"Rinai, dalam bulan ini harus bisa jualan, ya!"
Ucapan Pak Daniel beberapa menit yang lalu berputar terus menerus bagaikan kaset rusak di dalam kepala Rinai. Dia pusing 7 keliling! Ia paham sih, kalau bulan ini harus berhasil menjual 15 unit, tapi tolong… jangan berharap itu terjadi dalam beberapa hari, dong!
Rinai duduk di balik meja dengan otak kusut. Ia cemas. Walaupun sudah sempat diajari Bang Dewa buat jualan, tapi tetap saja, pertanyaan dari konsumen selalu membuat dia merasa bego.
"Kak, lebih enak naik motor matik atau bebek?"
"Kak, kalau aku beli motor sport, kira-kira bisa gak ikut MotoGP?"
"Kak, kapan keluarin motor tipe amfibi? Biar kalau banjir kan tinggal menyesuaikan."
Demi apa Rinai mau resign aja!
Jantungnya berdebar kencang dengan pikiran yang kemana-mana. Entah kenapa, ia merasa sangat cemas.
Ia harus jualan!
Ia harus jualan!
Ia harus jualan!
Tapi, dia gak bisa jualan sama sekali!!!
Apa yang akan terjadi kalau dia tidak menjual satu unit pun sampai akhir bulan?!
Sejauh ini, Rinai memang belum melayani konsumen hampir sama sekali. Dulu pernah sih, coba jualan. Tapi, tiap kali ia malah ditinggal sama konsumen yang lebih memilih dilayani Bang Sutan yang lebih paham, jadi Rinai memilih untuk tidak peduli lagi. Jadi, setelah hari itu, setiap kali konsumen datang ke mejanya dan bertanya brosur motor, ia akan mengarahkan konsumen menuju meja Bang Sutan.
Rinai belum pernah benar-benar jualan, itu masalahnya!
Udah dicoba, gagal, menyerah!
Harusnya Rinai gak menyerah, kan?!
Kalau Rinai tetap konsisten belajar jualan, paling kurang ia pasti akan cukup paham.
Ish!
Rinai memukul kepalanya sendiri dengan pelan.
Bodoh banget, sih, diriku ini!
Menarik napas, ia memutar mata ke seluruh dealer. Dealer mereka cukup ramai pagi ini. Cukup banyak konsumen yang keluar masuk sejak tadi. Ada yang cuma sekadar minta pricelist, cuma bertanya motor yang ready, dan ada juga yang deal buat beli. Sekarang aja Bang Sutan tampak sibuk melayani konsumen.
Dealer Rinai lumayan luas. Berdiri di atas ruko 3 pintu dengan 4 lantai. Dua pintu menjadi khusus showroom, satu pintu sisanya untuk bagian bengkel. Lantai dua ada ruang PDI, rapat, dan ruangan kerja lainnya. Lantai 3 dan 4 digunakan sebagai gudang untuk motor-motor yang mau dijual.
Meski mereka menjual motor, tapi dealer juga menjual aksesoris dan kelengkapan pengendara lainnya, seperti jaket ori atau helm, dan lain-lain.
Dealer ini terletak di daerah sibuk dan strategis. Di bagian depan dealer, terpampang besar dengan penuh bangga nama dealer mereka, "Utama Motor Pekanbaru". Atau sama karyawan, suka disingkat 'UMP' alias Upah Minimum Pekerja. Setiap gajian akan ada celetukan "Kerja di UMP, gaji di bawah UMR".
Iya, gaji pokok Rinai dan yang lainnya belum UMR. Mencapai UMR setelah ditambah bonus dan lain-lain. Sekarang bonus dan lain-lain itu udah dipotong sama Pak William, makanya semua karyawan jadi kalang-kabut.
Sebulan sejak masa kepemimpinan Pak Daniel, semua berubah. Ia mengganti banyak kebijakan, merumahkan hampir sebagian karyawan, dan memberlakukan sistem kerja paksa. Iya, kerja paksa! Pokoknya sampai detik ini Rinai masih terpaksa turun gunung. Gak ikhlas!
