Maria kecil berlari dan menyumput di kolong kasur. Tangannya menutup telinga yang rapat. Berharap suara pertengkaran itu tak terdengar.
"Hidup kita sudah susah, Mas! Atau jangan-jangan itu anak kamu dengan dia?!"
"Ismi!"
"Baik! Sekarang kamu pilih dia atau aku?!"
"Maaf, Ismi. Mau bagaimana pun. Aku tak bisa membiarkan anak kecil hidup terlunta-lunta di luar."
"Baik! Kalau gitu aku yang keluar!"
"Bunda!" Maria segera berlari keluar. Namun ditahan oleh ayahnya. "Ayah! Maria mau ikut bunda!" teriaknya. "Bunda!"
xxxxx
Maria menatap tajam Tama yang menunduk takut. Gadis kecil itu langsung melompat ke depan kakak angkatnya. Tangannya langsung meraih dan menjambak rambut.
"Kembalikan bunda! Kembalikan bunda!"
"Maaf ...." Pria itu menangis terisak.
"Maria!" Ayah Maria - Pak Sutomo atau biasa dipanggil Tomo segera melerai mereka. "Maria!"
"Hiks hiks hiks! Huwa! Ayah jahat! Ayah nggak sayang Maria lagi!" Maria berlari keluar dan menubruk seorang anak perempuan lainnya.
"Aw!" ringis mereka berdua.
"Reni kamu nggak papa?" seorang pria berlari mendekat dan menolong Reni.
Maria terkejut dengan apa yang dilihatnya. Keduanya memiliki wajah yang mirip dengan potongan rambut yang sama pendek. Kecuali yang satu memakai rok dan satunya memakai celana.
"Maria!" Tama berlari dan menolong Maria. "Kamu nggak papa?"
Maria mengangguk. Namun matanya masih melihat ke arah dua kembar itu.
"Maaf ya! Aku nabrak kamu."
Maria menggeleng cepat.
"Sakit nggak?"
Maria menggeleng lagi.
"Kalian tinggal di mana?" tanya Reni ragu. Pasalnya, ia tak pernah melihat Maria.
"Di lantai 3," jawab Tama sambil menunjuk salah satu unit di rusun tersebut.
"Loh? Kami di sana!" seru Reni sambil menunjuk unit di sebelah rumah Maria. "Kita tetangga?!"
Maria terkejut. Kenapa dia nggak tau, kalau ada kakak-kakak itu di sana.
"Pokoknya saya sudah nggak tahan lagi!" teriak seorang perempuan. Rian dan Reni langsung menoleh ke arah lorong menuju tangga.
Seorang perempuan keluar dengan membawa tas. Seorang pria mengejarnya.
"Ibu!!" Rian dan Reni langsung berlari mengejar.
"Aku benar-benar malu dengan saudara-saudara yang lain! Aku malu dengan teman-teman ku, Mas! Aku pergi!"
"Ibu! Jangan pergi!" teriak Rian dan Reni.
"Lepas! Kalian bukan anak-anakku lagi!" Perempuan itu pergi meninggalkan mereka begitu saja.
xxxxx
Sore harinya. Selesai mandi dan memakai pakaian. Maria melihat foto bundanya di meja kamar. Ia segera menaruh foto itu kekolong kasur.
"Maria sudah mandi?" tanya sang Tomo.
"Sudah, ayah." Maria duduk di atas tikar di ruang tamu yang menyatu dengan dapur.
"Rambutnya nggak dikeringi, Mar?" tanya sang ayah yang tengah kerepotan memasak daging di dapur.
"Boleh kakak keringi?" tanya Tama takut-takut dengan tangan yang membawa handuk kecil.
Maria mengangguk. Ia segera menepuk sisi sebelahnya. Menyuruh Tama duduk. Lalu, memutar badannya membelakangi pria itu.
Tama dengan telaten mengeringkan rambut Maria. Seperti Ismi yang mengeringkan rambut putrinya. Bocah kecil itu telah melihat selama beberapa hari tinggal bersama bunda angkatnya yang sekarang entah pergi ke mana.
Tomo yang baru selesai cuci tangan segera mengambil handuk. Namun langkahnya terhenti melihat tingkah kedua bocah itu. Perlahan kakinya mundur ke belakang dan kembali memasak. Wajahnya berubah sangat ceria sore itu.
"Ayah!"
"Iya, Mar!"
"Apa hari ini lauk kita banyak?"
"Kenapa?"
"Kakak di sebelah baru ditinggal pergi ibunya seperti Maria dan kak Tama. Jadi, Maria mau menghibur mereka dan membawa banyak makanan ke mereka."
Tomo tersenyum. "Banyak. Nanti kalian berdua yang antar ya?"
"Siap ayah!" ucap mereka serentak. Keduanya langsung menoleh dan tertawa bersama.
xxxxx
'tok tok tok'
Maria mengetuk pintu rumah itu. Tama mengikuti di belakang sambil membawa rantang.
'cklek'
Seorang pria keluar dari sana. Ia terkejut dengan kehadiran dua anak kecil.
"Malam, Om!" sapa Tama ragu. Ketika Maria langsung menyumput dibalik tubuhnya. "Ini dari ayah."
"Kok repot-repot? Makasih banyak ya. Ayo masuk dulu!"
Tama dan Maria masuk ke dalam. Rumah itu tampak berantakan.
"Maaf ya berantakan," ucap pria itu. "Reni! Rian!"
Kedua bocah serupa itu keluar dari kamarnya. Wajah mereka tampak lesu.
"Kamu?" tunjuk Reni ragu.
"Kak!" ucap Maria sambil menarik-narik baju Tama.
"Kenalin aku Tama. Ini Maria, adikku." Tama mengulurkan tangannya.
"Rian!" Rian menjabat tangan Tama.
"Reni! Halo adik kecil!" sapa Reni ramah.
Rian langsung melihat ke arah Reni. Kembarannya kembali ceria ketika melihat Maria.
"Kalian anak-anaknya Tomo ya?"
Tama langsung menoleh ke arah pria yang tengah sibuk menyiapkan makanan. Ia lalu mengangguk.
"Iya, Om."
Reni langsung menoleh ke arah ayahnya. Pasalnya ia sama sekali tak mengenal Maria awalnya.
"Ayah dan Ibunya Maria berjualan daging di pasar. Jadi selalu berangkat subuh dan pulang hampir malam. Makanya kita nggak pernah lihat mereka," jelas pria itu. "Kalian sudah makan? Ayo makan!"
"Sudah, Om." Tama menjawab.
"Om rantangnya?" cicit Maria.
"Oh iya sebentar! Eh?! Kalian mau langsung pulang?"
"Besok kami mau bantu ayah di pasar. Jadi nggak bisa tidur malam," jawab Tomo.
"Yah!" Reni menunduk lesu.
"Apa kakak mau ikut?" tanya Maria. Tama tersenyum melihat adiknya yang sudah mulai beradaptasi.
"Jangan! Pasti ngerepotin! Kasihan ayah kalian kalau harus jaga Rian dan Reni."
Reni tertunduk lesu. Rian yang melihat itu segera angkat bicara.
"Biar Rian jaga Reni, Pak."
"Ya udah. Tapi, Bapak bakal bicara dulu sama om Tomo."
"Hore!" sorak Reni dan Maria serentak.
xxxxx
Di pasar.
"Wortel sekilo berapa?" tanya seorang perempuan.
"Enam ribu," jawab Tama.
"Mahal amat! Tiga ribu ya?"
"Nggak bisa, Bu!" teriak Reni.
"Empat ribu deh!"
"Nggak bisa, Bu!"
"Lima deh!"
"Nggak bisa!"
"Ya udah deh!" Perempuan itu pun pergi. Tapi tak lama, setelah kantung belanjaannya bertambah. Ia kembali.
"Sekilo kan, Bu?" tanya Reni.
Perempuan itu mengangguk. Ia segera mengeluarkan uangnya.
"Nemu anak di mana kamu, Tom?!" tanya perempuan itu kesal.
Tomo hanya menanggapi dengan terkekeh pelan. Ia benar-benar tak menduga akan begini. Awalnya dia cukup kesulitan. Karena biasanya yang bagian sayur itu sang istri. Dirinya hanya menjual daging sapi dan kambing yang diambil dari tempat pemotongan.
"Tolong timbang ini!" teriak seorang ibu-ibu pada Tama yang tengah kelimpungan memberi uang kembalian. Sedangkan Reni masih asyik bernegosiasi dengan ibu-ibu lain.
"Biar aku aja!" Rian langsung mengambil alih kantung plastik yang hendak diambil Tama.
"Maria mana?"
"Tidur."
Tama mengangguk. Ia pun kembali melayani pembeli yang berdatangan hingga hari beranjak siang. Orang-orang yang berbelanja sudah mulai berkurang. Mereka pun mulai berbenah.
"Pak Tomo!" panggil seorang pria. Dibelakangnya ada beberapa orang pria yang tengah memanggul karung. "Itu ada lengkuas, bawang, teri, jahe, kunyit dan cabai. Tolong ya, Pak! Nanti sore saya ambil!"
Tomo segera mengangguk. Sedangkan pria itu menyuruh anak buahnya untuk menurunkan karung-karung yang mereka bawa.
"Mereka siapa?" tunjuk pria itu pada Rian dan Reni. Sedangkan Tama, ia sudah mengenalnya beberapa hari yang lalu.
"Anak tetangga."
"Lu terlalu baik, Tom!" geleng pria itu. "Ya udah itu aja. Eh?! Maria mana?"
"Sini, Om!" teriak Maria yang tengah duduk sambil mengucek mata.
"Nih!" ucap pria itu sambil memberi uang 20ribu selembar. "Bagi-bagi sama kakak-kakakmu!"
"Iya, Om!"
"Makasih, Pak!" ucap Tomo.
"Ya udah! Aku jemput sore ya?"
Tomo mengangguk. Pria itu pun segera pergi.
"Tama tolong kupas jahe dan kunyit nya ya?"
"Kami ikut bantu boleh, Om?" tanya Rian dan Reni penuh semangat.
"Nggak usah. Nanti tangan kalian luka. Lihatin Tama aja dulu hari ini."
Rian dan Reni mengangguk. Ia segera melihat Tama.
"Ayah ada teri hari ini?" tanya Maria.
"Bentar! Ayah cari dulu!" Tomo segera membongkar tiga karung sedang itu. Di dalamnya juga ada beberapa plastik lagi.
"Ini!" Tomo segera menyerahkan satu plastik besar berisi teri.
Maria segera mencari plastik besar dan plastik sedang untuk sampahnya. Dengan telaten dia mulai membersihkan.
"Kakak bantu ya?" tawar Reni.
Maria mengangguk. Reni pun segera ikut nimbrung. Namun begitu Rian hendak ikut.
"Jangan! Nanti tangan kakak kotor dan bau," cicitnya.
"Loh? Memang kenapa?"
"Kakak kan pangeran. Jadi nggak boleh ngerjain yang beginian!" omel Maria. "Kakak duduk aja!"
Tomo menggeleng-gelengkan kepala mendengar omelan Maria. Sedangkan Reni dan Tama terkikik geli mendengarnya.