Unduh Aplikasi
7.69% Perjanjian Ketiga / Chapter 2: Misteri dibalik Tradisi Bancakan

Bab 2: Misteri dibalik Tradisi Bancakan

"Nak Wibi ... bisa bantu Simbok)* mengambilkan daun pisang di kebon)*?" tanya Simbok, ibu mertuanya, sambil menengok Wibi dari balik pintu yang menghubungkan ruang makan dengan ruang tamu. Saat itu Wibi sedang asyik dengan koran sorenya di ruang tamu. Dia ditemani Ratri, istrinya yang sedang hamil tiga bulan.

"Daun pisang untuk apa, Mbok?" Wibi balik bertanya.

"Ini lho ... Simbok mau membuat bancakan)* dan sajen)*." Tanpa menunggu kesanggupan Wibi, Simbok kembali ke dapur untuk mempersiapkan acara bancakan sore nanti. 

"Aku sebenarnya tidak setuju dengan cara Simbok ini, meskipun aku lahir dan besar di lingkungan keluarga yang memegang teguh adat dan budaya Jawa," Wibi meletakkan korannya dan memandang Ratri.

"Ya beginilah Mas, tradisi yang selalu dilaksanakan Simbok. Mungkin Mas sudah tidak terbiasa dengan ini semenjak tinggal lama di Jakarta."

"Kalau cuma bancakan terus dibagikan pada anak-anak tetangga sih aku nggak apa-apa, Rat. Tapi kalau pakai sajen segala, itu yang sekarang aku tidak setuju! Sama saja Simbok itu memberi makan pada lelembut)*. Atau mungkin Simbok mempunyai keinginan tertentu dengan sesajen itu. Karena pada dasarnya sesajen itu adalah permintaan. Dan permintaan kepada lelembut pasti ada imbalannya, Rat."

"Jangan berprasangka buruk dulu pada Simbok, Mas. Simbok cuma minta keselamatan untuk keluarga kita. Sebenarnya aku juga begitu, tidak setuju dengan sesajennya ... tapi biarlah Simbok dengan tradisi leluhur yang telah lama diuri-urinya)*. Sedangkan kita tetap dengan pendapat yang berbeda tentang itu semua. Sudah sana ambil daun pisang dulu untuk Simbok." Ratri tersenyum memandang suaminya. Sementara Wibi hanya bisa menghela nafas panjang dan segera beranjak meninggalkan Ratri di ruang tamu menuju kebon di belakang rumah.

Bumbu gudangan)* tidak pedas dengan taoge, kangkung, kacang panjang utuh, dan telur yang dipotong-potong seperempat bagian sudah ditata rapi di dalam tampah oleh Bi Warsi, pembantu di rumah Ratri. Tampah adalah semacam nampan atau baki berbentuk bundar yang dibuat dari anyaman bambu. Ditambah dengan tujuh macam jajan pasar)*, kacang tanah dan ubi yang sudah direbus serta beberapa jenis buah-buahan diletakkan pada dua tampah yang lain. Ketiga tampah itu diletakkan di atas meja makan. Sementara itu terlihat Simbok masih sibuk menanak nasi di dapur.

Ibu Sumiyati atau Simbok kalau Wibi dan Ratri memanggil beliau dan lebih dikenal lagi dengan nama Mbok Sum oleh tetangga-tetangga di kampung karena usianya yang sudah mencapai dua pertiga abad. Tetapi paras wajahnya masih cantik dan terlihat belum begitu tua, seperti tidak sebanding dengan usianya. Mungkin karena Mbok Sum itu orangnya grapyak)*, dan sumanak)" pada setiap orang bahkan pada orang yang lebih muda usianya sekalipun. Mbok Sum juga menjalani hidup ini dengan apa adanya dan tidak banyak menuntut ... atau nrimo ing pandum, begitu kata pepatah orang-orang Jawa jaman dulu yang selalu dipegangnya dan diajarkan pada setiap orang.

Setidaknya begitulah pandangan atau penilaian orang-orang di kampungnya pada Mbok Sum. Tapi tidak banyak yang mengetahui secara pasti siapa sebenarnya Mbok Sum, isteri kedua dari mendiang Ndoro Sastro ini. Ndoro Sastro adalah seorang yang terpandang dan mempunyai banyak tanah warisan di kampungnya, di pinggiran timur Kota Solo, di tepi Sungai Bengawan Solo.

Tradisi bancakan dan sesajen ini dilakukan oleh Mbok Sum secara terbuka semenjak kematian ibunya Ratri. Tapi tidak ada yang tahu dengan pasti apa penyebab kematiannya. Ibunya Ratri meninggal dengan mendekap tiga kuntum bunga kantil di kamarnya. Mbok Sum beranggapan ada seseorang yang mengganggu keluarganya secara mistis karena ingin memiliki tanah warisan Ndoro Sastro. Dan anggapan itu yang selalu dia tanamkan pada warga kampung, sama seperti saat kematian Ndoro Sastro dan istri pertamanya dahulu.

Misteri kematian Ndoro Sastro dan istri pertamanya sampai sekarang tidak pernah terungkap. Hingga warga kampung mulai curiga Mbok Sum melakukan perjanjian tumbal dengan lelembut. Tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak untuk menyelidikinya karena anak tunggal Ndoro Sastro atau ibunya Ratri sudah mengikhlaskan kematian tersebut. Hubungan mereka dengan Mbok Sum masih terjalin dengan baik hingga mereka dikaruniai seorang anak, Ratri namanya. Dan mereka pun tetap menganggap Mbok Sum sebagai ibu kandungnya sendiri. Sementara Mbok Sum sendiri tidak dikaruniai anak dari perkawinannya dengan Ndoro Sastro.

Begitu pandai dan rapinya Mbok Sum menutupi kejadian yang sebenarnya dan rahasia itu tetap tersimpan hingga sekarang. Dan penyebab kematian Ndoro Sastro beserta istri pertama dan anak tunggalnya (ibunya Ratri) pun tidak akan pernah terungkap.

Warga kampung tetap mencurigai Mbok Sum melakukan perjanjian tumbal untuk yang kedua kalinya dengan mengorbankan ibunya Ratri. Tetapi alibi-alibi dari Mbok Sum dan perilaku-perilaku baik yang terus dilakukannya pada tetangga sekitar dapat meredam kecurigaan warga. Lambat laun cerita mistis tentang kematian tiga anggota keluarga Ndoro Sastro itu pun mereda. Orang-orang kampung mulai menghormati Mbok Sum sebagai seseorang yang dituakan di kampungnya. Tetapi tidak dengan ayah Ratri. Setelah kematian istrinya, menantu Ndoro Sastro itu tetap mencurigai Mbok Sum ada dibalik semua kejadian terbunuhnya tiga anggota keluarga Ndoro Sastro secara mistis.

Untuk menutupi kecurigaan itu, Mbok Sum ikut mengasuh Ratri kecil dan melaksanakan ritual bancakan dan sesajen dengan alasan untuk  keselamatan Ratri dan keluarganya. Tetapi kecurigaan ayah Ratri semakin besar. Dia berusaha menjauhkan Ratri kecil yang saat itu baru berusia empat tahun, dengan tidak melibatkan secara langsung pada ritual bancakan dan sesajen yang selalu dilakukan oleh Mbok Sum agar tidak terjebak dan menjadi korban pada perjanjian tumbal berikutnya. Ayah Ratri berhasil menjaganya dan Ratri pun selamat hingga beranjak dewasa, menikah, dan mempunyai anak.

Tetapi rahasia besar Mbok Sum akan tetap menjadi rahasia karena ayah Ratri tidak mempunyai bukti yang cukup untuk mengungkap penyebab kematian istri dan kedua mertuanya. Ratri pun tidak pernah mengetahui kronologi dan penyebab meninggalnya ibu kandung serta kedua kakek dan neneknya. Sementara itu Mbok Sum merasa di atas angin karena ayah Ratri tetap menjalin hubungan yang baik dengannya dan mengenalkannya pada Ratri sebagai neneknya. Rupanya sang ayah tidak ingin ada dendam di hati Ratri meskipun bahaya besar mengancam jiwa Ratri.

Itulah sebabnya mengapa Ratri mempunyai prinsip yang berbeda dengan Mbok Sum tentang tradisi bancakan dan sesajen di keluarganya meskipun dia sendiri sudah terbiasa dengan tradisi leluhur tersebut. Ratri juga tidak mempunyai prasangka buruk apa-apa terhadap Mbok Sum. Dan setelah dewasa Ratri memanggil Mbok Sum dengan sebutan Simbok dan menganggapnya seperti ibu kandungnya sendiri karena wajah Mbok Sum yang masih tetap terlihat awet muda.

***

"Simbok mau membuat bancakan lagi? Minggu lalu kan sudah untuk acara bancakannya Ayu. Ini untuk siapa?" tanya Ratri sambil memperhatikan kesibukan Mbok Sum di dapur.

"Iya, benar. Sekarang ini bancakan untuk kamu, Nduk)*. Kalian kan berbeda weton, dino, dan pasarannya jadi Simbok buatkan bancakan lagi," jawab Mbok Sum sambil tersenyum.

Weton adalah tanggal kelahiran menurut kalender Jawa. Dino merujuk pada hari kalender nasional sedangkan pasaran adalah hari dalam kalender Jawa. Pasaran ada lima hari yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Sehingga dalam masyarakat Jawa ada hari dan pasaran Minggu Wage, Senin Legi, dan seterusnya. Dan hitungan itu masih berlaku hingga sekarang.

"Simbok ... aku kan sudah dewasa. Tidak ada bancakan juga tidak apa-apa!"

"Maksud Simbokmu ... ini bancakan untuk calon anak keduamu,"  kata Mbok Sum tersenyum sambil menghampiri Ratri. Beliau mengelus-elus perut Ratri dan memanjatkan doa keselamatan untuk calon cucu keduanya.

"Nah ... sebenarnya tidak perlu bancakan segala. Cukup dengan doa seperti yang Simbok panjatkan tadi," kata Ratri, "apa Simbok tidak repot besok bulan depan harus membuat dua bancakan untuk kedua cucumu ini? Simbok kan sudah tua, takutnya nanti kecapekkan."

"Tidak, Nduk. Ini sudah tradisi. Tidak baik meninggalkan tradisi yang sudah turun-temurun. Dan sudah seharusnya kamu juga ikut membantu Simbok melaksanakan tradisi ini."

Ratri terdiam mendengar jawaban Simboknya. Dia memperhatikan semua uborampe)* yang harus disiapkan untuk sebuah ritual bancakan. Begitu banyak dan pating clekenik)* menurutnya. Ratri membayangkan seandainya dia mempunyai tiga atau empat anak bagaimana akan mempersiapkan itu semua. Dalam satu bulan saja dia harus membuatkan bancakan untuk keempat anaknya yang mungkin saja sama wetonnya atau tanggal lahir, tetapi berbeda hari dan pasarannya. Karena bancakan ini diadakan berdasarkan dino dan pasaran kelahiran anak bukan pada wetonnya. Weton atau tanggal kelahiran yang sama akan mempunyai dino pasaran (hari dan pasaran) yang berbeda-beda pada setiap tahunnya. Begitulah hitungan hari kelahiran di tradisi masyarakat Jawa.

"O, ya ... Nak Wibi mana? Tadi suamimu Simbok mintai tolong untuk mencari daun pisang."

"Mungkin masih di kebon belakang, Mbok," jawab Ratri. Sebentar kemudian Wibi masuk ke dapur melalui pintu belakang sambil membawa beberapa lembar daun pisang permintaan Mbok Sum. Dia sempat mendengar pembicaraan tentang bancakan itu dari luar.

"Iya, Mbok. Tidak dibancaki juga tidak apa-apa. Seperti anak-anak di kota juga begitu. Dan mereka juga sehat-sehat dan bisa pandai juga," Wibi menyahut pembicaraan mereka.

"Ah, kalian berdua itu ... mentang-mentang sudah sekolah tinggi terus melupakan tradisi leluhur!" kata Mbok Sum sedikit sewot.

Sesaat kemudian Mbok Sum terlihat diam tetapi raut wajahnya memancarkan sedikit kekecewaan karena sikap mereka yang tidak mendukungnya. Wibi dan Ratri hanya bisa saling pandang dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Mereka memang mempunyai prinsip atau pendapat yang berbeda tentang tradisi leluhur itu. Mbok Sum kemudian melanjutkan acara memasaknya agar bancakan segera siap dibagikan sore nanti sehabis waktu Ashar.

*****

Note :

Kebon : pekarangan

Simbok : ibu

Bancakan : acara makan bersama dalam satu wadah (tampah). Bancakan merupakan bagian dari selamatan atau syukuran yang biasanya diadakan sebagai bentuk rasa syukur untuk memperingati kelahiran anak, berdasarkan pada dino dan pasaran Jawa

Sajen : makanan (bunga-bungaan dan sebagainya) yang disajikan kepada orang halus dan sebagainya. (KKBI)

Lelembut : makhluk halus

Diuri-uri : dilestarikan

Gudangan : makanan yang terdiri dari aneka sayuran yang direbus dan disajikan dengan sambal kelapa parut. 

Jajan pasar : makanan tradisional Indonesia yang diperjualbelikan di pasar, terutama di pasar-pasar tradisional. Misal klepon, getuk, lemper, srabi, risoles, onde-onde, putu ayu, dadar gulung, cucur, kue cincin, kue lapis, cenil dan masih banyak lagi

Grapyak : ramah

Sumanak : mudah bergaul

Nduk : sebutan untuk anak perempuan

Uborampe : bahan-bahan

Pating clekenik : banyak dan kecil-kecil


next chapter
Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C2
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk