Unduh Aplikasi
87.71% Re:START/if / Chapter 49: Great War Records 17 - Perempuan dengan lumpur gelap di tubuhnya I

Bab 49: Great War Records 17 - Perempuan dengan lumpur gelap di tubuhnya I

Beberapa minggu setelah kejadian di kota Gahon, salah satu kota yang terletak di Provinsi Garinsha, Kekaisaran Urzia. Para petinggi dan semua anggota Konferensi Keempat Negeri melakukan investigasi penyebab sebenarnya tragedi tersebut. Dari penyelidikan yang dilakukan, diputuskan bahwa kota Gahon akan dikarantina dan menjadi daerah khusus karena radiasi kuat yang masih tersisa dalam radius beberapa kilometer.

Tercatat dalam laporan resmi, penyebab masuknya para Aliran Sesat ke dalam kota disebabkan karena Walikota Gahon, Hagoro Misaki, telah terbunuh dan mayatnya dikendalikan oleh salah satu Necromancer dari Sekte pemuja iblis yang dikenal dengan Aliran Sesat.

Dalam tragedi kota Gahon, lebih dari 4.000 jiwa melayang dan kerugian besar diderita kekaisaran. Bukan hanya itu, tingkat kepercayaan negeri lain dan penduduk kekaisaran sendiri berkurang drastis terhadap pemerintahan yang ada. Selang beberapa bulan setelah tragedi, bermunculan beberapa fraksi pemberontak yang menjunjung gagasan untuk mengganti Kaisar yang berkuasa karena dianggap apatis terhadap kondisi negeri sendiri.

Setelah kejadian tersebut, Dart dan Mavis mendapat gelar Pahlawan dari Konferensi Keempat Negeri secara resmi dan untuk formalitas atas prestasi mereka mencegah dampak pemanggilan Iblis semakin luas. Upacara pemberian gelar kehormatan itu diadakan di Kota Miquator, dan hanya didatangi oleh Dart, sedangkan sendiri Mavis diwakili oleh Fiola.

Tepat beberapa hari setelah mendapatkan gelar tersebut, Dart dibebastugaskan dari kewajibannya dan mendapatkan gelar Marquess dari Raja Felixia langsung secara resmi dan menjadi Tuan Tanah di wilayah Luke. Tidak ada bangsawan yang protes atas pemberian gelar yang berlangsung di Kota Miquator tersebut, mereka semua menyambut meriah pengangkatan itu setelah sekian lama gelar Marquess dari Keluarga Luke kosong secara formalitas.

Setelah mendapat gelar, Dart tidak kembali ke wilayahnya untuk melaksanakan kewajibannya. Ia tetap menyerahkan pengurusan wilayahnya kepada Keluarga Rein, lalu dirinya sendiri tinggal di Istana Kerajaan Felixia di ibukota bersama Mavis, Fiola, dan Julia.

Gaiel sebagai Raja tidak bisa mengusir Dart dari istananya meski pria itu membengkalaikan tugasnya. Alasannya bukan hanya karena prestasi dan kontribusi pria tersebut, tetapi karena apa yang telah terjadi pada istri Kepala Keluarga Luke itu.

Pada saat menggunakan Sihir Radiasi Cahaya sekala luas di Kota Gahon, bukan hanya para iblis saja yang terkena dampak radiasi, pengguna sihir tersebut juga terkena dampaknya meski memiliki ketahanan terhadap sihir cahaya. Akibat paling parah dari sihir tersebut adalah kerusakan rahim permanen yang diderita Mavis, dan kutukan yang masih tersisa pada tubuhnya karena pernah menyatu dengan monster Iblis yang dipanggil dengan ritual yang dilakukan Aliran Sesat.

Tinggal di Ibukota, Dart dan Raja Gaiel memanggil tabib, pengguna Anti Spell, dan berbagai orang lainnya untuk menyembuhkan Sang Penyihir Cahaya. Tetapi, tetap saja percuma dan hasilnya nihil. Meski Penyihir Agung sampai turun tangan, Ia hanya bisa menekan kutukan yang sudah mengalir dalam pembuluh darah Mavis.

Tanpa disadari, satu tahun waktu berlalu sejak tragedi di Kota Gahon. Tanpa perubahan pada kondisi Mavis, semua pengobatan yang dilakukan benar-benar percuma. Dalam tragedi tersebut, satu-satunya hal yang bisa Dart patut syukuri adalah pulihnya Mavis dari kerusakan kepribadian setelah beberapa tahun terakhir. Meski begitu, atas perubahan yang ada, pria tersebut sama sekali tidak bisa merasa senang dan malah bingung harus bersikap seperti apa menghadapi istrinya yang sikapnya seperti orang yang sangat berbeda.

Di bawah langit biru yang cerah, sekawanan burung gereja terbang di langit dengan ceria. Pada musim panas yang diisi suara serangga, Dart duduk di taman Istana Keluarga Kerajaan Felixia. Menatap air mancur di hadapan, pria yang rambutnya mulai memutih itu tampak terlihat kosong tatapannya, tidak bersemangat dan hampa.

Duduk di samping pria tersebut pada bangku taman yang sama, Raja Gaiel tidak mengajaknya bicara dan ikut terdiam. Bukan hanya Dart yang mendapat masalah karena tragedi satu tahun yang lalu di Kota Gahon, hampir seluruh negeri terkena dampaknya. Karena berkurangnya kekuatan kekaisaran dan mulai masuknya negeri tersebut dalam perang sipil, ketiga negeri lainnya benar-benar kehilangan keseimbangan kekuasaan yang baru saja dibangun.

Memang para pemimpin negeri lainnya telah melakukan tindakan untuk mencegah peperangan besar meletus lagi. Tetapi dari langkah yang para raja ambil, Raja Gaiel mendapat bagian yang paling tidak dirinya inginkan.

"Terus bagaimana? Apa kau benar-benar akan menikahinya? Bukannya kau sangat mencintai putri Dalia?" tanya Dart seraya melirik ke arah sahabatnya yang duduk di samping kanan.

Gaiel melirik dengan kesal saat mendapat pertanyaan itu. Memang seperti apa yang dikatakan Dart, sebagai seorang Raja tawaran yang datang padanya tidak bisa ditolak dengan enteng. Sekitar sebulan yang lalu, sebuah pertemuan resmi dilakukan Gaiel dengan Maharaja Kerajaan Ungea. Pertemuan itu menyangkut pernikahan politik yang ditawarkan Sang Maharaja.

Untuk mempererat hubungan dan mengurangi kemungkinan meletusnya perang kembali, Maharaja menawarkan salah satu putrinya untuk dinikahi Raja Gaiel. Tentu saja tidak sebagai istri utama, tetapi sebagai selir untuk jaminan perdamaian. Sebagai seorang Raja, tawaran tersebut memang tidak bisa ditolak, penolakan berarti tanda tak ingin persahabatan dan berujung peperangan.

"Tak usah dibahas lagi ..., aku sedang depresi .... Kemarin malam saat membicarakan hal itu dengan Dalia, dia malah menangis .... Akh, sial sekali .... Padahal aku sudah menghindari berbagai macam tawaran pernikahan, tapi kenapa meski sudah jadi Raja hal seperti ini masih saja ...."

"Tapi kalau kau menolaknya, bisa-bisa perang terjadi loh, Gaiel ...."

"Sudah kubilang jangan dibahas lagi, aku tahu itu ...."

Raja Gaiel mendongak ke atas, melihat langit biru cerah dan burung-burung yang terbang dengan ceria. Menghela napas sesaat, Raja melirik dan berkata, "Bukannya kau juga punya masalah? Bagaimana keadaannya ..., itu ... istrimu .... Bukannya dia terkena kutukan saat tragedi itu?"

Sesaat Dart terdiam, kembali menatap ke depan dan melihat air mancur indah yang gemerlap terkena cahaya matahari. "Entahlah ..., aku juga tidak tahu," ucapnya dengan nada sendu. Melihat ke arah Raja Gaiel, Dart bertanya, "Kalau istrimu tiba-tiba berubah sifatnya, apa yang kau lakukan, Gaiel?"

"Tiba-tiba berubah sifatnya? Ooh, kepribadiannya sudah kembali, ya ...."

"Hmm ..., dia sudah kembali menjadi dirinya sendiri. Tapi ..., entah mengapa dia terasa berbeda, rasanya bukan seperti Mavis. Bahkan ..., belakangan ini aku sangat jarang bicara dengannya ...."

Raut wajah Dart benar-benar terlihat bingung dan takut akan sesuatu. Raja Gaiel baru pertama kali melihat raut wajah sahabatnya yang seperti itu. Menarik napas dalam-dalam, Ia benar-benar memikirkan jawaban yang tepat untuk sahabatnya.

"Semua perempuan itu sikapnya selalu berubah-ubah, Dart .... Contohnya saja kalau sedang datang bulan, mereka akan cepat marah dan beringas. Kalau sedang cemburu, mereka akan merajuk. Saat kelakuan mereka berubah seperti itu ..., sebagai suami kita hanya bisa sabar dan tetap berada di dekatnya."

"Tetap di dekatnya?"

"Ya .... Mendampinginya adalah hal paling membahagiakan, paling tidak itu menurutku. Terlebih lagi ..., Mavis .... rahimnya katanya ...."

"Rusak ..., kemungkinan dia tidak akan bisa punya anak .... Dia sangat terpukul karena itu."

Suasana sesaat senyap kembali, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua pria tersebut. Mendongak dan melihat ke arah langit, Dart merasa kalau rasa cintanya pada Mavis tidak akan berubah meski istrinya tersebut tidak bisa memberinya keturunan. Dart sangat tahu dirinya merasakan hal seperti itu karena masih muda, Ia tidak tahu apa yang akan dirasakannya nanti saat umur sudah bertambah. Tetapi, memang dirinya pada detik ini pun masih mencintai Mavis.

"Sebaikanya kau selalu di dekatnya, jangan malah galau sendiri .... Tidak bisa menjadi Ibu itu sangat berat bagi perempuan, terutama yang sudah menikah dan berkeluarga."

"Aku paham ..., Gaiel."

Mereka berdua terdiam, saling menghela napas penuh rasa resah. Menatap satu sama lain, Dart dan Gaiel tersenyum dan saling menertawakan masalah masing-masing dan sedikit mengurangi beban pikiran.

Bangun dari tempat duduk, Raja Gaiel berkata, "Aku kembali ke ruanganku dulu. Barangkali mereka sudah datang ...."

"Apa ada pertemuan lagi? Dengan siapa?"

"Ya ..., orang-orang dari kota Kerajaan Ungea. Soal pernikahan itu ..., mereka benar-benar menunggu jawabannya segera. Kata mereka akan ada wakilnya dulu datang hari ini. Haaah, semoga saja Dalia tidak marah lagi saat mendengar masalah ini ...."

Dart menatap datar saat mendengar itu. Memalingkan wajah dengan resah, pria yang rambutnya mulai memutih itu menarik napas dalam-dalam. "Semoga beruntung, sobat," ucapnya seraya mengacungkan jempol.

"Kau juga, semoga ... Mavis cepat sembuh."

Raja Gaiel berbalik, berjalan meninggalkan sahabat setianya itu di taman sendirian. Melihat Raja itu pergi, Dart kembali memasang wajah dengan tatapan sendu penuh beban pikiran. Hela napas keluar darinya, menatap langit dengan datar dan kosong.

Angin berhembus, sesaat membawa rasa tenang dalam benak pria itu. Tetapi tidak lama kemudian, seorang wanita berambut pirang datang ke taman penuh bunga anyelir itu. Rambut pirangnya sangat mencolok di antara warna bunga yang mekar, berkibar terkena angin yang bertiup cukup kencang. Dengan gaun berwarna ungu dan bando pita di kepalanya, sosok Mavis sangat berbeda dari yang Dart ketahui.

Selama pria itu bersama istrinya, dirinya tidak pernah melihat Mavis berpenampilan seperti itu. Wanita yang menjadi pendamping hidupnya tersebut terasa seperti orang lain, itulah yang ada dalam benak Dart saat melihatnya datang.

Sedikit memasang senyum simpul, perkataan yang ingin terucap tertelan kembali. Dart memalingkan pandangannya, tanpa mengatakan apa yang ada dalam benaknya. Sebenarnya ia ingin memujinya atau mengatakan hal-hal lain. Tetapi saat mata bertatapan, perkataan tertahan dalam benak dan tak bisa terucap.

Mavis berjalan mendekat, lalu duduk di sebelah Dart. Angin kembali berhembus, menerpa kedua orang itu seakan mendorong mereka untuk bicara satu sama lain. Sekawanan burung mulai hinggap pada pepohonan, berkicau dengan meriah.

"Apa kau ... sudah lebih baik ... tubuhmu ... ? Dan juga ..., bukannya kau juga terpukul kehilangan adikmu itu, 'kan? Maaf ..., aku tidak bisa memberikan pemakaman yang pantas untuk Proten .... Jasadnya bahkan tidak ditemukan di kota itu ...."

Mavis hanya terdiam dengan wajah tertunduk, wanita itu sama sekali tidak membalas perkataan itu. Meski burung-burung turun, lalu bertengger pada bahu dan kepala wanita itu, ia tetap terdiam dan tidak bergerak.

Sekilas Dart melirik, melihat wajah istrinya yang tidak terlihat menua dan masih seperti saat pertama kali bertemu dengannya. Melihat wajah murung wanita itu, pria berambut kucir tersebut merasa bersalah dan memasang wajah sedih.

"Ibunda sudah membuat makam Proten di Miquator .... Dart, engkau tidak perlu merasa bersalah soal itu .... Semua orang kelak akan mati, hanya masalah waktu dan cara saja yang berbeda masing-masing orang ...." Mengangkat wajah, Mavis memasang senyum yang terlihat terpaksa. Air mata meniti keluar, mulai tidak terbendung dan mengalir deras membasahi pipi.

Dart langsung memeluknya, mendekap dengan erat istrinya itu. "Aku masih bersamamu ..., jangan menangis seperti itu," bisik Dart pada telinga Mavis.

Pria itu tidak tahu kenyataannya, dan seterusnya tidak akan tahu alasan apa yang membuat wanita tersebut menangis. Kebohongan tersebut tidak akan terbongkar oleh pria yang tidak peka itu, tak akan muncul ke permukaan dan tak akan dipermasalahkan.

Melepaskan pelukan, Dart mengusap air mata wanita itu. Mata mereka saling bertatapan satu sama lain setelah sekian lama. "Dart ...," Memanggil namanya dengan sayu, Mavis memejamkan matanya dan mulai mendekatkan bibir. Begitu pula pria itu, Ia mendekatkan bibirnya dan hendak mencium Mavis.

"Ehem!" Orang yang datang bersama Mavis menyela mereka sebelum suasana bertambah mesra. Dengan kaget Dart melihat ke sumber suara, melihat Fiola dengan wajah sedikit kesal karena dari tadi diacuhkan.

"E-Eh ..., sejak kapan?"

"Sejak tadi, Tuan Dart ...."

Mavis dan Dart saling menjauh, lalu memalingkan wajah mereka. Melihat tingkah laku pasangan suami istri itu yang seperti pasangan baru, alis Huli Jing tersebut sedikit terangkat kesal. Ia langsung mendekat, lalu merapikan Kimono-nya sebelum duduk di antara Mavis dan Dart.

"Dasar ..., kalau dibiarkan Tuan Dart pasti main serobot ...."

"Kok salahku, bukannya tadi suasananya sudah pas? Tadi ...."

"Sudah pas apanya? Minggat saja! Perwujudan hawa nafsu!"

Fiola mengusir Dart dari atas bangku. Menunjuk lurus ke arahnya, perempuan berambut hitam kecokelatan itu berkata, "Bukannya hari ini Tuan Dart ada pertemuan dengan orang dari Keluarga Rein itu? Mau bahas wilayah atau apalah!"

"Kenapa kau bisa tahu tentang urusanku ...? Hah, benar juga sih, mungkin utusan si Thomas sudah mencariku ke penjuru istana saat ini .... Menjadi Tuan Tanah memang menyusahkan."

Pria itu menggaruk belakang kepala, memalingkan wajah seraya curi-curi pandangan dengan Mavis. Menyadari hal itu, rasa kesal kembali membuat alis Fiola berkedut. "Cepat pergi, nanti saya bakar anda sekarang juga ...," ucap Fiola dengan kesal.

"Ya, ya .... Kalau begitu aku titip Mavis ya, dah!"

Dart berbalik dan pergi dari taman itu. Julia yang baru datang ke tempat itu terlihat bingung, melihat ke sana kemari dengan gelisah dan ekornya meriah sendiri di balik kimono. Gadis kucing itu melihat ke arah Fiola, tetapi malah mendapat tatapan tajam penuh rasa kesal. Dengan panik, gadis kucing yang baru datang itu memutuskan untuk ikut pergi bersama Dart.

Menghela napas setelah Dart dan Julia pergi, perasaan aneh dalam benak mengisi Fiola saat memikirkan perkataan pria itu sebelum pergi dari taman. Wajah yang tadinya terlihat cerah mulai muram, ia pun sedikit menoleh ke arah Mavis.

"Apa ini tidak apa-apa, Nona? Meski kebohongan ini bisa dipertahankan, kelak nanti pasti akan terbongkar ..., Nona Proten."

Wanita berambut pirang itu tersenyum tipis mendengar perkataan dengan nada sedih itu. Menatap Fiola, Mavis berkata, "Apa yang engkau bicarakan, rubah kecilku? Diriku adalah Mavis ..., sepertinya engkau salah orang .... Sosok yang engkau sebut cahaya itu sudah tidak ada, bukannya sudah kubilang berkali-kali?"

"Saya tak akan salah membedakan cahaya yang sudah menerangi kehidupan ini, wahai tuanku .... Meski dirimu sampai membohongi diri sendiri, Nona Proten. Saya tidak akan pernah mengingkari kesetiaan ini ...."

Fiola bangun dari tempat duduknya dan berdiri di depan Mavis. Berlutut dengan penuh rasa bangga dalam benak, Huli Jing yang menyembunyikan ekor dan telinga rubahnya dengan sihir transformasi itu menundukkan kepalanya.

"Engkau adalah tuanku, fakta itu tidak akan berubah apapun yang terjadi .... Saya bersumpah tidak akan mengatakan ini kepada siapa pun, saya akan selalu di pihak anda dan mendukung tujuan anda, Nona ...." Fiola mengangkat wajahnya, menatap dengan mata berkaca-kaca seakan memahami apa yang dirasakan wanita yang duduk di hadapannya.

"Apa itu tak masalah buatmu? Bukannya kau benci berbohong ..., bahkan saat Kakak ingin membohongi Dart soal keadaannya, kau yang paling menolaknya."

Fiola bangun, lalu langsung memeluk wanita berambut pirang yang duduk di bangku dengan erat. Mendekatkan mulutnya, Huli Jing itu berbisik, "Tidak apa .... Alasanku menolaknya karena kebohongan itu merugikan anda. Tetapi ..., kebohongan ini Nona yang ingin membuatnya. Saya akan usahakan itu akan terjaga sampai semuanya berakhir." Melepaskan pelukan dan kembali berdiri tegak, air mata mulai mengalir membasahi pipi.

"Lantas mengapa engkau menangis, rubahku?"

"Ini ... terlalu menyedihkan, Nona .... Meski anda sudah mendapat kesempatan, tetapi kondisi anda, dan waktu yang anda miliki sekarang ...."

Mavis tersenyum mendengar itu. Bangun dari bangku dan memeluk Fiola, wanita berambut pirang itu berkata, "Tidak apa ..., ini semua tak apa untukku. Yang menjadi korban bukanlah diriku atau kakak, tetapi sesungguhnya Dart ...."

Melepaskan pelukan dan berbalik menghadap ke arah pepohonan di taman, Ia tersenyum tipis seraya melihat burung yang masih bertengger pada pundaknya. "Entah sampai kapan, berapa banyak ... kami bersaudara akan membohongi pria itu demi keegoisan ini .... Sungguh, keegoisan seorang wanita memang sangat besar," ucapnya dengan berlinang air mata.

Dalam hembusan angin yang menerpa tubuh mereka, tangis senyap lepas dan air mata mengalir tanpa dibendung. Itu rahasia yang ada di antara mereka berdua, dosa yang kelak akan ditagih saat penghakimannya. Wanita berlumur dosa dan rubuhnya, meski tahu hal itu tidaklah baik, mereka tetap akan berbohong demi secerah harapan dalam hati.


next chapter
Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C49
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk