Seminggu kemudian, Rinai sudah duduk dengan cantik di sofa ruang tamu rumah Pakcik. Di atas meja ada laptop yang sengaja ia bawa, buku catatan, air jeruk, dan beberapa kudapan. Pakcik sendiri duduk nyaman di sofa tunggal sambil melihat hasil dari PR yang ia berikan sebelum berangkat ke luar kota kemarin.
"Jadi, premis cerita kamu ini, tokoh utamanya mengejar pembunuh ayahnya?"
"Iya, Pakcik."
Pakcik mengangguk-angguk. Ia membalik halaman lain dan kembali membaca dengan seksama.
"Berarti udah paham lah ya, premis itu apa?"
"Udah, hehe…." Rinai meringis.
"Tapi, ada yang saye pikirkan sejak kemarin. Kenapa nama tokoh utamanya 'Selasa'?"
Rinai tergelak pelan. "Bukan, Pakcik," katanya, "itu codenamenya sebagai pembunuh bayaran."
Pakcik manggut-manggut. "Terus, kenape tak pilih yang lebih keren aja? Pakai bahasa inggris. Kayak James Bond, Double M, gitu?"
Rinai menggeleng. "Gak pa-pa, Pakcik, biar lebih lokal," lontarnya sambil tersenyum jenaka.
Pakcik akhirnya tersenyum geli "Yaudah, kalau kamu maunya gitu. Kalau sinopsis, tau gak? Jangan-jangan malah masih mikir itu bagian belakang cover buku?"
"Bukan, itu blurb. Sinopsis itu lebih keringkasan cerita. Dari awal sampai akhir," jawab Rinai dengan semangat. Ia tersenyum lebar layaknya anak kecil yang berhasil menjawab perkalian.
"Pintar. Nah, ini sinopsisnya sudah ada?"
"Udah Pakcik, tapi belum Rinai print. Atau… Rinai kirim lewat email aja, gimana?"
"Oh, boleh. Coba kirim je, biar Pakcik baca."
Rinai langsung mengirim sinopsis yang sudah ia persiapkan sejak kemarin. Bukan hanya sinopsis, ia sekalian mengirimkan outline ceritanya.
"Oh, udah sekalian sama outline ya?" Pakcik mengotak-atik tablet-nya.
"Iya, Pakcik. Tapi outlinenya asal jadi aja."
"Ohhh… biar Pakcik baca dulu."
Sejenak, suasana menjadi hening. Pakcik sibuk dengan tablet-nya, sedangkan Rinai melihat ke sekeliling ruangan, mengusir bosan. Jauh dilubuk hati, Rinai berharap Pakcik terkesan dengan cerita yang ia buat.
"Gimana?" Birai datang dari pintu depan. Bajunya sudah ganti dari saat tadi dia menjemput Rinai. Rambutnya agak basah dan bau parfum menguar dari tubuhnya. Ia memang sempat izin buat ke kos sebentar setelah mengantar Rinai ke rumah Pakcik.
Rinai angkat bahu. Ia kembali menatap Pakcik. Birai sendiri memilih duduk di sisi sofa yang lain. Ia dengan santai mengambil makanan di atas meja dan bersikap seolah-olah sedang dirumah sendiri.
"Jadi, apa gunanya outline?" Pakcik menatap Rinai kembali.
"Outline itu kerangka karangan, gunanya supaya cerita gak melebar dan bertele-tele."
"Selain itu?"
"Supaya gak ada plot hole?"
"Benar, plot hole. Plot hole sendiri adalah lubang atau nggak konsistennya suatu cerita yang tak relevan dan tak masuk akal." Pakcik tersenyum sejenak, "Kadang saat kita asyik menulis, kita mengabaikan hal-hal kecil yang membuat cerita terasa janggal dan tak nyambung. Hal kecil sepele seperti itu bisa merusak cerita, menciptakan lubang pertanyaan untuk pembaca. 'Selasa gak punya basic kedokteran atau pengalaman di bidang semacam itu kok bisa operasi Daffa yang kena tembak ya?' atau 'Kok polisinya bisa tau identitas Selasa ya, padahal mereka nggak punya clue sama sekali sebelumnya?' atau 'Lah, masa kakinya patah, tapi 3 hari kemudian udah bisa lari dan loncat-loncat gedung?'. Itu termasuk plot hole!"
Rinai mengangguk-angguk.
"Cerita kamu sendiri sejauh ini sudah cukup bagus. Tapi terlalu datar. Tau kenape?"
"Karena konfliknya cuma satu? Nggak ada konflik sampingan?"
"Nah, itu juga! Cerita kamu terlalu fokus dengan konflik utama. Tokoh utama, Selasa, mengejar pembunuh ayahnya. Dia membunuh si A, si B, dan akhirnya menguak pelaku pembunuh ayahnya. Selesai. Sejujurnya, menurut Pakcik ini agak membosankan, ya…."
"Tapi kan selama dia mencari pelaku, dia juga dapat kesulitan memprediksi siapa pelaku yang tepat dengan petunjuk yang tersedia?"
"Lalu, apa dia tidak memiliki masalah pribadi?"
"Maksud Pakcik?"
"Misalnya, saat sedang sibuk mencari dalang dari pembunuhan ayahnya, dia juga memiliki masalah sama pacarnya atau sahabatnya. Atau dia memiliki perdebatan dengan batinnya. Dengan sisi baiknya. Dengan kemanusiawiannya? Membunuh seseorang itu kan nggak gampang. Ditambah lagi pemicunya jelas, balas dendam. Pasti dia akan memiliki konflik batin yang hebat di sini, tinggal mencari 'hal apa yang bisa membuatnya tersadar?'."
Rinai diam. Ia berpikir dalam. Menyelesaikan satu konflik saja sudah cukup berat, masa harus membuat masalah lain juga? Rinai takut dia tak bisa mengendalikan diri dan kehilangan fokus.
"Konflik sampingan itu ibarat garnish. Ibarat penyedap rasa. Ibarat rumbai-rumbai baju. Kalau ada akan lebih menarik," kata Pakcik menyadari keraguan Rinai.
"Tapi Rinai belum tau harus bikin konflik sampingan apa, Pakcik?"
Pakcik menurunkan kacamata baca dan tersenyum dengan penuh pengertian.
"Kenapa harus dibuat? Rinai cuma perlu memahami tokoh utama. Bagaimana karakternya, phobianya, zodiak, golongan darah, gaya hidup, pandangan hidup, respon, dan sebagainya. Kalau Rinai sudah menjiwai, akan ada banyak sekali ide dan konflik yang akan muncul dengan sendirinya."
Dahi Rinai berkerut.
"Misalnya, Selasa, sebagai tokoh utama, memiliki karakter agak bodoh dan teledor. Dari sini, banyak sekali konflik yang bisa dikembangkan. Entah dia tak sengaja menjatuhkan barang bukti, tak benar-benar paham misi, atau yang lain." Pakcik menyandarkan punggung secara perlahan. "Dia bisa saja kan tak sengaja menjatuhkan bukti atau sidik jari, dan ketahuan. Tapi, polisi yang mendapatkan bukti itu malah menyimpannya sendiri karena dia ingin menggunakan Selasa untuk kepentingan pribadi. Bukti itu pun ia gunakan untuk mengancam Selasa. Itu sudah termasuk konflik sampingan." Pakcik bersandar dengan nyaman. "Atau... buat Selasa naksir sama polisi yang ditugaskan menangkapnya. Dia akhirnya jadi ragu mau lanjut balas dendam atau tidak. Terus kasih benang merah antara Selasa, polisi itu, masa lalunya, dan dalang pembunuhan ayahnya."
"Tapi, kalau bikin kayak gitu kan jadi cerita romance, Pakcik. Sedangkan Selasa sendiri bertema pembunuh bayaran."
"tak ape lah tu. Yang penting cerita kamu gak melebar jauh. Kalau cuma kasih sedikit adegan romance sebagai konflik sampingan, kan bagus juga."
Rinai menunduk menatap cangkir teh. Otak dan hati berdebat dalam diam.
Denger tuh! Pakcik cuma memperhalus bahasa aja. Intinya, cerita kamu masih minus!
Siapa bilang, yeee! Orang pakcik cuma kasih saran aja, kok ribet!
Saran tapi rada maksa. Peka napa peka?! Masa Pakcik harus terang-terangan bilang kalau outline kamu masih payah?! "Rinai, outline kamu sampah!" gitu???
Jadi orang jangan baper dong! Masa dikasih saran dimasukin ke hati. Apa-apa jangan dibawa perasaan. Anti baper-baper club!
Susah deh kalo udah gak peka bawaan lahir. Serah deh. Kalo pakcik sampai bosan, mampus gak dimentori lagi!
Pakcik bilang bagus kok tadi! Bilang bagus, loh! Jadi manusia jangan berburuk sangka gitu sama orang lain, terlebih orang tua, dosa!
Rinai galau!
"Jangan berpikir terlalu keras. Nanti pasti ketemu kok jalan keluarnya. Saat menulis, kadang kita suka lupa diri. Tanpa sadar, cerita yang kita tulis lebih baik dari yang kita bayangkan. Asal, tetap menulis!"
Rinai menangguk. Ia masih menunduk menatap teh.
"Sekarang, kita nikmatin aja prosesnya. Nah, kan Pakcik mentor kamu. Nanti Pakcik bantu. Kamu tenang saja, Pakcik pasti berusaha keras bantu kamu menang. Asal, kamu juga berusaha keras buat berkembang."
"Iya, Pakcik."
"Nah, sekarang, apa rencana kamu untuk bab pertama? Ingat, bab pertama itu segalanya. Ada beberapa penerbit yang menilai bagus tidaknya naskah dari beberapa kalimat pembuka di bab pertama. Ada yang keseluruhannya. Ada pula yang melihat dari 3 bab pertama. Tapi pada intinya, pertama. Itu harus bagus! Awal yang bagus akan menarik pembaca untuk betah menyelesaikan novel kita."
"Rinai sih rencananya maunya bab pertama di mulai dari masa lalu."
"Masa lalu? Apa alasannya?"
"Ya, kan ayah tokoh utama terbunuh, nah dari situ dia lagi mengingat ayahnya. Nostalgia gitu. Terus pas kembali ke masa sekarang, dia lagi dalam misi pembunuhan. Jadi sekilas kayak dia mengingat ayahnya gitu, Pakcik. Untuk mengisyaratkan ke pembaca kalau dia melakukan itu ada alasan kuat di baliknya."
Alis Pakcik berkerut. Ia menatap Rinai dalam-dalam dengan pandangan mengambang. Kemudian, ia mengangguk-angguk pelan.
"Tapi kalau menurut Pakcik, akan lebih baik kalau masa lalu di simpan di tengah cerita. Selain akan membuat pembaca penasaran alasan tokoh utama menjadi pembunuh bayaran, juga pembukaannya lebih menarik. Dibuka dengan terbunuhnya seseorang penting di pemerintahan, 'Alasannya apa?' 'Ketahuan nggak ya?' 'Cara kaburnya gimana?' pembaca pasti akan lebih penasaran."
Rinai terdiam.
Pakcik kok jadi kebanyakan ngatur, sihh?!
Ia yakin kalau idenya lebih baik, ia sudah memikirkan berkali-kali dan rasanya itu adalah yang paling tepat. Tapi kan, kalau dia bersikeras sendiri nanti Pakcik jadi tersinggung.
Kamu beneran mau saya mentori apa enggak?
Mampus!
Rinai kan butuh banget mentor. Bang Jack bahkan sampai menyarankan.
Tapi kan-tapi kan… Rinai yang punya ide. Yang punya cerita. Yang melihat ceritanya di dalam kepala setiap hari. Berulang-ulang kayak film rusak. Pakcik kan cuma pembaca yang melihat dari sudut berbeda. Kalau ide Rinai lebih baik, gimana?
Lagian, Pakcik itu penulis tua. Pasti cara pikirnya akan sebuah sastra yang bagus jauh berbeda dengan Rinai. Rinai lebih ke penulis kekinian. Gaya berceritanya dan sudut pandangnya pasti beda.
Duh, otak Rinai mendadak jadi benang kusut!
Masih bertahan dengan pemikirannya yang ia anggap benar, Rinai mendengarkan saran-saran tambahan dari Pakcik setengah hati.
Mending sama Bang Jack aja deh, yang bisa menerima semua gaya menulis Rinai. Gak pernah mengatur-atur dan menerima semua dengan 'Bagus', 'Rinai hebat', 'Ok'.
Tanpa sengaja manik Rinai bertatapan dengan mata birai,
Kok… jadi kesel, yaaa?!