Aku membuka mataku dan terkejut karena aku tidak bermimpi buruk. Aku melompat-lompat kegirangan.
"Pagi Ibu, pagi Ayah ..." sapaku begitu sampai ruang makan.
"Duh anak Ibu keliatan seneng banget," goda ibu.
"Pasti ada sesuatu," sambung ayah.
Aku terkekeh.
"Dasar anak gadis," ucap ibu.
"Apa sih yang bikin kamu seneng?" tanya ayah.
"Hmm ... ada deh," godaku.
"Apapun itu ... selagi baik buat kamu, Ibu ikut seneng," ujar ibu.
"Ibu emang yang terbaik!" Aku mengacungkan kedua jempol.
"Hari ini ayah anter ya."
"Bener Yah?"
"Iya."
"Ok."
Aku senang sekali, setelah dua bulan aku tidak diantar Ayah.
***
"Makasih Ayah!" ucapku.
"Iya, semangat belajarnya ya!"
"Siap Ayah!"
"Kei!" sapa Farel.
"Pagi om ..." sambungnya.
"Pagi Farel ..."
"Pantesan aku chat ngga dibales-bales," ujar Farel.
"Eh? Maaf hehehe ..."
"Kalian masuk sana nanti kesiangan," titah ayah.
"Siap Ayah."
"Baik om."
"Ayah berangkat ya. Om titip Kei ya Farel," ujar ayah sebelum pergi.
"Pasti om," balas Farel.
Ngeng...
Ayah sudah pergi ke kantornya.
"Oh ya Kei, Mama aku minta kamu buat main lagi ke rumah," ucap Farel.
"Oh ya?" balasku tak percaya.
"Iya! Mau ajakin kamu masak-masak."
"Hahaha ... ok deh, nanti aku main."
"Siap, mama pasti seneng."
"Eh itu ada Mia, kamu ke kelas aja Rel. Aku bareng Mia," ucapku disusul berlari.
Farel hanya memandangi Kei.
"Kalau suka tuh bilang," Tiba-tiba Nadine datang.
"Udah dibilangin ngga suka," sanggah Farel.
"Bohong banget," ucap Nadine cepat.
Farel menengok.
"Apa?" sahut Nadine judes.
Bukannya menjawab Farel pergi begitu saja.
"Dasar aneh," gumam Nadine.
"Mia, kok kamu ngga ngabarin grup sih?" tanyaku.
"Ngabarin apa?"
"Tugas, aku nungguin tau."
"Oh, udah sama aku. Aku ngga enak aja sama kamu."
"Lho ngga enak kenapa? Kan udah jadi tugas aku."
"Ya kamu udah ngerjain bagian Revan. Jadi aku mau ringanin beban kamu," jelas Mia bohong, padahal kesal karena Farel lebih memilih bersama Kei daripada dirinya.
Jadi, waktu hari sabtu saat mereka kerja kelompok di rumah Azza. Mia mengirimkan pesan ajakan main pada Farel. Namun, Farel tidak membacanya dan saat itu dia harus melihat kepergiannya bersama Kei. Hal inilah yang membuat rasa tidak kesukaan Mia terhadap Kei semakin besar.
"Ngga kok, Revan mengerjakan bagiannya dan aku juga. Jadi aku ngga merasa terbebani," ucapku.
"Pokoknya udah Kei! Kamu kok maksa sih?" Mia meninggikan suaranya.
"Eh eh si Kei kenapa lagi deh?"
"Mia mulai kesal."
"Udah sih tinggalin aja Kei."
"Bagus Mia!"
Aku sudah terbiasa dengan celotehan-celotehan yang tidak berdasar.
"Mia, aku ngga maksa ... aku cuma jelasin aja, toh emang itu tugas aku," jelasku lagi.
"Udah jelas-jelas kamu maksa ..." lirih Mia meninggalkanku.
"A-apa?" ucapku tak percaya.
Seketika semua murid memandangku sinis.
Nadine menghampiri Kei.
"Kei?" panggilnya.
"Hai Nadine."
"Ayo ke kelas, bentar lagi masuk," ajaknya.
"Iya."
Baru saja aku tiba di pintu kelas, semua mata tertuju padaku. Aku merasakan tatapan kebencian.
"Emang ngga salah milih Mia," batin Nadine senang.
"Kei ayo duduk," ajak Nadine.
"Liat dia, masih tidak tahu malu!"
Aku berjalan dengan kepala menduduk, mendengar segala hinaan mereka.
"Bener banget! Kalau aku jadi dia, aku ngga akan bisa masuk."
"Sama banget!"
"Tolong ya jangan berisik, bentar lagi masuk!" tegur Shella.
Semua langsung diam, memang tidak ada yang berani melawan Shella. Sekali ada yang berani pasti kalah telak, maka dari itu mereka memilih untuk tidak berurusan dengan Shella.
"Kei ngga apa-apa?" tanya Shella begitu aku duduk.
"Ngga apa-apa kok, makasih ya," jawabku.
"Sama-sama," balas Shella.
Aku beruntung bertemu dengan teman sebaik Shella.
***
"Baik anak-anak, jangan lupa tugasnya dikumpulkan besok," titah guru Biologi sebelum meninggalkan kelas.
"Baik bu," ucap murid kelas serempak.
Sesaat setelah guru Biologi keluar, kelas menjadi ramai. Ada yang ke kantin, ada yang tidur, ada yang bercanda, ada yang mengerjakan tugas bahkan ada yang bergosip.
"Kei, pulang sekolah jangan lupa kumpul di Perpusatakaan," kata Azza mengingatkan.
"Siap!" jawabku.
"Emang pulang sekolah ada apa Kei?" tanya Shella.
"Kerja kelompok tugas Ekonomi. Kelompok Shella udah selesai belum?" ujarku.
"Belum Kei, rencananya hari ini ngerjainnya." balas Shella.
"Ngerjain apa nih?" sambung Nadine.
"Itu tugas kelompok Ekonomi," sahutku.
"Ohh, kiraiin apaan," ucap Nadine.
"Kei dicariin Farel tuh," ucap salah satu murid kelas.
Aku melihat Farel yang sudah dadah-dadah.
"Cie Kei dijemput pacar," ledek Nadine.
"Aku tuh ngga pacaran Nadine," balasku.
"Akui aja deh Kei, ngga usah malu-malu gitu," goda Nadine.
Aku menghela napas, "sampai kapan aku harus menghadapi ini? Masa iya aku harus pacaran beneran sama Farel?" batinku.
"Kalaupun emang bener, ya udah sih. Kei ini yang jalanin bukan kamu," celetuk Shella.
"Shella ngga asik!" protes Nadine.
Shella memakai earphonenya, memilih tuk asik dengan dunianya.
Selagi Nadine asik dengan Shella, aku sudah menghampiri Farel.
"Kenapa Rel?" tanyaku.
"Makan yuk! lapar nih," ajak Farel.
"Ok," balasku.
Sepanjang perjalanan, semua mata tertuju pada kami. Farel tidak mempersalahkannya, tetapi aku sangat tidak nyaman. Rasanya seperti diawasi.
"Kei, mau makan apa?" tanya Farel.
"Mie goreng aja," jawabku.
"Ok, tunggu ya Kei," Farel segera memesan mie goreng.
Sambil menunggu Farel, aku mengotak-ngatik ponselku. Membaca kembali puisi yang aku temukan. Semakin dibaca, semakin tidak asing.
Terlalu larut dalam puisi, aku sampai tidak sadar Farel sudah duduk di depanku. Menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Ada sepasang mata yang tidak jauh dari tempat kami berada sedang memperhatikan kami, kecemburuan menyelimuti dirinya.
"Mia, kamu ngga apa-apa?" tanya Azza khawatir.
"Ngga apa-apa kok, bagaimana pun juga mereka teman sejak kecil," jawab Mia.
"Ya tetep aja, tidak seharusnya Kei mengekang Farel."
"Mengekang?"
"Iya, bersikap lemah di depannya. Tidak memperbolehkan Farel dekat dengan cewek lain, bukankah itu mengekang?"
"Tapi--"
"Aduh Mia ini. Buktinya waktu ngga ada Kei, Farel dengan nyaman ngobrol sama kamu. Aku yakin, Kei bilang ngga boleh deket-deket cewek lain."
"Tapi Kei mendukungku."
"Tuhkan tapi lagi. Denger ya Mia, Kei cuma pura-pura baik. Aslinya pasti ngga suka kamu deket sama Farel, banyak kok mikir gitu."
Samar-samar Mia tersenyum sinis.
***
Aku pulang dengan keadaan lemas, bagaimana bisa Mia berpikir demikian? Apa yang sebenarnya sudah aku lakukan? Aku benar-benar tidak tahu.
Aku juga tak habis pikir, Mia tidak memasukan materi yang sudah aku cari. Padahal materi yang ia temukan, tidak beda jauh dengan diriku. Kenapa kerja kelompok kali ini kacau. Julian tidak berbicara sedikitpun, Revan tidak mau adu argumen dan Nadine memilih tuk menghindarinya.
Hari ini adalah hari yang melelahkan.
Apakah aku sanggup menjalani hari-hari di Sekolah jika terus seperti ini?
***
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!