Rinai adalah seorang anak introvert yang tidak memiliki jiwa persaingan, membenci keramaian, dan tanpa ada ambisi. Tidak ada semangat, tidak ada minat, dan tak ada hal yang bisa menarik perhatiannya selain literasi. Sekalipun ia ingin sekali menjadi penulis, namun ia belum pernah benar-benar menulis. Entah sekadar posting di blog atau untuk diikutsertakan lomba. Namun, meskipun begitu, hampir seluruh hidupnya ia habiskan untuk berkhayal. Berkhayal menjadi penulis.
Pagi ini, Rinai cuma mau hidup tenang!
Iya, tenang.
Setelah kemarin dia berdebat dengan hatinya sendiri keputusan seperti apa yang akan ia ambil, ia hanya ingin menenangkan otak.
Ia sudah meyakinkan diri untuk bicara pada Pakcik beberapa usulan yang tidak ia setujui. Tidak masalah, itu hal mudah. Ia hanya perlu bicara terus terang tentang isi hatinya. Itu hanya sekadar bicara. Yang perlu ia lakukan hanyalah meneguhkan hati dan membuka mulut, lalu mulai bersuara. Ia yakin, semuanya akan berjalan lancar sesuai rencana.
Manik Rinai bergulir memandang langit yang terhampar di kejauhan. Pagi ini begitu cerah. Bahkan, tak ada selembar awan pun. Biru sepenuhnya, kesukaannya.
Karena ini pagi yang baik, pasti ini hari yang baik pula. Jadi, Rinai tak perlu mengkhawatirkan apapun. Semua pasti baik-baik saja.
Tapi…
"Selalu ada badai setelah hari yang cerah."
Rinai tersentak. Entah pikiran macam apa yang tak sengaja terlintas di kepalanya. Itu hanya sebaris kalimat yang pernah ia baca di suatu tempat.
Rinai menatap langit lagi. Pikirannya kembali kacau. Ia mulai memikirkan hal buruk apa yang akan terjadi?
Hal buruk apa?
Itukah alasan kenapa jantungnya sampai kini tak tenang?
Apa ia tak akan mampu menjual satu unit pun dan berakhir dengan dirumahkan?
Atau Pakcik tersinggung karena Rinai tak setuju dengan idenya dan menolak menjadi mentornya lagi?
Atau… apa Embun akan kena PHK?
Duh!
Apaan sih jadi mikir buruk gini?!
Gak boleh! Gak boleh!
Nanti malah dikabulkan Tuhan jadi kenyataan.
Rinai terlalu parno, ih!
"Dek, ambilkan Kakak STNK atas nama ini."
Rinai mendongak dari buku penjualan yang sedang ia isi. Di depannya, duduk seorang marketing rekrutan Pak Daniel yang ia bawa dari perusahaan lamanya. Namanya Kak Maya. Umurnya sudah 36 tahun sehingga menjadi salah satu marketing paling senior di sana. Ia tinggi, dengan tubuh kurus dan wajah yang runcing. Ia lalu menyodorkan buku catatan yang berisi nama konsumen.
"Ini semuanya, Kak? Banyak loh, 7 orang."
"Iya," jawab Kak Maya.
"Surat kuasanya bawa kan?"
Kaka Maya menggeleng. "Gak ada."
Rinai mengernyit. "Kalau gitu suruh konsumennya aja, Kak, yang jemput," kata Rinai akhirnya.
"Nggak bisa do Dek, rumah konsumennya jauh."
"Tapi kalau STNK emang gak bisa di wakilkan Kak, kecuali Kakak ada surat kuasa."
"Rumah konsumennya jauh. Masa Kakak jemput dulu surat kuasanya ke sana. Mending sekalian aja. Nanti Kakak mintain sama konsumennya pas ngantar."
"Tapi tetap ga bisa, Kak. Soalnya ini STNK. Ga bisa serahkan sembarangan."
"Kenapa pula gak bisa? Di dealer Kakak yang lama bisa kok. Lagian kan kasian juga konsumen jemput jauh kayak gini."
"Beda dealer kan beda aturan, Kak. Kalau tetap mau wakilin, harus ada surat kuasa yang udah ditandatangani pakai materai, dan berisi pernyataan bahwa konsumen memberikan kuasa untuk kakak mengambilkan STNK-nya."
"Ya gak mungkin pula lah jemput surat jalan doang ke sana. Bolak-balik kayak gitu."
Rinai mendesah. Nih orang susah banget sih dibilangin.
"Tapi emang gak bisa kalau diwakilkan, Kak. Ini STNK soalnya. Surat berharga."
"Masa gak bisa?! Orang di tempat lain bisa-bisa aja. Gak cuma di dealer ini aja saya pernah kerja, ya!"
"Harus ada surat kuasa atau harus konsumennya yang jemput. Gak bisa di wakilkan gitu aja. Mana Kakak mintanya lebih dari satu konsumen."
"Ya, kan nggak saya salahgunakan. Saya serahkan langsung ke konsumen hari ini juga."
"Tetap gak bisa, Kak. Kakak harus bawa surat kuasa dulu. Udah itu aturannya," ucap Rinai. Final. Dia gak mau berdebat lagi. Ia berdiri dan memutuskan melangkah pergi ke pantry untuk ambil air minum. Tapi sayangnya, cuma Rinai yang berpikir demikian.
BRAK!
"APA PULAK GAK BISA?! KAN CUMA AMBIL STNK AJA INI!" Kak Maya berteriak marah. Ia melempar buku catatannya ke atas meja dengan kuat dan menarik perhatian semua orang yang ada di sana.
Rinai terlonjak. Jantungnya serasa mau copot. Ia langsung membeku di tempat. Demi apa tu orang mendadak kesambet!
"Kenapa nih?" Bang Dewa yang baru saja keluar dari pantry langsung bertanya. Wajahnya agak kesal dan bingung.
"INI, NGAMBIL STNK AJA NGGAK BOLEH! KAYAK MAU SAYA LARIKAN AJA STNK TU!" Suara marketing itu menggema dengan keras ke sepenjuru dealer. Matanya menatap Rinai dengan nyalang.
"Tapi kan emang gak bisa loh, Bang." Rinai membela diri. "Nggak bisa kan bang STNK konsumen diwakilkan?" Rinai beralih ke Bang Sutan yang datang mendekat.
"Bisa diwakilkan, tapi harus bawa surat kuasa atau KTP asli. Soalnya itu kan surat berharga," jelas Bang Sutan.
"Nah, kan udah saya bilang. Kakak gak bawa apapun, cuma minta gitu aja. Banyak lagi, 7 konsumen. Mana bisa!"
"KAN UDAH DIBILANG RUMAH KONSUMEN JAUH! KALAU NGGAK, KAU AJA YANG ANTAR KE SANA!"
Darah Rinai mendidih. Otaknya serasa ingin meledak.
APA URUSANNYA SAMA RINAI SAMPAI HARUS ANTERIN KEPERLUAN KONSUMEN SAMPAI KE RUMAHNYA?!
"Ya kalau nggak ada surat kuasa atau KTP asli, gak bisa lah diambil, Kak. Nanti kalau hilang dan segala macam, siapa yang mau tanggung jawab?!" Bang Dewa ikut bersuara.
"Gak mungkin pulak lah kuhilangkan! Ada-ada aja otak kau, ni!"
"Dulu pernah ada kejadian kayak gitu masalahnya, Kak. Makanya sejak itu gak diizinkan lagi diwakilkan kecuali ada pegangan buat kita," jelas Bang Sutan.
"Kakaknya gak ada bawa surat kuasa, Bang. Cuma ditulis di buku catatannya aja," ujar Rinai.
"Kalau gitu tetap gak bisa. Kalau konsumen gak bisa ngambil, seenggaknya harus ada KTP atau surat jalan," kata Bang Sutan lagi.
"Aneh-aneh aja lah dealer ni! Baru kali ini aku minta STNK gak dibolehin. Dah kayak hebat kali kalian jualan."
"Ya, emang gak bisa, Kak. Udah aturan dealer kami kayak gini. Nggak bisa lah Kakak banding-bandingin sama tempat sebelumnya," balas Bang Dewa, tampak tersinggung.
"Kalau mau mewakili untuk ambil surat-surat kendaraan, kan udah ada syaratnya. Kalau gak ada syaratnya yang dibawa, kami gak bisa ngasih. Udah aturan kami di sini kayak gitu, gak bisa dinego lagi," tegas Bang Sutan.
Marketing itu menatap nyalang ke mereka bertiga, dengan wajah yang masih merah padam, ia berbalik pergi.
Di sisi lain, napas Rinai terasa sulit dan sesak. Jantungnya seakan diremas kencang dan menyakitkan. Ini pertama kalinya ia diperlakukan seperti ini.
"Udah Nai, lanjutin aja kerja. Dia kok yang salah, bukan kita. Nanti kalau berulah lagi dia, laporin aja ke Pak Daniel."
Rinai mengangguk, kaku. Ia kembali melangkah ke pantry dengan gamang. Pikirannya mendadak kosong. Ia butuh waktu untuk akhirnya mengerti bahwa barusan ia dipermalukan di depan umum oleh seorang marketing. Ia akhirnya sadar, kalau saja tadi Bang Sutan dan Bang Dewa tidak membantunya, ia pasti sudah habis dicaci maki.
Sial! Sial!! Sial!!
Dia kesal! Marah! Benci!
Matanya mendadak panas dan mulai berair. Dalam diam, ia tergugu. Ia lalu berjongkok dan memeluk dirinya sendiri, sembari menyandarkan tubuh ke dinding pantry.
Dari balik tembok yang memisahkan bagian depan dan belakang dealer itu, Rinai masih bisa mendengarkan percakapan di luar sana.
"Kenapa dia, Bang?" Itu suara Kak Julita, admin AR. "Kaget aku loh, main gebrak-gebrak meja gitu. Mana suaranya kenceng lagi, kedengeran lo sampe ke atas." Ruangannya di lantai dua, bersebelahan dengan ruangan lama Rinai.
"Manusia gak punya etika emang gitu. Aku lagi ambil air di pantry aja terkejut. Kupikir motor jatuh pas nurunin unit." Bang Nandra terdengar masih kesal.
"Bikin malu aja. Jelas lagi ada konsumen. Konsumen aku sampe bilang 'Kok gak ada etika, gitu dia?'. Malu aku jadinya," Bang Sutan menahan kesal. "Untung aja Pak Daniel lagi di luar. Kalau gak, habis dia tu."
"Marketing yang dibawa Pak Daniel ni kayak gak ada yang beres. Sesama mereka aja saling licik," sahut Kak Julita lagi.
"Hati-hati aja lah. Perasaan aku gak enak sama marketing-marketingnya Pak Daniel ini. Data-data konsumen kau amankan, Sutan. Nanti dicuri pulak konsumen dealer sama mereka," kata Bang Dewa.
"Aman. Aku juga udah hati-hati kok dari awal."
Percakapan itu terputus di sana. Rinai memilih untuk mengabaikan obrolan mereka.
Ia menarik napas dalam. Jantung berdebar kencang dan terasa sesak. Tangannya bergetar. Ini pertama kalinya Rinai diperlakukan seperti itu. Dipermalukan di depan umum.
Rinai mendekap mulut dengan kepalan tangan. Tanpa bisa dihentikan, air mata menganak sungai di pipinya.