[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Karya orisinil Ookamisanti_ jikapun ada kesamaan mohon maaf dan mungkin tidak sengaja.
><><><
"Aku tahu, Papa," jawabku dengan lesu. Seketika tubuhku terasa lemas. Aku sudah menduga apa yang akan papa katakana. Papa pasti akan kembali menghukumku.
"Bagus. Dengarkan baik-baik! Data yang kau hilangkan tadi adalah data penting, data perusahaan yang papa buat selama berbulan-bulan. Dengan mudahnya kau menghilangkan data itu. Papa tidak tahu kamu sengaja melakukannya atau tidak, tapi mungkin kali ini hukumanmu akan lebih spesial," ujar papa. Ancaman yang cukup membuatku mati berdiri, bagaimana tidak? Aku tahu sekali arti dari kata spesial ini. Kata spesial yang papa maksud adalah hukuman yang nanti ia berikan semakin berat, menyakitkan dan mungkin akan membuatku tak bisa lagi melihat dunia ini. Aku hanya bisa menerima semua hukuman menyakitkan.
"Hukumanmu selama seminggu ya?" Aku membelalakkan mata. Papa akan memberiku hukuman selama seminggu? Sehari saja sudah membuatku hampir mati, apalagi seminggu? Mungkin 3 hari kemudian aku sudah ada di dalam tanah.
Dengan suara pelan, aku mencoba untuk menolak, "Ja-jangan, Pa. Jangan seminggu."
"Jangan? Kau tidak mau?" tanya papa. Kakiku rasanya sangat lemas. Jika papa sudah bertanya dengan tatapan mata tajam seperti itu berarti aku sudah tak bisa menolaknya. Aku pun menundukkan kepalaku.
"Bukan begitu, aku takut dan hukuman Papa terasa menyakitkan," jawabku. Entah mengapa aku menjadi jujur seperti ini.
"Jadi selama ini kau takut dengan Papa?" Aku memejamkan mataku. Mengangguk pelan lalu membuka mataku kembali. "Takut kenapa?"
Ku lihat ia menutup laptopnya lalu mengubah posisi duduknya menjadi menghadapku. Aku mengepal kedua tanganku dengan kuat, mencoba agar tak takut dengan papa.
"A-a … aku … a-a …." Aku tak dapat melanjutkan kata-kataku. Leherku rasanya sakit karena tangan papa yang mencekik leherku dengan kuat, nafasku terasa sesak. Ia terus mencekikku ke atas. Aku melebarkan mataku karena saking sakitnya leherku. Hei, aku tak merasakan kakiku menyentuh lantai, rupanya papa mengangkatku cukup tinggi.
"Ma-maaf!" ucapku terbata-bata. Nafasku hampir habis apalagi papa mengencangkan cekikannya terhadap leherku. Aku sampai megap-megap dibuatnya. Ini sudah keterlaluan. Ku pukul saja tangan papa yang mencengkeram leherku, aku hampir mati di tangan pria ini untuk kesekian kalinya. Semakin lama pukulanku semakin keras saat dia semakin mencengkeram leher ini.
"Hentikan memukul tanganku, Anak bodoh!" omel Papa. Aku bodoh? Bukankah dia yang bodoh? Berani sekali ingin membuatku mati tercekik.
"Ka-kau … kau yang bo-bodoh!" balasku terbata-bata. Karena kesal, aku sampai tak bisa menahan diri untuk melawan pria di depanku ini.
"Coba ulangi, Rei!" suruhnya. Aku hanya diam saja.
"COBA ULANGI, ANAK BODOH!"
BUG!
Aku terjatuh. Aku pun mengatur nafasku yang hampir habis. Kau tahu? Karena tak tahan, aku menendang wajah papaku sampai ia melepaskan cengkeramannya. Lalu tak lama ia menjambak rambutku.
"Beraninya kau merusak wajahku, Keparat!" bisiknya tepat di telingaku. Aku meringis kesakitan saat tangannya menjambak rambutku dengan kuat.
"Le-lepaskan, Bajingan!" balasku.
"Coba ulangi!" bisiknya lagi sambil menarik rambutku ke atas membuat tubuhku ikut terangkat. Kini posisiku sudah berdiri. Aku semakin meringis kesakitan.
"Siapa yang kau sebut Bajingan hah? Papamu sendiri atau dirimu sendiri?" tanyanya. Aku enggan untuk menjawab pertanyaannya. Aku hanya terfokus dengan rasa sakit yang ada di sekitar kepala. Kepalaku rasanya akan terlepas dengan rambutku karena saking kuatnya ia menariknya.
"COBA ULANGI!" suruh pria itu setengah berteriak. Mungkin ia tak berani berteriak dengan keras karena berada di kantor. Ia mungkin takut jika orang-orang di luar sana mendengar bahwa ia sedang menyiksa anaknya sendiri. "Jika aku brengsek, maka kau lebih brengsek dariku. Mengerti?"
Papa kembali mengulangi pertanyaannya. Aku hanya diam sembari memukul, mencubit bahkan mencakarnya agar dia melepaskan aku. Aku pun mengancam, "Aku akan berteriak kalau Papa tidak menjauhkan tangan Papa dari rambutku."
"Kau mengancam? Papa tidak takut!"
"AAARRRGGGHHH … TTTOOOLLLOOONNNGGG ...," teriakku sekeras mungkin.
BUG!
Aku terpelanting jauh sampai menindih meja kantor. Meja tersebut pecah karena tertindih tubuhku. Aku mencoba mengatur nafas yang hampir tak bisa membuatku bernafas beberapa detik lalu. Punggungku pun terasa sakit. Papa menghampiri lalu menghajar wajahku berulang kali. Aku mencoba untuk menghindarinya. Namun dia terus membuat tubuhku kesakitan. Aku pun berteriak sekuat mungkin agar orang di luar sana mendengar.
"Diam!" suruh papa. Aku berteriak sembari menangis. Ku dengar pintu ruangan ini ada yang mengetuk beberapa kali, rupanya papa mengunci pintu. Sepertinya teriakkanku terdengar hingga keluar dan mungkin saja bawahan papa mengetuk-ngetuk pintu itu untuk melihat apa yang terjadi.
Saat aku hendak melarikan diri menuju ke pintu itu, papa menarik pakaianku dari belakang lalu mencekik leherku lagi. Dia berusaha agar aku tak mendekati pintu. "Berisik, Bodoh!" bisik papa.
"TUAN, ADA APA DI DALAM?"
"TUAN, BUKA PINTUNYA!" teriak beberapa orang di luar sana. Saat aku hendak menjawab, Papa menutup mulutku.
"Ah, tidak ada apa-apa. Anakku terjatuh, silakan kalian bekerja lagi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan!" jawab pria tua itu berbohong. Seketika suara riuh di luar sana tak terdengar lagi. Papa kembali berkata kepadaku, "Jika kau berteriak, jangan harap kau bisa pulang ke rumah."
Tak lama papa kembali mencekik leherku dan menjambak rambutku. Lagi-lagi dia mengatakan sesuatu, "Dengar! Kau ini hanya anjing kecilku. Kau harus menuruti semua keinginan tuanmu. Jika kau berkata kasar lagi dan menolak perintahku, jangan harap kau bisa menatap dunia ini lagi. Mengerti?" Ku anggukkan kepalaku. Lebih baik aku menyerah karena dia terus berusaha membuatku menurutinya.
"Bagus." Ia pun melepaskan cengkraman tangannya yang mencekik leherku dan melepaskan cengkeramannya terhadap rambutku. Aku terbatuk-batuk dan mencoba mengatur nafasku yang hampir habis.
"Hei, sini." Aku menoleh, ku lihat ia terduduk di sofa sambil memegang alat P3K. Dengan terpaksa aku menghampirinya. Ternyata dia mengobati luka lebam di wajahku.
"Maafkan Papa! Jika kau tidak melakukan kesalahan, mana mungkin Papa akan melakukan hal seperti ini. Makanya, kau harus lebih berhati-hati jika tidak mau Papa menghukumu, mengerti?" katanya. Aku hanya bisa menunduk sambil menangis. Mendengar ocehannya membuatku ingin membunuh pria ini.
"Papa tidak terima dengan apa yang kau katakan tadi, Rei. Kau memakai kata-kata kasar, Papa tidak terima. Sebagai hukumannya, kau akan dihukum oleh Papa selama sebulan penuh. Papa tidak peduli apakah nanti kau akan tahan dengan hukumannya atau tidak. Kalau kau kembali berteriak meminta tolong dan berteriak kesakitan, Papa akan semakin menyiksamu," ancam papa. Ku anggukkan kepalaku pelan.
Bersambung ...
><><><
ATTENTION : [ Please, jangan lupa tinggalkan komentar dan collection! ]
Arigatou! Thank you! Nuhun! Terima kasih! Obrigada!