Tak berapa lama kemudian, ada seorang pria kecil paruh baya. Pria itu menatap mereka; dia melihat mereka yang sedang berpelukan dengan sangat sedih. Hikari tampak berkaca-kaca, dan Kage merasakan beratnya suasana di sekitar mereka.
"Hikari!!!" Pria itu terkejut dan sadar telah memanggil nama Hikari.
"(Dia tahu nama Hikari?)" Kage terdiam dan langsung menoleh lebih dulu. Rasa ingin tahunya tentang hubungan antara Hikari dan pria ini tampak menguat.
"Kau benar, Hikari, kan?" Pria itu mendekat sambil memegang tangan Hikari, menggenggamnya dengan lembut seolah tak ingin melepaskannya.
"Paman Luo?" Hikari juga teringat, wajahnya menampakkan campuran antara kebahagiaan dan kesedihan. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ingin jatuh.
"Sudah kuduga kau masih ingat aku. Kau sudah sebesar ini ya, rupanya. Bahkan lebih cantik dari ibumu," ujar Paman Luo sambil tersenyum. Senyumnya mengingatkan Hikari pada kenangan indah masa kecilnya.
"Paman Luo, terima kasih... Sudah lama tidak bertemu," jawab Hikari, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.
"Ya, waktu itu umurmu masih 5 tahun, bukan?" kata pria itu, nostalgia menghiasi suaranya. "Masih ingat saat kita merayakan ulang tahunmu di restoran? Semua teman-temanmu datang, dan kau sangat senang."
Hikari tersenyum kecil, "Iya, aku ingat. Paman membuatkan kue yang sangat besar dan enak. Kue putih dengan buah-buahan dan stoberi segar di atasnya. Itu kue favoritku."
"Haha, kue itu selalu menjadi favoritmu. Dan saat itu, kau tampak seperti bintang. Semua orang menyukaimu," kata Paman Luo sambil tertawa lembut. "Hidup memang penuh kenangan manis, tapi kadang kita juga harus menghadapi kesedihan."
Lalu Paman Luo menatap Hikari dalam-dalam. "Siapa dia, Hikari?" tatapnya penuh rasa ingin tahu, sambil melirik Kage yang berdiri agak jauh. Kage merasa sedikit canggung, tidak tahu bagaimana memperkenalkan dirinya.
Ketika Kage akan menjawab, Hikari langsung menyela. "Dia hanya teman! Dia hanya menemani ku," balasnya, membuat Kage terkejut. Ekspresi wajah Kage menunjukkan betapa dia merasa terasing dalam percakapan ini.
"Oh, begitu ya... Baik sekali menemani mu," Paman Luo mengangguk paham. "Memiliki teman di saat-saat sulit sangatlah penting."
Kage akhirnya mengambil langkah maju, mencoba memperkenalkan diri. "Senang bertemu dengan mu. Hikari padahal tidak pernah menceritakan tentang Paman."
"Oh benarkah, tidak apa, aku juga tak terlalu penting dalam kehidupan Hikari."
"Oh, paman, jangan begitu..." tatap Hikari sambil menggeleng.
Lalu Paman Luo kembali menatap ke Kage. "Kau beruntung bisa bersahabat dengan Hikari. Dia gadis yang baik," jawab Paman Luo, dengan nada yang tulus.
"Astaga Paman..." Hikari semakin berwajah malu.
"Tapi kenapa kalian berada di sini? Apakah ada yang terjadi?" tatap Paman Luo sekali lagi.
Hikari menunduk sejenak, lalu menghela napas. "Kami datang untuk mengunjungi makam ibu dan ayah. Rasanya... rasanya sangat berat."
"Oh, sayangku," kata Paman Luo, merasakan kepedihan dalam suara Hikari. "Ibumu adalah wanita yang luar biasa. Dia selalu mengingatmu dan mencintaimu. Aku masih ingat saat dia mengajakku ke restoran dan berbagi cerita tentangmu."
Kage yang merasa hampa mengamati Hikari. "(Ibu Hikari pasti sangat mencintainya. Aku tahu betapa pentingnya keluarga bagi dia,)" gumamnya dalam hati.
Hikari menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. "Aku sangat merindukannya, Paman. Kadang aku merasa sepi tanpa dia. Kakak juga semakin jauh dengan ku, aku merasa hal yang paling aneh ini adalah ketika aku benar benar dewasa, semuanya mulai terasa sepi dan sakit, terkadang aku ingin kembali menjadi seorang gadis kecil yang bisa melihat ibu dan ayah..."
Paman Luo menepuk bahu Hikari lembut. "Merindukan seseorang yang kita cintai itu wajar. Tapi ingat, Hikari, dia akan selalu ada dalam hatimu. Dan kamu bisa membagikan kenangan indah tentangnya kepada orang-orang di sekitarmu."
Kage mengangguk setuju. "Itu benar Hikari. Kita bisa merayakan kenangan indah bersamanya. Mungkin kita bisa membuat buku tentang dia, mengumpulkan semua cerita dan kenangan kita."
Hikari menatap Kage, sedikit terkejut. "Itu ide yang bagus, Mas Kage. Aku ingin berbagi semua kenangan bersamanya, bagaimana dia mengajarkanku banyak hal dan membuatku tersenyum."
"Dan kita bisa memasukkan resep-resep dari restoran yang pernah Paman buat," kata Paman Luo dengan antusias. "Itu pasti akan menjadi sesuatu yang spesial. Akan menyenangkan menghabiskan waktu bersama lagi, Hikari. Mari kita buat kenangan baru sambil mengenang masa lalu."
Kage melihat interaksi antara Hikari dan Paman Luo, merasa seolah dia baru saja memasuki dunia baru yang dipenuhi dengan kasih sayang dan kenangan. Dia tahu bahwa meskipun ada kesedihan di antara mereka, ada juga harapan dan kekuatan yang bisa tumbuh dari kenangan tersebut.
"Ah, apa Paman masih membuka restoran itu?" tanya Hikari, berusaha mengalihkan pembicaraan dari kesedihan.
"Haiizz, jika ingin mendengarnya, ikutlah ke rumahku, Hikari," kata Paman Luo. "Ada banyak cerita yang ingin ku bagikan tentang restoran dan tentang ibumu."
Kage terdiam mendengar nya. "Mungkin kita bisa mendengar lebih banyak tentang sejarah restoran itu. Apa yang membuatnya begitu spesial?"
Paman Luo tersenyum bangga. "Restoran itu bukan hanya tempat untuk makan, tetapi juga tempat di mana banyak orang berkumpul, berbagi cerita, dan menciptakan kenangan. Ibumu sangat terlibat di dalamnya. Dia selalu berusaha untuk membuat setiap pelanggan merasa seperti di rumah."
Hikari menambahkan, "Aku ingat, ibu selalu berkata bahwa makanan yang baik harus disertai dengan kasih sayang."
"Dan itu terbukti," kata Kage. "Aku selalu merasa hangat setiap kali Hikari menceritakan tentang restoran itu."
Paman Luo mengangguk setuju. "Itulah kekuatan makanan. Ia bisa menyatukan orang, membawa kembali kenangan, dan menciptakan momen-momen berharga."
Kage kemudian bertanya, "Apa ada hidangan khusus yang selalu diingat oleh pelanggan?"
"Ah, banyak sekali! Tapi ada satu hidangan yang selalu menjadi favorit, yaitu wonton yang dibuat dari resep keluarga," jawab Paman Luo dengan semangat. "Ibumu bahkan pernah mengajarkan cara membuatnya kepadaku."
Hikari menambahkan, "Aku ingin lebih banyak belajar cara membuatnya agar lebih enak juga, Paman."
Suasana di sekitar mereka mulai terasa lebih hangat. Meskipun ada rasa kehilangan, tetapi ada juga semangat baru yang tumbuh di antara mereka.
"Itu bagus.... Tapi, bisa aku tahu lebih jauh tentang siapa pria ini?" Paman Luo menatap Kage yang terdiam. Matanya penuh pertanyaan. Suasana di ruangan itu terasa tegang; cahaya lembut dari lampu menggambarkan bayangan di wajah mereka, menciptakan nuansa yang mendalam dan serius.
Hikari yang mendengar pertanyaan itu menjadi terkejut; jantungnya berdebar, dan pikirannya berputar. Dia tak tahu harus apa, jadi dia hanya bisa bertanya, "Paman, memangnya kenapa? Apa ada sesuatu yang aneh dengan dia? Bukankah aku sudah bilang bahwa dia hanyalah teman?" Suara Hikari bergetar, mencerminkan kekhawatirannya akan penilaian Paman Luo.
"Hm... Kenapa tidak membawa teman perempuan saja?" Tiba-tiba saja, Paman Luo tampak curiga pada Kage yang masih terdiam. Ekspresi Paman Luo menunjukkan bahwa dia sedang mempertimbangkan semua kemungkinan, menciptakan ketegangan yang menyelimuti ruangan. Kage merasakan pandangan tajam itu, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang menghalanginya untuk berbicara.
"(Kenapa situasinya jadi begini? Kupikir aku hanya ikut pada perkataan Hikari saja. Dia yang tidak mau mengakui aku... Apa aku harus mengakui hubungan kita? Tidak, tunggu, dia hanya bertanya soal siapa aku dan kenapa Hikari membawaku.) Sebenarnya, aku adalah rekan kerja Hikari..." balas Kage dengan sedikit bumbu berbohong, suara Kage rendah dan tenang, tetapi ada getaran ketidakpastian di dalamnya. Kata-katanya terucap pelan, seolah dia berusaha meyakinkan bukan hanya Paman Luo, tetapi juga dirinya sendiri. Hikari menatapnya dengan tatapan campur aduk, tak yakin apa yang harus dia rasakan terhadap kebohongan ini.
"Kami bekerja di perusahaan yang sama, dan aku sering membantu Hikari dalam hal apapun. Aku juga melindunginya, dan hanya aku yang bisa mengobrol dengannya. Di kota, Hikari tampak susah jika bertemu dengan orang lain, jadi aku hanya orang yang bisa mengobrol dengannya. Kami tidak lebih dari teman dekat; dia membawaku kemari karena dia percaya padaku bahwa tempat ini adalah tempat rahasia yang hanya boleh diketahui olehku, yang merupakan teman terpercaya-nya..." kata Kage. Dia benar-benar pandai mengatakan itu, meskipun jauh di lubuk hatinya, dia ingin mengatakan hubungan mereka dengan Hikari yang saling menjalin cinta.
"Oh, itu baik sekali... Tapi, tidak ada cinta, kan?" Tiba-tiba Paman Luo melirik hal itu, membuat Kage terdiam berpikir. Paman Luo seolah mampu membaca gelombang emosi di antara mereka, menciptakan atmosfer yang semakin tegang. Kage hanya bisa melirik ke Hikari yang menggeleng dengan keringat dingin, seolah-olah dia tak mau Paman Luo tahu hubungan mereka, karena sudah terlihat jika bicara soal cinta, reaksi Paman Luo seperti tak mengharapkan ada cinta di antara mereka. Senyuman Hikari menipis, digantikan oleh ekspresi cemas yang tak bisa dia sembunyikan.
Kage yang masih terdiam kemudian menjawab, "Tidak ada.... Tapi, kenapa bicara soal cinta? Kenapa kau bisa berpikir ada cinta, Paman?" Kage menatap.
Lalu Paman Luo menghela napas panjang, dia lalu memegang tangan Hikari yang terdiam. "Hikari.... Gadis yang sangat bersih; orang tuanya memberkati dia dengan memberikan nama yang sangat indah... Dia juga tumbuh menjadi gadis yang indah. Dan aku sebagai orang tua keduanya merasakan kekhawatiran jika dia harus berhubungan dengan seseorang.... Dia adalah dewi cahaya yang suci, namanya akan selalu ada, dan dia tumbuh menjadi gadis yang cantik. Aku tak mau ada seseorang menodainya, meskipun orang itu baik sekalipun..." kata Paman Luo.
Hikari yang mendengar itu menjadi tersenyum lembut, tapi Kage malah memancarkan aura suram; bibirnya tampak menurun kecewa. "(Jadi, itu alasanmu... Hikari,)" dia tampak sangat kesal. Mau bagaimana lagi, dia yang berusaha untuk mendapatkan cinta Hikari yang tidak mempercayainya, kini tahu alasan lain Hikari tak mau mempercayainya secara cepat.
"Kalau begitu, ayo ke tempat ku sekarang, maaf menghambat," kata Paman Luo lalu Hikari mengangguk, ketika Paman Luo berjalan duluan, Hikari memegang tangan Kage yang masih terdiam dengan lirikan dingin.
Hikari mencoba menatap memohon pada Kage hingga akhirnya mereka berjalan.
Saat mereka berjalan menuju rumah Paman Luo, Hikari merasakan beban di hatinya sedikit berkurang. Dia tahu bahwa meskipun ibu tidak ada di sampingnya, cinta dan kenangan akan selalu hidup melalui mereka.