Unduh Aplikasi
53.84% RINAI / Chapter 7: Babak Baru

Bab 7: Babak Baru

Rinai duduk di balik meja counter sembari menatap karyawan lain yang sedang bergotong royong menurunkan unit yang baru saja datang. Unit masuk hari ini cukup banyak sampai memenuhi mobil box terbuka bertingkat dua. Kebanyakan yang datang motor bebek. Setiap dealer punya jatah masing-masing yang nggak bisa di nego. Harus terima unit apapun yang datang, dan nggak bisa request.

Sejak jadi sales counter, Rinai baru sadar kalau menjual unit nggak segampang kelihatannya. Nggak semua jenis motor selalu ready di gudang dealer. Beberapa motor yang laku keras selalu jadi bahan rebutan. Siapa yang pesan lebih duluan, dia yang dapat!

Primadonanya dealer Rinai sendiri ya motor matic. Permintaan untuk motor matic cukup tinggi sampai kadang melebihi stok yang ada. Imbasnya, sesama marketing jadi sering ribut. Yang pesen unit si A, yang keluarin unit ke konsumen malah si B. Endingnya mereka berantem sampai masuk ruangan Pak Daniel.

Rinai sih udah bosan sama drama mingguan dealer, jadi udah nggak terlalu peduli. Mereka saling ngadu-ngadu sama bos, mentang-mentang Pak Daniel yang ajakin kerja di sini. Paling juga cuma kena tegur. Terus , besoknya berantem lagi. Kena tegur lagi. Gitu aja terus sampai Nobita lulus SMA! Bang Sutan sering jadiin itu objek candaan. "Kelakuan marketingnya Pak Daniel kayak anak SD!", gitu kata mereka.

Hari ini Rinai berencana untuk menyelesaikan laporan penerimaan buku servis, tapi batal gara-gara Pak Daniel yang datang bawa sebundelan besar STNK baru yang sudah selesai. Ia meletakkan bundelan itu di atas meja Rinai dan juga menyerahkan beberapa dokumen.

"Ini, kamu hubungi konsumen ya! Kabarin STNK-nya udah datang. Nanti ribut-ribut lagi mereka ke sini. Sakit kepala saya!"

"Iya, Pak."

Rinai mengambil STNK dan mulai mengirim SMS ke seluruh konsumen. Rinai lebih memilih mengerjakan ini terlebih dahulu supaya nggak ada lagi konsumen yang datang sambil marah-marah. Ini lumayan makan waktu, karena Rinai harus mengerjakannya secara manual, yaitu melihat satu per satu nomor telepon konsumen di komputer.

Ini awal bulan yang baik. Rinai merasa sangat lega karena Pak Daniel tampaknya tak bermasalah sedikitpun dengan fakta bahwa Rinai belum berhasil jualan meski hanya 1 unit. Rinai keteteran, pekerjaannya menumpuk. Pas tutup buku kemarin Rinai jadi terpaksa lembur sampai malam banget. Ditungguin sih sama Bang Dewa dan Pak Daniel, tapi tetap aja ini pertama kalinya Rinai lembur selama itu setelah kerja di dealer.

Sejak terpaksa lembur, Rinai jadi bertekad untuk menyiasati pekerjaan agar lebih cepat kelar. Ia mulai mengelompokkan beberapa pekerjaan yang bisa dikerjakan sekali waktu dan memisahkan yang harus dikerjakan dengan fokus. Meski tidak membuat perubahan besar, tapi gunung tugas di atas meja Rinai tak setinggi bulan lalu.

Ting!

Sedang sibuk mengabarkan konsumen, HP Rinai berbunyi. Pemberitahuan pesan masuk. Rinai menghentikan sejenak pekerjaannya dan membuka pesan.

[From: Bang Jack

Rinai punya kenalan orang yang punya pengalaman menulis novel, tidak?]

Rinai mengernyit. Kenalan… penulis?

[To: Bang Jack

Kalau cuma sekadar menulis sih, ada Bang. Tapi kalau menerbitkan novel … belum ada Bang, rata-rata masih pemula kayak Rinai.]

Rinai kembali melanjutkan kerjaan.

Ting!

[From: Bang Jack

Belum menerbitkan novel juga gak apa. Yang punya pengalaman menulis novel saja.

Tulisan Rinai bagus, tapi masih kurang. Waktu ikut Kelas Menulis Online gak disuruh langsung buat novel ya?]

Rinai kembali mengetik balasan.

[To: Bang Jack

Cuma dikasih challenge sama teori. Prakteknya disuruh bikin cerpen doang, Bang. Gak sampe sejauh dibimbing buat novel. Ongkosmya beda, hehe.

Parah banget ya Bang, tulisan Rinai?]

Ting!

[From: Bang Jack

Tulisan anda sudah cukup bagus, tapi tidak cukup kalau diikutsertakan lomba. Butuh ada yang mentorin.

Bang Jack kan bukan anak fiksi, jadi tidak begitu paham cara membuat novel yang bagus itu gimana. Lebih baik belajar sama yang lebih berpengalaman.]

Tuh kan, ini nih yang bikin Rinai ragu kemarin! Lagian, Bang Jack juga, kemarin omongannya meyakinkan banget, sekarang malah jadi kayak ragu gitu!

Gimana dong? Rinai belajar sama siapa ini? Kenalan Rinai kan rata-rata ya sama kayak dia, pemula!

Kira-kira mentor Rinai di kelas menulis online mau nggak ya kalau Rinai mintai tolong untuk bantu? Bantu kasih kritik dan saran aja oke lah. Dibanding nggak sama sekali.

Oya, bukannya semalam Abang Ojek bilang kalau dia punya tetangga penulis best seller?! Apa Rinai coba hubungi aja dia, minta tolong anterin ke rumah si penulis? Tapi, gimana kalau itu cuma modus? Terus, Rinai jadi korban mutilasi! Kan, Abang Ojek mirip tukang modus kejahatan. Apa lagi coba alasannya deketin Rinai?!

Dih, ngeri!

Atau Rinai cari sendiri aja rumahnya? Kalau di penulis best seller, pasti banyak kan yang kenalin. Nanti Rinai bisa tanya-tanya tetangga, jadi nggak perlu minta tolong Abang Ojek segala.

Cumaaa… jalan Soekarno-Hatta kan luas banget! Ya kali Rinai cari dari pangkal sampai ujung! Belum lagi banyak gang. Alamat sampai lomba kelar tuh penulis best seller belum juga ketemu!

Jadi, apa yang harus Rinai lakukan?

Cari alamatnya sendiri

Telpon abang ojek

Bilang sama Bang Jack kalau dia nggak punya kenalan penulis sama sekali, wong Bang Jack juga gak bakalan tau ini!

Tapi… kalau Rinai bohong, nggak ada juga yang rugi selain diri Rinai sendiri. Kalau dia gagal, paling bang jack menyemangati kayak biasanya. Terus, disuruh ikut lomba yang lain lagi.

Lah, kan Rinai yang udah korbanin waktu, tenaga, dan pikiran. Masa kalah hanya gara-gara takut dimutilasi!

Memangnya siapa juga yang nggak takut dimutilasi?!! Rinai masih pengen hidup!

"Dek."

Rinai terlonjak. HP-nya terlempar tanpa sadar ke atas meja dan ia terbelalak seperti melihat penampakan.

Tapi ini lebih gawat dari penampakan!

Gimana nggak sekaget itu, secara orang yang jadi objek pikiran Rinai mendadak ada di hadapan.

Nih orang datang dari mana sih? Jangan bilang dia bisa datang hanya karena Rinai pikirin! Oya, katanya orang-orang pelaku mutilasi kan punya ilmu yang bisa bikin korbannya linglung. Jangan-jangan ilmunya juga bisa menyadari dimana keberadaan Rinai hanya karena selintas kepikiran.

Duh, nyesel nih Rinai mikirin dia tadi!

"Ngapain, Bang?" Rinai menggeser kursinya mundur. Ia melirik sekeliling, kali aja ada yang bisa dimintai bantuan kalau-kalau Rinai dibawa paksa. Tapi semua orang sedang sibuk.Bang Sutan lagi melayani konsumen, dan Bang Dewa lagi ikut gotong royong menurunkan unit.

Kalau Rinai teriak pasti kedengaran kan, ya?

Tapi gimana kalau Rinai dibius, terus pingsan sebelum sempat teriak? Dan nggak ada yang sadar Rinai hilang? Lalu ibu dan ayah bakal nangis-nangis di rumah, sedangkan Embun bersyukur gak perlu jadi tukang ojek pribadi Rinai lagi, konsumen nggak bisa ambil STNK, dan Pak Daniel keteteran cari admin baru.

Rinai nggak boleh sampai diculik!

"Kan kamu yang minta saya datang, kok malah nanya ngapain pula?" Birai tergelak. Ia mengenakan kemeja rapi dan menyandang tas ransel. Ia langsung duduk tanpa permisi di kursi di hadapan Rinai.

Tuh kan, benar! Dia punya ilmu gitu-gituan! Bisa tau Rinai mikirin dia, terus datang!

Demi apa Rinai beneran takut!

Kabur gak ya? Lari ke ruangan Pak Daniel terus kunci pintunya dari dalam. Kalau Pak Daniel nanya, bilang aja Rinai lagi dicari sama Pelahap Maut, jadi harus disembunyikan demi masa depan dunia sihir. Kali aja Pak Daniel percaya! Orang marketing tipu-tipu aja dia percaya kok! Ups!

"Dek, kok melamun pulak? Nanti kesambet! Masih pagi, ni!" Birai tersenyum geli.

Rinai hanya menatap mencela cowok di depannya. Apaan sih! Rinai paling benci deh kalau ada orang sok tau yang bilang dia melamun gitu. Padahalkan Rinai nggak melamun, tapi mikir! Emang mereka nggak bisa bedain ya?

Seketika, ketakutan Rinai lenyap dan berganti dengan kesal. Dengan hati mangkal, Rinai memperbaiki duduknya dan memindahkan HP ke laci meja.

"Ada yang bisa dibantu, Bang?" wajah dan suara Rinai langsung datar, tak mau menunjukkan sedikit ekspresi pun. Bodo amat dengan SOP.

Rinai memang suka mendatarkan ekspresi dan nada suara saat marah. Bagi Rinai yang pendiam dan suka memendam perasaan, itu adalah pilihan terbaik saat marah. Karena kalau Rinai sampai marah dengan meledak-ledak, selain dia memang gak mampu, dia yakin kalau pasti akan menyesal setelah melakukannya.

"Ini," Birai menyerahkan surat jalan, "mau ambil STNK. Tadi udah di SMS kalau STNK-nya udah datang."

Rinai mencelos. Oh! STNK, yaaa?! Kirain dia beneran bisa baca pikiran!

Tuh, kan! Kebiasaan nih, Rinai suka mikir jelek sama orang baru.

Lagipula, sejak kapan juga dia ambil motor di sini? Kok, Rinai gak sadar?

Rinai membaca surat jalan yang tadi Birai serahkan dan ingatannya melayang pada beberapa minggu yang lalu, pada seorang laki-laki sok ngartis yang membuatnya jengkel. Oh, iya dia! Namanya sama! Orangnya juga hehehe ... Jelas lah, orang mereka memang satu orang yang sama.

Kok Rinai bisa lupa ya? Gak usah bingung! Kan Rinai emang tipe manusia nggak peka! Dia mana ingat kalau cuma sekali jumpa. Ingatan Rinai kalau menyangkut urusan mengingat manusia emang pentium 1. Nggak begitu bisa diandalkan.

Rinai langsung menyisihkan STNK milik Birai dan menyiapkan daftar pengambilan surat-surat kendaraan.

"Tanda tangan di sini, Bang," Rinai menunjuk buku serah terima. Birai mengambil pena dan membubuhi tanda tangan di sana.

"Udah ya Bang, ini STNK-nya. Silahkan diperiksa lebih dulu nama dan alamatnya. Terima kasih."

Rinai menyimpan buku serah terima kembali ke dalam laci dan melanjutkan mengirim SMS, tapi ia mendadak berhenti saat menyadari Birai tak kunjung pergi walau SNTK sudah ia terima.

"Ngapa bang? Ada yang salah nama atau alamatnya?"

Birai tersenyum lebar. Ia memajukan wajah dan berbisik pelan,

"Jadi nggak ke rumah Pakcik, penulis yang saya ceritain kemaren?"

Deg!

Nih cowok emang punya ilmu!

Rinai kembali bersikap awas.

"Kamu kok kayak takut gitu sih sama saya? Ngapa? Takut saya culik?" Birai tergelak. "Lagi pula, kalau saya penculik, ya saya pilih-pilih juga! Tipe cemberut kayak kamu ini mana laku kalau dijual!"

Rinai emang nggak mau di jual atau diculik, tapi jangan pake ngehina dong! Habis deh kesabaran Rinai!

"Gimana? Jadi?" Birai mencoba meredakan tawa, "Kemaren udah saya bilangin sama Pakcik, mau dia! Katanya sih, ayuk aja. Tapi dia lumayan sibuk, nggak selalu bisa diganggu. Kalau mau, hari ini kita ke sana. Soalnya lusa dia ada kerjaan keluar kota. Baliknya baru minggu depan. Kalau udah jumpa kan enak, kali aja bisa sekalian minta ilmu atau saran."

Kalau Birai orang baik, mungkin dia adalah refleksi nyata akan pertolongan Tuhan terhadap Rinai. Cuma masalahnya, dia nggak jelas baik atau enggak! Kadang baik, kadang modus kayak penculik, kadang nyebelin banget nggak ngira-ngira!

Rinai coba percaya gak ya?

Rinai masih ragu sih!

"Gimana? Mau nggak? Mumpung saya lagi luang sore ini," kata birai lagi.

Ikut? Enggak? Ikut? Enggak? Ikut? Enggak!

Enggak ikut!

Diam-diam Rinai hitung kancing baju, soalnya dia bingung mau pilih ikut dan percaya, atau tolak demi mempertahankan nyawa. Meski Rinai sendiri merasa bego sih, bisa-bisanya dia mempercayakan keputusan sama kancing baju yang gak bernyawa.

Tapi tadi kan, hasil akhirnya tolak! Apa Rinai tolak aja? Tolak bala. Tolak linu. Tolak peluru. Bukan! Tolak tawaran abang ojek buat ikut ke rumahnya. Eh, bukan, rumah Pakcik ding! Tapi kan sama aja, orang mereka tetanggaan gitu kok!

"Ha! Tumben kemari?"

Rinai tersentak dari pikiran panjangnya. Bang Dewa mendekat dengan sebotol air mineral di tangan. Ia berkeringat dan tampak lelah setelah menurunkan banyak unit yang datang hari ini.

"Iya! Ambil STNK, Bang."

Mereka bersalaman, dan kemudian berbincang akrab. Kok Bang Dewa kenal sih sama abang ojek?!

"Oh, udah keluar STNK-nya?" Bang Dewa menatap Rinai.

"Udah kok Bang, ni udah aku ambil," sahut Birai cepat sebelum Rinai sempat buka mulut.

"Ohhh, baguslah," kata Bang Dewa lagi.

"Rinai, dipanggil ke ruangan Pak Daniel!" Kak Julita yang baru saja keluar dari ruangan Pak Daniel memberitahu sambil lewat. Tanpa basa-basi, Rinai langsung beranjak. Biar deh, kan ada Bang Dewa di sana yang ajakin ngobrol Abang Ojek.

****

Kali kedua untuk Rinai duduk di sofa merah menyebalkan ini. Gimana nggak menyebalkan. Setiap kali duduk di sini, pasti ada sesuatu yang serius. Meski di sofa ini juga dia pernah di tes dan diterima sebagai karyawan. Tapi, itu kan dulu, sebelum negara api menyerang. Sekarang zaman udah berubah menjadi zaman kerja paksa. Iya, Rinai terpaksa turun gunung! Masih gak ikhlas ninggalin ruangan yang udah dianggap kamar sendiri di lantai 2.

Pak Daniel masih sibuk menelepon di balik kursi kebesarannya. Rinai mengira-ngira apa yang membuat Pak Daniel memanggil dirinya. Masalah STNK lagi ya? Atau inputan penjualan? Atau masalah beberapa marketing yang datanya masih pending sehingga Rinai nggak bisa input?

Atau… Mau naikin gaji Rinai?!

Duhhh… mau banget! Kan Rinai udah sebulan ini kerja ngerangkap. Lesu, lelah, lunglai! Jadi wajar aja kalau Pak Daniel mau naikin gaji Rinai! Ternyata Pak Daniel pengertian banget yaaa!

Jadi terharu!

Tisu… mana tisu? Rinai mau buang ingus!

"Rinai," Pak Daniel meletakkan HP, "Kamu bulan kemarin belum ada jualan sama sekali, ya?"

Rinai tertegun. Kok gak ada kata gajinya yaaa?

Rinai pasti salah dengar nih!

Coba ulang, deh.

"Gimana, Pak?" Rinai coba konfirmasi.

"Iya, kamu bulan kemarin belum ada jualan unit sama sekali, ya?" ulang Pak Daniel.

Lantai yang Rinai injak serasa retak dan membawa tubuhnya terjun bebas ke bawah.

Kok, kayaknya ada yang gak asing dengan beberapa adegan di atas?! Serasa pernah terjadi gitu, tapi Rinai lupa kapan.

Ini topik yang Rinai hindari berminggu-minggu. Kalau bisa mah, seumur hidup!

"Belum Pak, saya mau fokus dulu sama inputan dan melayani konsumen yang mau ambil kelengkapan kendaraan. Lagipula, saya masih belajar buat jualan."

Pak Daniel merebahkan tubuh ke sandaran kursi. Kursi empuk itu berputar-putar seiring gerakan Pak Daniel.

"Iya, Sutan juga udah bilang gitu sama saya. Kalau gitu mulai bulan ini harus bisa jualan ya! Biar penjualan counter bisa naik."

"Iya, Pak."

"Sejauh ini kamu ada masalah? Kalau ada masalah sama yang lain atau marketing, kasih tau saya! Kadang mereka kan suka bertingkah."

"Sejauh ini nggak ada masalah, Pak."

"Oya, ini, kamu dapat undangan training buat sales counter. Kamu ikut ini ya, biar makin paham." Pak Daniel menegakkan badan dan menggeser selembar kertas di atas meja.

Rinai beranjak dan mengambil kertas undangan. Ia membaca detail waktu training dan mendapati kalau training 2 minggu lagi.

"Berarti saya nggak perlu ke dealer kan Pak? Trainingnya kan dari pagi sampai sore?"

"Iya, nggak perlu. Jangan sampai telat ya!"

"Iya Pak."

Setelah berterima kasih, Rinai beranjak keluar sambil membawa undangan training. Ia terheran-heran melihat Abang Ojek dan Bang Dewa masih asik bercerita. Ia masuk ke balik counter dan menyimpan undangan training ke dalam laci.

Karena merasa aneh, Rinai melirik kepada 2 orang yang mendadak diam sejak kedatangannya. Kenapa lagi nih? Jangan bilang mereka tadi gosipin Rinai! Kan biasanya gitu, kalau kita lagi ngomongin orang, pas orangnya datang kita langsung diam.

"Iya mau belajar nulis sama Pakcik, Nai?" Bang Dewa memastikan.

Rinai melongo. Lah, kok Bang Dewa tahu?

"Kok Abang tau??" Rinai merenggut. Itu kan rahasia!

"Nih, si Birai yang bilang."

Rinai melemparkan tatapan mematikan pada Birai, yang langsung meringis di tempat.

"Hehehe… cuma mau silaturahmi aja, Bang." Rinai nggak nyaman, ia berpikir cepat mengalihkan pembicaraan, "Abang kenal sama Pakcik?"

"Kenal lah! Kan tetanggaan."

"Serius?! Berarti juga tetanggaan sama abang ni?" Rinai menunjuk Birai yang cengar-cengir.

"Tetangga apaan! Orang kami satu kos juga, kamar sebelah-sebelahan di batas triplek doang hahaha…" Bang dewa tertawa diikuti Birai yang meringis.

Bang Dewa satu kos sama Abang Ojek? Berarti Abang Ojek bukan tukang mutilasi dong ya? Beneran baik ya?

"Kau pun, akhir-akhir ni sok sibuk kali! Seminggu ni pulang tengah malam terus," kata Bang Dewa.

"Maklum lah, Bang. Kalau mau kaya, ya butuh usaha."

"Gaya kau lagi mau kaya - mau kaya, kayak apa aja lah. Kerja sampe malam makan tetap indomie juga tu." Mereka berdua terbahak. Rinai ikutan senyum, kurang lebih Rinai yakin mereka lagi ngomongin masalah anak kos.

"Capek-capek bayar, di tahun terakhir ditarik leasing pula. Memperkaya leasing namanya tu!" Birai menggeleng-gelengkan kepala masih sambil tergelak.

"Kuliah gimana? Lancar?"

"Lancar bang!"

"Mantap tu!" Bang Dewa mengacungkan jempol buat Birai, "Udah ya, ke atas dulu, mau rutinitas. Kali aja bisa jadi karyawan teladan, bisa naik gaji!"

"Emang di sini aja pemilihan karyawan teladan Bang?" alis Birai naik setengah.

"Enggak!! Hahahaha …"

Rinai mendesah. Mereka bercanda mulu. Kayak nggak ada beban. Apa cuma Rinai yang punya beban di dunia ini? Ya nggak mungkin lah! Semua orang juga pasti punya!

Tanpa sadar, Rinai menggigit bibir. Dia masih belum menjual satu unit pun bulan ini, inputan menumpuk, kerjaan begitu banyak, belum lagi dia juga harus buat novel. Mana Bang Jack suruh Rinai cari mentor lagi! Rinai nggak tahu harus cari kemana? Emang kalau Rinai cari ke pasar, ada yang jual gitu?

Mentor menulis! Mentor menulis! 10 ribu 3! Dek, Dek, cari mentor yang gimana dek? Lengan panjang? Lengan pendek? Silahkan pilih! Silahkan pilih!

Isssh!

Apaan coba, pake lengan panjang atau lengan pendek, emang jualan baju?!

Cari mentor menulis kemana yaaa?!

"Lah, kan udah dibilang, Pakcik tinggalnya di jalan tobek godang. Deket sini kok! Jadi pergi ke sana sore ni?"

Rinai terkesiap. Perasaan tadi ngomomg dalam hati deh, kok dia bisa tau? Nih orang beneran bisa baca pikiran kali ya? Indigo, gitu! Tapi… bukannya indigo itu cuma bisa liat makhluk astral? Atau bukan? Tau deh, Rinai nggak paham!

Rinai kembali menimbang-nimbang, ikut nggak ya? Lagi pula, kan dia juga temannya Bang Dewa, jadi aman, jadi baik, jadi nggak apa-apa kalau Rinai terima ajakannya.

"Oke?"

"Oke!" Rinai nyerah. Dia memang butuh mentor atau seseorang yang mampu untuk membimbingnya menyelesaikan sebuah novel dengan baik.

Rinai gak mungkin berjalan di kegelapan dengan mengandalkan keyakinan kalau di depan ada jalan keluar, kan?

"Tapi jangan nanti sore bisa nggak, Bang?"

"Loh, kenapa?"

"Ada perlu!"

"Gitu yaaa? Tinggal besok berarti."

"Besok aja boleh ya?"

"Oke deh. Sore saya jemput ya!"

"Saya ke sana sama Bang Dewa aja, Bang."

"Nggak usah, saya jemput aja. Besok saya kelar kuliahnya sore, jadi sekalian lewat sini kan!"

"Iya lah."

Setelah mereka berdua sepakat, Birai pamit. Katanya masih ada kuliah lagi, jadi mau ke kampus. Sepeninggalan Birai, Rinai mengambil HP dan mengirim pesan,

[To: Bang Jack

Rinai udah ketemu mentornya, Bang!]


next chapter
Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C7
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk