Unduh Aplikasi
97.22% Patah Paling Parah / Chapter 35: Merindukan Ayah

Bab 35: Merindukan Ayah

Selama berada di sini lebih dari sebelum dan pembelajaran sudah aktif, membuat Ndari betah. Meskipun runtinitas yang sangat padat. Namun, ia tetap menyukai dan tak begitu terasa lelah sebab memiliki banyak teman.

"Akhirnya hari Jumat yang dinanti-nanti tiba hehe!" teriak Risma sembari menari-nari tak jelas.

"Kamu kenapa Ris?" Anita tertawa melihat tingkah Risma yang konyol.

"Hehe ... biasa terlalu banyak bahagia karena hari ini bagi HP!"

"Ciee Risma yang mau telepon sama pacar, udah enggak sabar ya?" Goda Anita.

Setiap hari Jumat memang HP siswa dibagikan tetapi hanya diperbolehkan menggunakan selama 3 jam. Setelah itu harus dibalikan kembali dalam keadaan untuh.

"Hahaha, aku lho enggak punya pacar. Kalo Ndari punya enggak?" Risma melemparkan pertanyaan.

"Dulu sempat punya kalo sekarang enggak sih, ya ... meskipun terkadang dia masih menghubungi."

"Terus kenapa kamu sia-siakan?"

"Hehe ...."

"Pasti kamu selingkuh ya," celetuk Anita.

Ndari hanya tersenyum, berjalan keluar lebih dulu setelah mengenakan pakaian olahraga. Bisanya setiap hari Jumat akan diadakan senam pagi. Yang mana, dipimpin oleh pelatih senam di kota tersebut.

"Ayo semuanya ... kumpul, kumpul. Senam akan segera dimulai.

Semua siswa-siswi tampak antusias, wajah-wajah semuringah terpancar karena Jumat adalah hari spesial bagi kami. Sebab kegiatan hanya senam pagi, dilanjut bersih-bersih dan menunggu HP dibagikan.

Para siswa-siswi menggunakan waktu tiga jam dengan baik. Yang pertama pastinya memberi kabar pada orang tua masing-masing. Melepas rindu tetapi tidak dengan Ndari. Dirinya malah mengabaikan chat dari Ayah.

Padahal setiap hari Ayah menelpon, mengirim pesan sampai menumpuk tetapi Ndari malas membuka pesan itu. Sebab, Ayahnya terlambat dalam mencari. Mengapa hanya memikirkan Tante Mitha?

"Ndari kamu enggak pernah telepon Ayahmu?" celetuk Anita.

Hanya senyuman dan anggukan kepala yang kini ia tunjukkan.

"Apa kamu enggak kangen? Setidaknya kamu memberi kabar supayamu tenang," saran Risma.

"Haruskah?"

"Ya, tentu!"

Alhasil Ndari mencoba memberanikan berdiri untuk menelpon Ayah. Diam-Selama berada di sini lebih dari sebelum dan pembelajaran sudah aktif, membuat Ndari betah. Meskipun runtinitas yang sangat padat. Namun, ia tetap menyukai dan tak begitu terasa lelah sebab memiliki banyak teman.

"Akhirnya hari Jumat yang dinanti-nanti tiba hehe!" teriak Risma sembari menari-nari tak jelas.

"Kamu kenapa Ris?" Anita tertawa melihat tingkah Risma yang konyol.

"Hehe ... biasa terlalu banyak bahagia karena hari ini bagi HP!"

"Ciee Risma yang mau telepon sama pacar, udah enggak sabar ya?" Goda Anita.

Setiap hari Jumat memang HP siswa dibagikan tetapi hanya diperbolehkan menggunakan selama 3 jam. Setelah itu harus dibalikan kembali dalam keadaan untuh.

"Hahaha, aku lho enggak punya pacar. Kalo Ndari punya enggak?" Risma melemparkan pertanyaan.

"Dulu sempat punya kalo sekarang enggak sih, ya ... meskipun terkadang dia masih menghubungi."

"Terus kenapa kamu sia-siakan?"

"Hehe ...."

"Pasti kamu selingkuh ya," celetuk Anisa.

Ndari hanya tersenyum, berjalan keluar lebih dulu setelah mengenakan pakaian olahraga. Bisanya setiap hari Jumat akan diadakan senam pagi. Yang mana, dipimpin oleh pelatih senam di kota tersebut.

"Ayo semuanya ... kumpul, kumpul. Senam akan segera dimulai.

Semua siswa-siswi tampak antusias, wajah-wajah semuringah terpancar karena Jumat adalah hari spesial bagi kami. Sebab kegiatan hanya senam pagi, dilanjut bersih-bersih dan menunggu HP dibagikan.

Para siswa-siswi menggunakan waktu tiga jam dengan baik. Yang pertama pastinya memberi kabar pada orang tua masing-masing. Melepas rindu tetapi tidak dengan Ndari. Dirinya malah mengabaikan chat dari Ayah.

Padahal setiap hari Ayah menelpon, mengirim pesan sampai menumpuk tetapi Ndari malas membuka pesan itu. Sebab, Ayahnya terlambat dalam mencari. Mengapa hanya memikirkan Tante Mitha?

"Ndari kamu enggak pernah telepon Ayahmu?" celetuk Anita.

Hanya senyuman dan anggukan kepala yang kini ia tunjukkan.

"Apa kamu enggak kangen? Setidaknya kamu memberi kabar supayamu tenang," saran Risma.

"Haruskah?"

"Ya, tentu!"

Alhasil Ndari mencoba memberanikan diri untuk menghubunginya. Sebab, dipikir-pikir juga keterlaluan jika dia terus menerus mengabaikan ayah sendiri.

***

"Mas jangan lupa di minum obatnya ya," ucap Mitha masuk ke dalam kamar mengingatkan.

Atmaji tak pergi ke kantor karena sudah dua hari ini sakit. Dirinya terus memikirkan Ndari dan merasa bersalah telah memberikan anak itu kabur dari rumah.

"Harusnya sebagai orang tua aku tak mengusirnya," keluhnya memukul-mukul dada sendiri.

Air matanya tak terasa menetes, "Ndari ... kamu di mana? Pulang nak, Ayah sudah salah sama kamu."

"Sudahlah Mas, yang penting Mas Maji sehat dulu ... ayo diminum obatnya," ucap Mitha tak bosan mengingatkan.

"Menjauhlah dariku, kamu memang tak suka jika aku menyebut nama anakku. Pergilah sana ...."

Mitha memutar bola mata tidak senang, suaminya itu pasti kumat lagi. Kenapa sih harus merindukan anak durhaka? Langkah kaki Mitha mencoba memutus jarak. Duduk di tepi kasur milik suaminya.

"Mas, bukannya aku tidak suka dengan Ndari. Mitha hanya mengingatkan kalo Mas Maji itu sedang sakit. Takutnya kalo terlalu sering memikirkan jadi menambah beban." Tangannya mencoba menggenggam tangan pria berkacamata itu dengan tersenyum.

Atmaji malah menepis, sontak membuat Mitha terbelakak. Baru kali ini dirinya mendapat perlakuan begitu.

"Mas ada apa, Mitha salah?"

"Tak usah pura-pura baik, karena kamu Ndari jadi pergi!"

"Lho, kok aku yang disalahin sih, Mas! Ndari sendirikan yang memutuskan pergi," sahutnya tak terima jika disalahkan.

"Sudahlah, sana keluar aku tak mau melihatmu. Gara-gara menikahimu aku jadi kehilangan anakku!"

"Mas ... Mas enggak bisa ngomong seenaknya gitu dong! Kenapa aku yang disalahkan? Bukannya Mas Maji sendiri yang lebih memilih menikah denganku dan siap kehilangan anak sendiri?"

"Keluar, keluar sana! Sebelum aku tambah marah."

Mitha menurut, ia bergegas pergi dan menutup kembali pintu kamar. Matanya melotot tak senang, meskipun sudah berhasil menyingkirkan Ndari. Namun, tetap saja. Anak itu masih berada di benak Atamaji.

"Ihhh, menyebalkan. Awas saja nanti!" gumam Mitha berlalu pergi.

***

"Kamu sudah telepon sama Ayahmu, Ndari?" tanya Risma yang melihat Ndari dari halaman belakang.

Ndari mengelengkan kepala dengan wajah cemberut.

"Kamu kenapa?" Suara Anita mendekat penasaran.

"Enggak aktif, padahal aku kangen banget...."

"Sabar, sabar!"

Risma dan Anita langsung memeluk Ndari yang meneteskan air mata. Kerinduan pada Ayah memang wajar dirasakan, apalagi jika keduanya lama tak memiliki hubungan baik.

"Pengen telepon tapi sebentar lagi HP dikumpul," rintihnya.

"Ya, mungkin saja Ayahmu kagi sibuk."

"Iya, kamu jangan berpikir macam-macam."

"Aku takut Ayah marah dan enggak sudi buat angkat telepon dariku," rengeknya air mata semakin membasahi.

"Enggaklah, kamu tenang saja. Masih ada hari Jumat depan. Nanti kita coba lagi ya, jangan nangis dong."

Ndari bersyukur tinggal sekamar orang-orang yang pengertian. Ini adalah satu hal yang sangat disyukuri. Tak akan pernah terlupakan, meskipun kelak mereka pisah nanti.


next chapter
Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C35
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk