Unduh Aplikasi
7.85% POLIGAMI / Chapter 22: Keputusan Umar

Bab 22: Keputusan Umar

Seminggu berlalu sejak Latifah memberitahu Aisyah tentang niatnya untuk menjadikan Aisyah sebagai istri kedua untuk Rafka, mereka tidak lagi bertemu.

Dalam seminggu itu pula, Aisyah berdoa dan mencari jawaban atas permasalahan yang di hadapinya saat ini. Sesuai dengan apa yang Umar katakan, Aisyah selalu terbangun di pertengahan malam. Melaksanakan solat istikharah untuk meminta petunjuk pada yang kuasa, dan jawaban yang ia butuhkan ada dalam mimpi yang sama selama seminggu ini.

Setiap hari, Umar selalu menanyakan hal yang sama. Aisyah tidak mengerti kenapa ayahnya selalu menanyakan hal itu, tapi yang pasti Umar selalu tersenyum dan mengangguk setelah mendengar cerita Aisyah. Seperti saat ini, Aisyah baru saja mengatakan jika ia memimpikan hal yang sama seperti di hari pertama solat istikharah.

"Ayah, sebenarnya ada apa dengan mimpi-mimpi itu?" Tanya Aisyah menyuarakan rasa penasarannya.

Umar tersenyum, lalu ia membelai kepala Aisyah dan mengatakan hal yang berlainan dengan pertanyaan Aisyah.

"Kamu sudah dewasa, sudah waktunya untuk menikah. Ayah akan merestui jika kau ingin menikah dengannya, walaupun ayah sedikit ragu. Apa kau sanggup menjalani hidup sebagai istri kedua?" Ungkap Umar dengan wajah seriusnya.

Aisyah mengernyit mendengar perkataan sang ayah, sepertinya jawaban yang ayahnya maksudkan itu adalah aku harus menerima permintaan ini.

"Apa itu artinya mas Rafka jodohku ayah?" Tanya Aisyah lagi memastikan.

Umar tersenyum mendengar pertanyaan Aisyah, ia sendiri tidak tau apa sebenarnya jawaban yang benarnya. Hanya saja, di dalam mimpi itu Rafka memanggil putri tercintanya penuh rasa cinta.

Dalam sekali dengar, ia sudah tau jika memang mereka di takdirkan berjodoh. Walau mungkin kehidupan rumah tangga mereka tidak akan berjalan dengan mudah, Aisyah mengangguk paham, lalu ia pun mulai menunduk ragu untuk menceritakan apa yang ada di kepalanya itu.

"Ayah memutuskan hal itu berdasarkan dengan mimpimu sendiri, sayang. jika memang dalam mimpi itu kau dan Rafka di hadapkan dengan tatapan penuh cinta, bukankah kamu sudah tau jawabannya?" Jawab Umar meyakinkan.

Aisyah menunduk sesaat, memikirkan perkataan ayahnya. Memang benar ia memimpikan hal yang sama selama 8 malam ini, dan dalam mimpi itu Rafka menatapnya dengan penuh cinta. Lalu panggilan itu, rasanya begitu nyata.

'ya Allah, apakah ini jawaban darimu? Aku berjodoh dengan mas Rafka? Jika memang itu benar, maka yakinkan hatiku untuk menerima dirinya dalam hatiku ya Allah.' batin Aisyah berdoa.

Aisyah menghela nafas panjang, jika memang ayahnya setuju, berarti tidak ada alasan lagi untuk Aisyah menolak.

"Baiklah ayah, jika memang itu keputusan terbaik maka Aisyah akan menerimanya." Putus Aisyah dengan senyumnya.

Umar tersenyum, lalu ia memeluk Aisyah tanda jika ia begitu menyayanginya.

"Ayah tidak menyangka kau tumbuh secepat ini, tapi ayah juga bahagia karna kau akan menemukan takdirmu sendiri." Ungkap Umar dengan lembut.

Aisyah tersenyum dalam pelukan sang ayah, ia juga merasa waktu begitu cepat berlalu. Ia terbiasa hidup dengan sang ayah, entah bagaimana kehidupannya setelah menikah nanti. Hanya saja, Aisyah pasti akan selalu merindukan sang ayah.

"Ayah, tapi bagaimana cara aku mengatakannya pada mba Latifah? Aku tidak tega menyakitinya, dia terlalu baik." Gumam Aisyah bingung.

Umar mengecup kepala Aisyah, lalu ia memberi arahan pada Aisyah untuk bersikap sedikit lebih berani menyuarakan apa yang di anggapnya benar.

"Sayang, jika pilihanmu itu memang benar maka jangan ragu untuk mengatakannya. Karna kebenaran akan selalu memiliki jalan untuk terungkap, jadi kami tidak perlu takut untuk mengatakan hal yang benar." Jelas Umar pada Aisyah.

Aisyah mengangguk paham dalam pelukan Umar, ia pun semakin mengeratkan pelukannya. Entah kenapa Aisyah merasa dirinya begitu manja akhir-akhir ini, karna selalu ingin memeluk sang ayah.

"Putri kecilku yang manja" bisik Umar pada Aisyah.

Aisyah tersenyum malu mendengar bisikan sang ayah, tapi jika boleh jujur apa yang di katakan Umar memang tepat sekali.

"Ayah" rengek Aisyah pada Umar.

Umar pun terkekeh geli mendengar rengekan Aisyah, ia benar-benar tidak menyangka jika putrinya masih bisa bersikap manja di usinya yang meninjak 21 tahun.

.

.

.

Di sisi lain, Latifah baru saja selesai membersihkan rumah seperti sebelumnya. Kini ia melangkah untuk membersihkan dirinya, karna sebentar lagi sang suami juga akan pulang dari kantor.

Latifah sudah memesan makanan beberapa saat lalu, jadi ia tidak perlu bingung untuk memasak makanan yang baru. Selama seminggu ini ia memang memesan makanan dari luar, tapi dengan menu yang berbeda. Dan untungnya Rafka tidak pernah mempermasalahkan hal itu, jadi Latifah tidak pusing harus memasak.

Baru saja Latifah selesai memakai hijabnya, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Latifah langsung keluar dari kamar, dan membukakan pintu untuk orang itu. Ternyata kurir pengantar makanan, Latifah langsung membayar dan mengambil makanannya. Setelah kurir itu pergi, Latifah langsung masuk kembali dan menutup pintu.

"Akhirnya sampai juga, aku harus membereskan dulu makanannya sebelum mas Rafka pulang." Gumam Latifah sambil melangkah menuju dapur untuk merapikan makanan itu.

Setelah selesai, Latifah menata makanan itu di atas meja. Dan bertepatan dengan itu, Rafka memasuki rumah.

"Assalamualaikum" ucap Rafka memberi salam.

Latifah menoleh menatap sang suami, lalu ia pun menjawab salamnya.

"Waalaikum sallam, duduk dulu mas! Kamu pasti lelah kan?" Jawab Latifah sambil melangkah menghampiri Rafka.

"Ya lumayan, pekerjaan hari ini juga banyak, tapi lebih baik dari kemarin." Balas Rafka sambil bersandar pada sofa.

Latifah tersenyum, lalu ia membukakan sepatu Rafka dan membawa tasnya.

"Mas mau makan dulu atau mandi dulu?" Tanya Latifah memberi pilihan.

"Mandi dulu, aku belum solat Ashar soalnya." Jawab Rafka dengan lelah.

"Ya sudah mas mandi dulu terus solat, aku akan menunggu di ruang makan." Balas Latifah.

Rafka mengangguk paham, lalu ia melangkah ke kamar di ikuti Latifah di belakangnya. Sesampainya di kamar, Latifah langsung menaruh sepatu dan tas Rafka di tempatnya. Lalu ia kembali keluar, dan menunggu Rafka di ruang makan.

Sedangkan Rafka, ia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai dengan acara mandinya, ia pun berwudhu. Lalu Rafka keluar dari kamar mandi, ia langsung memakai kokoh dan sarungnya. Setelahnya Rafka menggelar sajadah, dan melaksanakan solat Ashar.

10 menit kemudian, Rafka keluar dari kamarnya setelah selesai mengerjakan solat Ashar. Lalu ia bergabung dengan Latifah yang sudah menunggunya di ruang makan, lalu mereka makan bersama.

Sekilas, mereka terlihat sama-sama menikmati masa-masa itu. Padahal sebenarnya tetap saja ada yang kurang, mengingat Latifah tidak memasak makanan itu sendiri dan juga hanya mereka berdua di sana tidak ada lagi anggota keluarga yang ketiga yang memang selalu di nantikan oleh mereka.


next chapter
Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Rank -- Peringkat Power
    Stone -- Power stone

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C22
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank NO.-- Peringkat Power
    Stone -- Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk