belum bisa main basket mending tidur siang saja!" sindir Anjar masih geli ingin membalas rasa sakit yang diperoleh Alyn beberapa menit yang lalu.
"Hei, jaga mulutmu!" sambar Zayyan membela Igho. Tak terima Igho di hina seperti itu, Zayyan nampak berjalan maju menghampiri Anjar. "Jadi cewek tuh feminim dikit dong! Setiap orang pasti bisa berbuat salah, mungkin lemparan Igho tadi meleset, emangnya seumur hidupmu kamu tak pernah berbuat salah?" balas Zayyan membalas sindiran yang di lontarkan oleh Anjar.
Anjar segera menyeka rambutnya yang terjuntai menutupi matanya. Ia merasa tak percaya diri setelah di umpat bahwa dirinya tidak feminim.
Meski dalam hatinya ia ingin seperti Alyn yang sangat feminim dan cantik, tapi kenyataannya dia bertingkah urakan melebihi lelaki umumnya membuatnya hilang kepercayadirian.
Mata Anjar semakin berkeling menahan diri untuk tetap membalas pria yang nyolot di hadapannya.
"Meleset atau di sengaja?" sentak Anjar sedikit ragu membalas, tapi tak mau kalah menambah sindirannya.
Tapi Igho langsung menarik baju Zayyan yang semakin cekcok lebih ramai lagi melempar sindir-sindiran.
"Udah Yan! Kita main aja lagi!" Sambar Igho tak memperdulikan Anjar, dan hanya keheranan melihat Alyn yang pergi secara misterius.
Bersambung ...