Unduh Aplikasi
95.45% Romantika Gadis Kontrak / Chapter 63: Chapter 63 Masalah

Bab 63: Chapter 63 Masalah

Akamura berdiri di depan Hikari, matanya menatap tajam seperti mencoba menembus pikirannya. Suaranya berat dan tegas saat berbicara. "Nona, singkirkan dia saja dan tinggalkan. Dia memang selalu begitu," ucapnya, tanpa menunjukkan sedikit pun keraguan.

Hikari tertegun, tetapi dia mencoba tetap tenang. Dengan hati-hati, dia mengajukan pertanyaan. "Apa kamu orang tua Nian?" Suaranya terdengar bergetar meskipun ia berusaha untuk tegar.

Namun, bukannya jawaban langsung, Akamura malah memicingkan matanya. Pandangannya semakin tajam, penuh curiga. "Kenapa kau tahu nama putraku?" tanyanya, nadanya dingin dan menuntut jawaban.

Hikari terkejut. Jantungnya berdegup kencang, dan pikirannya langsung dipenuhi kekhawatiran. "(Oh tidak, aku tidak tahu jika orang tua Nian adalah seorang yakuza... Apa yang terjadi? Apa yang harus aku lakukan?!)" pikirnya panik.

Namun sebelum Hikari sempat menjawab, Akamura mengeluarkan sebuah pistol dari balik jasnya. Gerakan itu cepat dan pasti, membuat suasana yang sudah tegang menjadi lebih mencekam.

Mata Hikari membelalak lebar. Nafasnya tertahan. Ia tidak pernah menyangka bahwa pria ini akan mengarahkan senjata itu langsung ke kepalanya. Nian, yang masih memeluk erat tubuh Hikari, sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi. Anak itu terlalu sibuk dengan rasa takut kehilangan ibunya.

Hikari membeku. Tubuhnya terasa berat, sulit untuk bergerak. Matanya gemetar, menatap moncong pistol yang begitu dekat dengannya. "(Apa yang harus kulakukan? Apa aku akan mati di sini? Tidak mungkin... Ah, dia kesal karena menganggap aku dulu mengambil Nian. Tidak mungkin...)" pikirnya, rasa takut menguasai dirinya.

Ia menutup matanya perlahan, pasrah dengan apa yang akan terjadi. Namun, saat itu juga, Akamura berhenti. Tatapannya berubah. Dia memandangi Hikari dan Nian cukup lama, seperti sedang menimbang sesuatu.

"(Melihat Nian yang sangat erat memeluknya, dan memanggilnya sebagai ibu... Apa gadis ini benar-benar orang yang merawat Nian ketika Nian menghilang? Kenapa Tuan Kage tak mau membicarakannya? Sebaiknya aku cari tahu sendiri,)" pikir Akamura dengan wajah yang sulit ditebak. Setelah beberapa saat, dia menurunkan pistolnya dan memasukkannya kembali ke dalam sakunya.

Dengan suara berat, dia memberi perintah kepada anak buahnya. "Bawa dia."

Hikari yang mendengar itu langsung terkejut. "Tidak, tunggu... Aku tak mau masalah!!" teriaknya panik. Namun, orang-orang itu sudah mendekat, dan sebelum ia sempat melarikan diri atau membela diri, tubuhnya sudah diapit dan digiring oleh mereka. Nian tetap memeluk Hikari erat, tangisnya semakin keras.

Hikari mencoba melawan, namun usaha itu sia-sia. Tatapan Akamura tetap dingin, seperti batu yang tidak bisa digoyahkan. "(Apa yang akan mereka lakukan padaku? Apa aku akan selamat? Kage... tolong aku...)" pikir Hikari, hatinya dipenuhi ketakutan dan kebingungan saat mereka membawanya pergi.

--

Terlihat Hikari perlahan membuka matanya. Penglihatannya masih sedikit kabur, namun dia bisa merasakan dinginnya lantai di bawah tubuhnya. Saat pandangannya mulai jelas, dia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan besar yang megah namun terasa suram, dihiasi perabotan mahal dengan dominasi warna gelap yang menciptakan aura dingin dan menekan. Tepat ketika ia mencoba bangun dan duduk, perasaan aneh menjalar di pergelangan tangan dan kakinya. Ketika ia melihat ke bawah, tubuhnya ternyata terikat dengan erat menggunakan tali kuat, membuat napasnya tertahan sejenak. Keterkejutannya seakan memuncak, "Apa yang?!"

