Pukul delapan malam Dhika kembali keaprtemennya, ruangan itu masih gelap padahal ia melihat sepatu sekolah milik Arsyilla.
Dhika menyalakan semua lampu lalu pergi kedapur untuk meletakkan dua bungkus makanan yang ia beli di perjalanan pulang di atas meja makan, setelah itu Dhika pergi masuk kekamar untuk membersihkan diri.
Dhika merebahkan tubuhnya sejenak di atas kasurnya, menutup mata untuk meringankan rasa lelahnya, bayangannya kembali saat melihat wajah Arsyilla yang penuh dengan kemarahan.
***
Arsyilla berada di kamarnya dengan semua alat makan yang telah tersedia, ia menyiapkan diri untuk tidak kelaparan saat masa hybernasinya.
Arsyilla berbalas pesan group dengan dua sahabatnya, ia tidak tau kalau pria itu telah pulang.
Kepompong group.
"Ci, sorry kalau kita tadi diem pas lo tanya, kita takut lo ngamuk." Zanetha memulai roomchat.
"No problem," balas Cia.
"Lo marah sama kita?" Timpal Cecil.
Cecilia dan Zanetha seperti lomba typing dan Arsyilla menjadi juri.
"Nggak, cuma kecewa."
"Kita tau kok lo marah banget tadi, tapi fokus kita bukan ke si lampir tapi ke Pak Ramlan," jelas Zanetha.
"Tapi gue juga nggak akan terima, lo berdua mikir nggak kalau seandainya gue yang kena tu bola? Si lampir mang cewek gila." Umpat Arsyilla, membayangkan wajah Maya saja bisa buat kepala gadis itu tumbuh tanduk.
"Maafin Kita Ci," balas Zanetha begitupun dengan Cecilia.
"Ya udah lah lupain aja, nggak pentig juga."
"Ok kalau gitu besok gue traktir bakso kesukaan lo deh," ucap Zanetha, berniat mengambil hati Arsyilla.
"Gue di skors sama Pak tua," ketik Arsyilla enteng.
"What!!!"
"Apa!" Balas Zanetha dan Cecilia bersamaan, mereka kaget karena baru mengetahui kabar ini.
"Nggak usah teriak juga lo bedua, budeg ni," balas Arsyilla.
Arsyilla membayangkan ketika keduanya mengatakan itu secara bersamaan dengan wajah kaget Zanetha yang lebay, kalau Cecilia wajah kagetnya santai, yang horor kan wajahnya saat marah, apalgi kalau marahnya ke Zanetha, kalah Suzanna.
Remaja itu terkikik geli mengingat kedua sahabat absurdnya, tapi sangat di sayanginya.
"Apaan sih lo Ci," balas Cecilia dengan emot mata keatas.
Tidak puas hanya dengan mengetik, Zanetha lalu beralih ke panggilan video, sudah tentu Arsyilla menolaknya, ia tidak ingin teman-temannya curiga dengan suasana kamar yang berbeda.
"Gue ngantuk, ntar pas sekolah gue ceritain." Setelah itu Arsyilla menutuop roomchat groupnya, ia turun dari kasur dan membersihkan tempat makannya.
Kamar mewah penthouse ini telah berubah fungsi di buat Arsyilla.
Dia tidak peduli jika Dhika melihat kamarnya yang mewah telah berubah fungi jadi kamar kos-kosan, semua menumpuk satu ruangan.
Lapi pula mana mungkin Pak tua itu masuk kekamar ini, pikir Arsyilla percaya diri.
"Dasar guru sinting." Umpat Arsyilla saat melihat pipinya yang sedikit bengkak dari cermin.
Arsyilla tau tamparan itu bermakna lain, itu yang membuatnya tidak terima atas perlakuan guru muda itu.
***
Selesai mandi Dhika keluar kamar menuju dapur, ia melihat jika bungkusan makanan yang ia bawa masih dengan posisi yang sama, artinya gadis itu tidak keluar dari kamarnya.
Sempat berpikir untuk mengetuk pintu kamar gadis itu namun ia urungkan, baginya makan atau tidak bukanlah urusannya yang penting dirinya sudah bertanggung jawab membawa makanan agar remaja itu tidak kelaparan.
Seperti biasa, Dhika makan di temani kesunyian dan kesepian, sejak kepulangannya ke Indonesia dia lebih memilih tinggal di penthouse daripada di rumah orangtuanya, bukan karena hubungan yang tidak baik hanya saja dirinya memang menyukai kesendirian dengan suasana setenang ini.
Ia membeli nasi goreng yang Arsyilla makan dengan lahap kemarin, gadis itu sepertinya sangat menyukai nasi goreng tersebut.
Duduk sejenak untuk memberi ruang bagi makanan yang tergiling di perutnya, pria itu mulai mencuci pring dan gelas kotor, tidak lupa membersihlan meja makannya.
Selama dirinya duduk di meja makan, gadis itu sama sekali tidak keluar kamar, ia seperti tinggal seorang diri di penthouse ini.
'Buatmu' Dhika meninggalkan note di atas meja yang mudah di lihat oleh Arsyilla, jadi jam berapapun gadis itu keluar dia bisa memakan nasi gorengnya.
Saat melewati tangga ia melihat keatas tepatnya kepintu kamar Asryilla yang tertutup, pikiran dan tatapannya rumit membuat pria tenang itu menghembuskan nafas kasar, setelahnya ia pergi menuju kamarnya.
Ponselnya bergetar menandakan ada panggilan masuk, melihat nama yang tertera Dhika langsung mengangkatnya dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
"Hallo El, kenapa kamu yang telpon? Udah makan? Minum obat udah? Terus gimana kondisimu sekarang?" Tanya Dhika secara beruntun.
"Hallo Dhik, satu-satu kalau nanya," jawab suara wanita di sebrang telpon.
"Ya maaf, sekarang jawab pertanyaanku." Dhika berjalan kearah balkon dan duduk di salah satu kursi.
"Aku kangen, udah makan dan minum obat juga, terus kondisiku juga udah mendingan setelah kemo, tapi aku makin jelek," lirih gadis itu di ujung kalimat.
"Bagiku kamu yang paling cantik, stop mikirin penampilan kamu Ell," ucap Dhika sedikit tegas.
"Gimana pernikahan kamu?" Gadis bernama Ellena itu mengalihkan pembicaraan.
"Tidak serumit yang aku pikirkan."
"Kamu yakin bisa jaga hati? Dia sangat cantik, mudah buat siapa saja jatuh cinta padanya Dhik." Terdengar nada pesimis dari gadis yang sedang berjuang melawan kanker rahim.
"Kamu ragu padaku? Mudah buat orang lain apa juga harus mudah untukku?" Ellena tersenyum yang pasti tidak akan bisa di lihat oleh Dhika.
"Selama kamu yang mengatakan itu, aku yakin dan percaya." Dhika mengirim foto Arsyilla di hari ia mengetahui akan di jodohkan, dan Ellena iri melihat wajah yang sangat cantik dan sepertinya dia gadis yang menyenangkan.
"Kamu bilang tadi tidak merepotkan menikah dengannya, apa maksudmu?"
"Dia tidak suka pria tua sepertiku, dan juga dia tidak menginginkan pernikahan ini, aku membuat kesepakatan dengannya."
"Pria tua? Kesepakatan?" Tanya Ellena bingung.
"Dia masih remaja, kami terpaut usia 10 tahun dan dia menganggapku pria tua yang ingin menikah dengan bayi sepertinya."
Terdengar suara tawa renyah di sebrang telpon, wanita itu tidak berhenti tertawa mendengar apa yang di ucapkan kekasihnya.
"Apanya yang lucu?" Tanya Dhika pura-pura kesal, ia senang bisa mendengar suara tawa kekasih hatinya.
"Sorry, aku tidak bisa menahannya, gadis itu sangat lucu menurutku." Ellena masih tertawa di sela ucapannya.
"Menurutmu lucu saat dia mengataiku?"
"Bukan begitu, maaf." Ellena berusaha berhenti tertawa tapi saat membayangkan gadis itu mengatakan hal yang mungkin tidak akan pernah orang lain berani katakan pada Dhika membuat wanita itu tertawa.
"Dia sungguh berani padamu? Aku jadi penasran."
"Jangan bahas dia, aku ingin kamu ceritakan apa yang kamu lakukan hari ini?"
"Tidak ada yang special, seperti biasa saja Dhik," ucap Ellena pelan.
"Bersabarlah sedikit lagi, setelah urusanku selesai aku akan segera kesana menemanimu, kita akan bersama."
Dhika berjanji kali ini ia tidak akan meninggalkan kekasihnya apapun itu alasannya, ia yang membuat Ellena kehilangan banyak hal, dan sekarang ia akan membalas semua cinta gadis itu.
"Dhik, jangan paksakan dirimu, aku baik-baik saja, bagaimana kabar kakekmu?"
"Berapa kali harus aku katakan, jangan membahas siapapun saat kita sedang bicara, aku ingin memanfaatkan waktu yang ada."
"Sebelum aku mati begitu?"
"Ell! Aku tidak ingin kamu mengucapkan kata itu, selamanya tidak." Dhika memejamkan matanya, hatinya sakit saat mendengar suara tidak berdaya kekasihnya.
"Tapi itu yang akan terjadi Dhik."
"Sudah cukup, istirahatlah. Besok aku yang akan menghubungi dirimu lebih dulu, take care and I love you," ucap Dhika lembut.
"Kamu juga, i love you too."
Dhika menutup panggilan itu, matanya terpejam, mengadahkan wajahnya kelangit, menatap nanar bulan dan bintang yang menemaninya menahan beban ini.
selamat membaca guys :)