Rinai berbaring di atas kasur dengan gelisah. Balik ke kanan, balik lagi ke kiri. Putar ke atas, balik lagi ke posisi semula, sampai alas kasur berantakan dan menampakkan sebagian busa.
Suasana rumah sepi. Embun sudah pergi kerja sedangkan ibu sudah pergi jualan. Rinai nggak masuk kerja hari ini. Alasannya sih sakit, tapi sebenarnya cuma kurang tidur dan terlalu stres. Kerjaannya menumpuk menunggu diselesaikan, padahal dia bahkan sampai absen istirahat dan makan siang demi kerja, tapi bukannya berkurang, kerjaannya malah bertambah.
Rinai tidak menyangka kalau pekerjaannya mendadak menjadi begitu banyak. Inputan penjualan yang menggunung terlebih dengan konsumen yang tak berhenti datang untuk meminta kelengkapan kendaraan. Menjelang akhir bulan seperti ini, ia bahkan belum mampu menjual 1 unit pun. Sejauh ini belum kena tegur sih, meski Pak Daniel terus menerus menanyakan perkembangannya.
Walau Rinai belum mampu jualan unit, tapi beberapa minggu ini Pak Daniel berhasil menaikan kembali penjualan dealer. Dia merekrut beberapa marketing tambahan yang katanya memang orang-orang Pak Daniel dari tempat kerja lamanya. Marketing-marketing baru itu begitu arogan dan menyebalkan. Mereka suka bersikap seenaknya dan berlagak sok orang penting.
Mentang-mentang dekingannya Pak Daniel!
Rinai berguling-guling di atas kasur, mencari posisi yang nyaman. Tak sengaja, ia melirik uang 6 ribu yang terletak di atas nakas, uang yang sudah ia pisahkan jauh-jauh hari untuk bayar hutang sama Abang Ojek, tapi sudah beberapa minggu terlewati ia belum sempat melunasinya. Gara-gara ia terlalu sibuk sih, sampai jadi lupa buat nelpon Abang Ojek. Oh, ya udah, biar telepon sekarang aja kali ya!
Tapi...
Telepon nggak ya?
Telepon nggak ya?
Rinai mendadak ragu.
Gimana yaaa?
Tapi kan, Rinai yang punya hutang. Masa dia suruh Abang Ojek jemput ke rumahnya? Iya, suruh jemput dong! Rinai mana bisa bawa motor kalo di suruh anter. Minta tolong anterin sama Embun juga ga bisa, orang dia lagi kerja gitu.
Ya telepon dulu aja deh, kali aja Abang Ojek masih di daerah panam.
Tapi, gimana kalo abangnya lagi di daerah Kampar? Atau Bangkinang? Atau lagi pulang kampung? Eee… masa sih pulang kampung?!
Duh!
Rinai bingung!
Tapi kan...
Hutang harus dilunasi secepat mungkin.
Ahhh, bingung!
Nggak sih, Rinai sebenarnya cuma grogi. Abangnya cakep banget gitu. Pake acara pasangin cetekan helm lagi. Isssh, Rinai kan nggak pernah di perlakukan gitu.
Jadi malu.
Tapi, nggak boleh! Rinai harus hubungi sekarang juga. Sekarang atau enggak sama sekali. Soalnya kalo besok, paket nelponnya Rinai abis.
Kan sayang.
Akhirnya dengan penuh keyakinan, Rinai menghubungi nomor Abang Ojek.
Tuuut... Tuuut... Tuuut...!
Nada tunggunya membuat jantung Rinai berpacu. Teleponnya masuk! Duh... Rinai makin gak tenang.
Dia marah nggak ya karena Rinai kelamaan ngutang?
"Halo?" sapaan yang datang dari seberang telepon membuat Rinai langsung terduduk.
"Halo?" balas Rinai.
"Ini siapa ya?"
"Saya Rinai, Bang. Ini saya mau bayar ongkos ojek kemarin." kata Rinai cepat. Ia memelintir selimutnya sambil menggigit bibir.
"Hah? Rinai siapa?" terdengar nada heran dari seberang.
"Itu loh Bang, yang kemarin pesen Ojek Online pas hujan, terus pas sampe di tempat kerja saya, uang saya ketinggalan." jelas Rinai panjang lebar.
"Ojek Online?"
"Iya Bang."
"Saya bukan tukang ojek Dek, saya tukang bubur ayam. adek mau pesen nggak? Bisa delivery kok?"
Rinai mengernyit.
Hahhh?
"Ini Abang Ojek kan?"
"Bukan Dek, saya Abang bubur ayam. Jadi mau pesen berapa porsi, Dek? Gratis ongkir selama jaraknya masih satu kilo."
Rinai menjauhkan handphonenya dan memandang nomor yang tertera di layar. Nomornya nggak ada nama. Nomor yang tadinya Rinai yakini sebagai nomor Abang Ojek, tapi kok, sekarang Rinai ragu?
Bukan ragu, Nai! Emang salah sambung!
"Oh, enggak Bang. Saya kayaknya salah nomor! Maaf ya."
"Oh, gapapa kok Dek. Tapi, beli bubur ayamnya jadi, kan?"
"Enggak, Bang, makasih."
Tuuuut!
Rinai langsung memutuskan panggilan. Ia menghela napas kasar dan merebahkan kembali tubuhnya. Ingatannya kembali pada kenyataan bahwa nomornya memang suka di telepon konsumen yang menanyakan kelengkapan kendaraan mereka sudah siap atau belum. Dan begonya, Rinai lupa simpan nomor Abang Ojek.
Rinai mengotak-atik panggilan masuk di handphonenya. Mengira-ngira bahwa nomor yang ia pilih itu adalah nomor Abang Ojek yang asli, Rinai kembali menekan tombol dial.
Tuuut... Tuuut... Tuuut...!
"Halo?"
Rinai terdiam.
Loh, kok suara cewek?
"Halo, ini siapa ya?" balas Rinai.
"Loh, kan Mbak yang hubungin saya, kok malah Mbak yang nanya!? Heran ya, padahal saya udah putus sama dia masih aja ada cewek yang nelponin saya!" suaranya melengking dengan nada kasar disetiap kalimatnya. "Denger ya Mbak, Mbak itu cewek kesekian yang dia jadiin selingkuhan. Lagian, harusnya saya sebagai pacar pertama yang marah, ini malah saya yang terus di teror!" lanjutnya.
Rinai membeku. Se-selingkuhan?! Gimana Rinai mau jadi selingkuhan, punya pacar aja enggak!
"Jadi berhenti hubungi saya! Mbak nggak akan dapat apa-apa! Dia udah saya buang jauh-jauh! Ngerti!"
"Ta-tapi Kak, saya-"
Tuuut!
"-nggak punya pacar! Issshh!!!"
Rinai mengacak-acak rambut, stres. Ga punya pacar aja dapat caci maki. Ngenes amat jadi jomblo!
Dengan perasaan keki tak terbendung, Rinai mencoba kembali peruntungannya. Bisa aja sih dia pura-pura lupa sama hutangnya, atau saat Abang Ojek nagih ke dealer suatu hari nanti, dia bilang aja kalo dia kehilangan nomor abang itu. Kan gampang.
Tapi, ga masalahkan coba peruntungan? Mumpung paket nelponnya Rinai masih banyak. Besok kan masa aktif paketnya sudah habis.
Rinai mendial nomor ketiga yang ia yakini sebagai nomor Abang Ojek. Tapi nggak diangkat.
Rinai mendesah. Membalik tubuhnya sambil memeluk guling. Mau bayar utang aja banyak banget halangannya. Tapi Rinai nggak pantang menyerah. Ia kembali men-dial nomor itu.
"Ya?" suara cowok!
Seenggaknya Rinai nggak perlu khawatir dituduh selingkuhan kayak tadi.
"Halo, saya Rinai. Ini Abang Ojek? Saya mau bayar utang." balas Rinai cepat, segera menjelaskan sebelum disalahpahami lagi kayak tadi.
"Apaan sih, saya bukan tukang ojek! Orang lagi war diganggu! Pesen lewat aplikasinya, Bego! Dasar nggak punya otak. Bodoh! Kampr-"
Tuuut!
Tanpa basa-basi Rinai langsung matiin teleponnya.
Nggak baradab banget sih!?
Rinai mendesah keras kesekian kalinya. Rinai jadi males nelpon lagi. Udah 3x kena sial mulu.
Rinai melempar handphonenya ke kasur. Berguling-guling lagi di atas kasur. Dari ujung satu ke ujung satunya, membuat alas kasur jadi makin berantakan.
Haah, males ah nelpon lagi!
Kan bukan salah Rinai. Rinai kan udah usaha mau bayar. Udah punya niat, tapi emang banyak halangan. Pokoknya bukan salah Rinai!
Tapi...
Rinai kembali melirik ke meja nakas. Uangnya masih tersimpan di sana.
Ini bukan tentang nominal, tapi tentang hutang. Berapapun jumlahnya, hutang tetap hutang. Dibawa mati.
Lagian, ini bukan sekadar 6 ribu rupiah, tapi tentang hak seseorang. Kata ibu, hak seorang tetaplah hak seseorang berapapun nilainya. Dan makan hak orang lain hanya akan menjerumuskan hidup sendiri.
Dengan setengah hati, Rinai kembali meraih teleponnya. Bodo, ah, kena caci maki lagi. Yang penting dia usaha dulu aja. Niat! Niat!
Tuuut! Tuuut! Tuuut!
Sambil menarik-narik bulu boneka beruang kepunyaan Embun, ia menggoyangkan kakinya dan melirik malas ke sekeliling kamar.
Di dering ketiga, teleponnya akhirnya diangkat.
"Halo?" sapa dari seberang.
"Halo." balas Rinai.
"Ini siapa?" tanya orang dari seberang.
"ini Rinai. Admin dealer motor."
Hening sejenak.
"Ohhh, cewek yang panikan sampe lupa lepas helm itu, ya?" tutur orang dari telepon, nggak basa-basi.
Rinai terduduk kedua kalinya.
"Ini Abang Ojek?" tanya Rinai lamat-lamat, memastikan pemikirannya.
"Bukan, Ini Birai. Tapi saya emang sambi jadi ojek online sih hehe..." jawabnya ringan.
Rasa-rasanya Rinai mau teriak 'Abang, akhirnya ku menemukanmu!!' sambil selebrasi. Nggak sia-sia kesabarannya dicaci dan dimaki. Mantul langsung ke nomor Abang Ojek.
"Bang, ini saya mau bay-"
"Dek, Dek! Udah ya, dosen saya masuk nih! Saya lagi kuliah hehe... Dahhh."
Tuuut!
Rinai cengo.
Udah?
Gitu doang?
Setelah Rinai dapat semua caci maki dari orang-orang yang nomornya salah sambung, Abang Ojek matiin gitu aja panggilannya bahkan tanpa memberi Rinai kesempatan menyelesaikan ucapannya?
DE-MI TU-HAN!!!
Dia nggak tau apa pengorbanan Rinai?
Nggak tau?!
NGGAK TAU?!!
Tapi-
Diakan emang nggak tau!
Isssh!
Rinai kesel!
Dongkol!!
Sebelll!!!
Rinai melempar handphonenya dan menghentak-hentakkan kaki, lalu berguling dari ujung kasur ke ujung satunya berkali-kali.
Argh!!!
Rinai gondok!!!