Di depan ruangan itu, duduk seorang pria dengan aura dominan. Akamura bersandar dengan tenang di kursi kulit hitam di balik meja besar yang terlihat seperti milik seorang pemimpin. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menatap Hikari dengan ekspresi serius yang hampir tak berperasaan. Pencahayaan redup di ruangan itu semakin mempertegas garis wajahnya yang tegas dan tajam. Tatapan dingin dari pria itu seakan menyayat, membuat jantung Hikari berdegup semakin kencang. Dia benar-benar merasa terintimidasi, bahkan sebelum Akamura mengucapkan sepatah kata.

Akamura bangkit perlahan dari kursinya, langkahnya tenang namun berat, menciptakan gema kecil di lantai marmer. Dia mendekati Hikari dengan ekspresi tanpa ampun, pandangannya tertuju langsung ke matanya seperti menembus ke dalam pikirannya. Ia berlutut di depannya, hanya beberapa inci dari wajah Hikari, hingga hawa dingin dari tubuh pria itu terasa menusuk. "Nian terus berteriak memanggilmu layaknya kau melahirkannya, padahal kau hanya merawatnya. Apa kau bisa mengaku? Kau yang telah membawa Nian?" tanyanya dengan suara rendah namun penuh tekanan. Nadanya terdengar seperti orang yang terbiasa memerintah, hampir tak memberi ruang untuk bantahan.

Tubuh Hikari gemetar hebat. Suaranya seolah tercekat di tenggorokan. "Um..." Dia berusaha mencari kata-kata, meski pikirannya kalut. "I...iya, aku... aku yang merawatnya..."

Akamura mengangkat salah satu alisnya, tatapannya berubah sedikit tajam. "Lalu kenapa kau tidak memberikan Nian padaku secara langsung? Beraninya kau menyuruh Tuan Kage untuk mengantarkannya padaku. Itu adalah hal yang paling merepotkan untuk pria sibuk sepertiku." Dia menghela napas sebentar, lalu kembali menatap Hikari, seolah ingin menguliti setiap lapisan pertahanannya. "Tapi pertanyaanku, kenapa Tuan Kage yang memberikannya padamu?!"

Hikari menundukkan kepalanya, matanya penuh kecemasan. "Em... um... aku... hanya..." Namun, sebelum kata-kata itu selesai, tubuhnya semakin bergetar di bawah tekanan tatapan Akamura yang tak kenal ampun. Pria itu menghela napas panjang, suaranya bergema di dalam ruangan yang hening.

Mendadak, dia memegang dagu Hikari dengan tangannya yang besar, membuat Hikari terperanjat. Sentuhannya bukan kelembutan, tapi penuh kendali. Dia memiringkan wajah Hikari sedikit, seperti sedang mempelajari seseorang yang hendak dijatuhkan hukuman. "Aku sudah banyak mencari wanita yang mau mengasuh Nian, tapi Nian terus menolak," katanya dengan nada berat, penuh kejengkelan. "Bahkan kekasihku sendiri tak tahan dengan bayi itu. Dia sampai memutuskan hubungan denganku." Kalimat itu terdengar datar, namun penuh ironi yang pahit. "Sekarang aku hanya menjadi orang sendiri yang merawat Nian. Bayi itu terus saja melakukan hal yang menjengkelkan dan terus saja berteriak memanggil ibu... padahal ibunya sudah lama mati," katanya sambil melepaskan pegangannya dengan kasar, membuat kepala Hikari sedikit terayun ke samping.

Hikari hanya bisa terdiam, matanya membelalak penuh keterkejutan. "(Fakta apa yang aku dengar ini?)" pikirnya dalam hati. Pikirannya bercampur aduk antara rasa takut dan tidak percaya.

Akamura melangkah mundur sedikit, masih memandanginya dengan tatapan tajam. "Karena Nian sudah memanggilmu ibu, maka...."

Namun, sebelum dia dapat menyelesaikan kalimatnya, suara keras menginterupsi suasana tegang itu. "Ibu!!!"

Hikari terkejut mendengar teriakan itu, dan pandangannya langsung teralihkan ke arah pintu. Nian, anak kecil dengan rambut hitam yang sedikit berantakan dan mata penuh air mata, berlari masuk ke ruangan. Wajahnya yang polos tampak penuh kecemasan. Tanpa ragu, Nian langsung mendekat ke arah Hikari, memeluknya dengan erat sambil terisak. "Ibu... hiks... hentikan Ayah...." Tangisnya terdengar pilu, seolah-olah dia telah menyimpan beban besar yang tak mampu ditahannya lagi.

Reaksi Nian itu membuat Hikari kaget dan tidak bisa bergerak untuk beberapa saat. "(Oh tidak, bagaimana ini? Dia pasti berpikir aku benar-benar memaksa Nian memanggilku ibu...)" pikirnya dalam hati. Dia melirik ke arah Akamura, yang kini wajahnya terlihat lebih gelap, seperti menahan amarah yang hampir meluap.

Beberapa orang bawahan masuk dengan tergesa-gesa, tampak kehabisan napas setelah mengejar Nian. "Tuan Muda..." ucap salah satu dari mereka, suaranya terdengar ragu.

Akamura menatap mereka dengan penuh kemarahan. "Apa yang kalian lakukan di sini?! Kenapa kalian membawanya kemari?!" Bentakan itu menggema, membuat para bawahan itu hanya bisa menunduk dalam ketakutan.

Di tengah situasi itu, Nian memeluk Hikari lebih erat, wajah kecilnya menempel di bahu wanita itu. Dia berbisik dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Ibu, hentikan Ayah. Dia terus marah-marah... aku sangat takut..." Air mata Nian membasahi pakaian Hikari.

Mendengar bisikan itu, hati Hikari serasa hancur. "(Astaga, Nian. Aku benar-benar tak percaya dengan kehidupan yang kamu jalani setelah kita berpisah. Sebagai seseorang yang menjaganya, aku tentu harus mengetahui hal ini dan membela Nian...)" pikirnya. Dia merasa ada dorongan kuat di dalam dirinya untuk melindungi anak itu.

Dengan tekad yang terkumpul, Hikari memberanikan diri berbicara. "Hei!" panggilnya kepada Akamura, yang langsung menatapnya tajam dengan alis terangkat.

"Tidak seharusnya kau berteriak di depan anak kecil," lanjut Hikari dengan nada tegas, tatapannya penuh keberanian meski tubuhnya masih sedikit gemetar.

Hal itu membuat Akamura semakin menatap tajam. Tapi begitu dia melihat Nian yang tampak ketakutan, dia langsung terdiam dan menghela napas panjang. "Nian, lepaskan dia!" perintahnya.

Namun, Nian membalas, "Tidak, Ayah! Dia adalah Ibu!!!" teriaknya lagi.

Mendengar itu membuat Akamura kembali terdiam. Dia sekali lagi menghela napas panjang, memikirkan banyak hal, lalu langsung mengambil sebuah kertas dan menjatuhkannya tepat di depan Hikari, yang melihat bahwa itu adalah sebuah kontrak. Hikari terkejut.

"Nian menjadi seperti itu karena kau. Aku sudah banyak mengajarinya untuk menjadi penerus organisasi ini agar dia besar nanti tidak gampang menangis dan cengeng seperti itu. Karena kau datang dan membuatnya begitu, kau harus bertanggung jawab lagi merawatnya. Kau akan menjadi ibu untuknya sementara... dan istri sementaraku," kata Akamura.

Seketika Hikari terkejut. "Tu... tunggu... tapi... tapi aku sudah... menikah!" tatapnya.

"Aku tak peduli. Pasanganmu pasti hanya orang biasa yang tak akan bisa menyaingi kuasaku. Jika kau tak mau, aku akan memaksamu, mengurungmu di rumahku sampai tak ada yang mengenalimu..." ancamnya, membuat Hikari semakin panik.

"(Ba...bagaimana ini? Bagaimana dengan Mas Kage? Mas Kage sedang menyelesaikan pekerjaan nya... mungkin... ini akan baik-baik saja...)"

"Ibu..." Nian menatap Hikari dengan tatapan polos dan memohon, membuat Hikari menghela napas panjang, pasrah. "Baiklah, hanya sementara, kan?" tatap Hikari. Akamura mengangguk, dan beberapa orang segera melepaskan ikatan tangan Hikari. Di sisi lain, Hikari khawatir dengan kondisinya. "(Aku sedang hamil muda, apakah ini baik-baik saja? Aku berada di lingkungan yang sangat terancam. Aku harap aku kuat... demi Nian...)" Dia menatap Nian dengan khawatir.

Lalu Akamura berkata, "Kau akan pulang bersama asistennya. Pastikan untuk menjaga Nian dengan baik..." Dia menunjuk seorang pria yang berdiri di belakang Hikari.

"Aku adalah Esten, asisten Tuan Akamura, dan penjaga Tuan Muda Nian. Akulah yang sebelumnya menjaga Tuan Muda di rumah," katanya dengan nada datar.

"(Ugh, pantas saja Nian tidak betah, orangnya saja seperti itu...)" pikir Hikari, terdiam tidak enak.

"Untuk ke depannya, mari aku antar ke kediaman Tuan Akamura. Lalu aku akan mengajakmu berkeliling," lanjut Esten.

Hikari berdiri dan menatap Nian, yang juga menatapnya. "Ibu..." Nian tampak khawatir.

"Ibu baik-baik saja, jangan khawatir," Hikari memeluk Nian dan menggendongnya dengan tenaga kuat, lalu berjalan mengikuti Esten. Akamura hanya menatap mereka pergi.


next chapter
Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C63
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk