Ferdy melangkahkan kakinya lebar-lebar ke tempat aku berdiri. Dari jauh ia sudah tersenyum Security yang berpapasan dengannnya, langsung menunduk memberikan hormat. Aku berkerut. Benarkah mall ini milik Ferdy? Sekali lagi aku bertanya dalam hati. Begitu tiba di dekatku, ia mengenali syal yang aku pakai.
"Itu syal yang dibuat Rannu kan?" tanya melihat syal yang aku lilitkan di leherku. Aku memang tetap memakainya setelah kembali dari tempat Rannu.
"Iya Mas."
"Lho, tadi jenguk Rannu? Kok nggak info?" tanya Ferdy lagi.
Apakah setiap aku menjenguk Rannu, aku wajib lapor padanya? Dia juga bebas kok menjenguk Rannu tanpa harus laporan padaku? Tetapi pertanyaan itu hanya kusimpan dalam hati.
"Iya Mas, tadi habis jenguk Rannu. Memang sengaja nggak info. Mas bisa ke sana tanpa bareng saya kan?" Kadang aku juga butuh waktu untuk ngobrol dengan Rannu tanpa ada orang lain di antara kami. Semoga saja Ferdy memaklumi. Walaupun kehadirannya memang berdampak yang cukup baik buat Rannu.
"Ya udah nggak apa, asal Rannu sehat aja. Trus sekarang kamu di sini ngapain?"
"Beli buku sketsa Mas. Punyaku sudah hampir habis. Jadi sekalian jalan aja, mumpung lagi di luar ini," kataku menjelaskan. Dia menggangguk.
"Desainnya sudah selesai?" tanya Ferdy lagi.
"Belum Mas. Kalau sudah selesai, pasti saya info." Padahal sih desainnya sudah selesai. Tak apalah, untuk kali ini aku berbohong padanya. Aku berusaha untuk membatasi interaksi dengan Ferdy. Aku harus menjaga kondisi Rannu, jadi aku juga harus menjaga hubungan baikku dengan Ferdy. Cukuplah ia sebagai klienku saja. Kadang aku merasa hubungannku dengan Ferdy sudah melebihi hubungan dengan klien. Tetapi semoga ini hanya perasaanku saja.
"Mas kok ada di sini?" tanyaku kemudian. Sepertinya ia tidak sengaja berada di sini tetapi lebih terlihat bekerja di tempat ini.
"Lagi lihat kerjaan aja kok. Sand, kira-kira desainnya kapan selesai ya?" Ferdy terlihat tidak sabar dengan desain yang aku kerjakan. Apakah sudah mendesak ia membutuhkannya? Padahal itu masih konsep, belum dibuat secara detail.
"Dua hari lagi kok Mas. Sabar ya."
"Kamu belum makan siang kan Sandri? Yuk, kita masuk ke sana," kata Ferdy sambil menunjuk tempat makan fasfood yang berada tidak jauh dari tempat kami.
"Ntar aja di rumah Mas. Aku pulang dulu ya?" pamitku. Tetapi Ferdy malah menarik tanganku ke tempat makan.
"Kelamaan kalau makan siangnya di rumah. Bentar aja kok." Terpaksa aku mengikutinya. Beberapa pasang mata melirik ke arah kami dan itu membuatku risih. Aku berusaha menarik tanganku dan membuat Ferdy menoleh.
"Maaf ya," ucapnya kemudian melepas tanganku.
Saat kami mulai menikmati pesanan kami, aku bertanya, karena teringat kata-kata Ferdy jika ia sedang melihat kerjaan di tempat ini.
"Mas kerja di sini?"
"Iya," jawabnya singkat.
Aku masih ingin bertanya lebih lanjut tetapi akhirnya kuurungkan. Bisa-bisa aku sampai sore jika terus-terusan mengobrol dengannya.
"Habis makan, kita ke ruanganku ya?"
Tuh kan, bakalan lama aku di sini. Acara santaiku bisa batal.
"Desainnya kan belum selesai Mas. Ntar aja kalau sudah selesai saya ke tempat Mas ya?" tawarku.
"Kamu lihat ruanganku aja dulu, karena rencana mau renovasi. Saya minta kamu yang desain," ucap Ferdy yang terkesan setengah memaksa aku untuk ke ruang kerjanya.
Apa ini yang di info Dita kemarin? Tetapi jika Ferdy kliennya, pastinya ia tidak melalui Dita lagi tetapi langsung menelponku. Mungkin ada yang lain. Dengan sangat terpaksa aku mengikuti Ferdy ke ruang kerjanya. Ferdy membuka pintu dan mempersilahkan aku masuk lebih dulu. Aku kaget melihat ruangannya yang besar dan nampak baik-baik saja. Lha, ruang yang masih bagus ini kenapa mau direnovasi? Orang kaya mah bebas. Aku mendesah.
Jika hanya memikirkan kerjaan dari klien, tentu saja aku dengan senang hati menerimanya. Tetapi sebagai seorang yang bekerja secara professional, aku juga harus memberikan beberapa saran atau pertimbangan. Melihat ruang yang masih nampak baik-baik saja ini, dan sepertinya juga tidak membutuhkan renovasi yang urgent, maka aku mencoba memberikan masukan ke Ferdy dan berharap ia bisa menerimanya.
"Mas, ruangan ini masih bagus lho. Kok mau direnov?"
"Saya bosan dengan stylenya Sandri. Saya mau konsepnya sama dengan yang kamu buat untuk booth. Ada unsur tradisional Indonesia." Ferdy masih bersikukuh dengan keinginan merenovasi ruangannya.
Sejak masuk tadi, aku sudah bertanya-tanya. Jabatan Ferdy di sini sebagai apa? Dengan ukuran ruangan, ditambah dengan fasilitas yang cukup lengkap dan mewah seperti ini, pastilah ia punya jabatan yang cukup tinggi. Setidaknya ia punya posisi sebagai General Manager atau malah lebih tinggi dari itu. Tetapi tentu saja aku tidak menanyakannya. Biarlah itu menjadi rahasianya dan aku juga memutuskan untuk berpura-pura saja tidak tahu. Aku tidak mau terlibat lebih jauh, walaupun aku sudah menduga hubungan kami akan lebih panjang lagi ke depannya. Selain masalah Rannu, juga dengan desain yang saat ini aku kerjakan untuknya.
"Mas, apa boleh beri saran?" Kadang aku gemas jika ada orang yang dengan senang hati mengeluarkan dananya tanpa melihat urgensinya.
"Boleh, kamu mau beri saran mengenai apa?" tanyanya dengan santai.
Saat ini kami sudah duduk berhadapan di sofa yang disediakan untuk tamu dengan minuman dingin yang terhidang di meja, yang tadi diambilnya dari kulkas yang berada di pojok ruangan dekat rak buku.
"Karena ruangan ini masih bagus, jadi ada baiknya diberi tambahan aksen saja untuk unsur tradisionalnya. Ini juga bisa menekan biaya nantinya." Aku tahu, untuk masalah dana, Ferdy tidak akan keberatan menggelontorkan duitnya berapa pun itu. Tetapi tetap saja aku memberikan saran. Ruangan ini tidak memerlukan renovasi berat, lha wong masih bagus dan kinclong begini.
"Oke, kalau itu mau kamu. Saya ikut aja," jawabnya dengan berat hati.
Akhirnya, Ferdy menyetujui usulanku. Dan ini berarti juga, aku tidak akan sering berhubungan dengannya karena desain ini akan segera aku kerjakan.
"Mas, punya gambar ruangan ini gak? Saya butuh ukurannya agar konsepnya bisa langsung saya kerjakan. Jika desainnya akan dibuatkan gambar detail, baru aku marking ulang."
"Ada kok. Bentar ya, saya cari dulu." Ferdy bergerak ke meja kerjanya kemudian membuka laci di bagian bawah. Ia mengambil satu bundel buku dengan ukuran A3 yang bisa kutebak sebagai gambar ruangannya. Ia kembali ke sofa tempat kami duduk dan menyerakan buku tadi kepadaku. Dan saat aku membukanya, memang benar gambar ruangan ini. Namun yang membuat keningku berkerut adalah tahun gambar ini dibuat, 2018. Berarti belum lama ruangan ini dibangun atau mungkin direnovasi ulang? Benar kan dugaanku, ruangan yang masih bagus ini mengapa sudah harus direnovasi kembali?
"Lho Mas, gambarnya tahun 2018?" tanyaku dengan tetap mempertahankan kerutan di kening.
"Memang iya. Kenapa sih Sandri?" tanyanya masih dengan nada yang santai dan itu malah membuatku sedikit frustrasi. Ya sudahlah, begini kalau berhadapan dengan orang yang punya duit berlebih. Apa yang diinginkan, maka harus diwujudkan. Aku hanya bisa menghela napas. Jika saja hubungan kami dekat, maka petuah seperti yang biasa Mama berikan padaku, akan segera meluncur dari bibirku. Sayang duitnya Mas, mending buat yang lain atau dipakai untuk kegiatan sosial aja. Bla…bla…bla…. Tetapi tentu saja petuah-petuah itu hanya bisa kutelan sampai rasanya tenggorokanku tercekik.
"Oke deh mas. Aku boleh foto gambar ini nggak? Ukuran-ukurannya sih terutama."
"Boleh. Mau bawa pulang juga boleh aja sih."
Aku dengan cepat mengambil foto beberapa gambar yang kubutuhkan. Kemudian bersiap akan pulang. Hari sudah menjelang sore. Aku tidak ingin kemalaman sampai di rumah.
"Buru-buru amat sih Sandri?"
"Sudah sore Mas, ntar tiba di rumah malam lagi."
"Kayak saya nggak bisa antar kamu aja. Duduk dulu, setelah makan malam, saya antar pulang ya?" Ferdy sepertinya masih berusaha menahanku. Tetapi aku tidak bisa membiarkan hal seperti ini. Aku harus pulang. Di hatiku sudah ada warning. Akan berbahaya jika aku menerima tawarannya.
"Nggak mas, aku naik ojol aja." Aku mendahuluinya keluar dari ruangan. Tetapi baru saja aku tiba di pintu dan hendak membukanya, Ferdy menahan tanganku. Aku menoleh.
"Kamu kenapa? Apa nggak merasa nyaman denganku?"
Ferdy bisa melihat kekhawatiranku. Ia menatapku dengan intens. Dan itu membuatku gugup.
"Apa saya terlihat begitu ya Mas?"
"Nggak juga. Tapi akhir-akhir ini saya merasa kamu menghindar. Kenapa tuh?" Gawat jika Ferdy tahu alasannya.
"Itu perasaan Mas aja kok. Serius."
"Kali ini saya lepaskan, tetapi janji nggak menghindar dari saya lagi ya?"
Dengan cepat aku menggangguk agar bisa berlalu dari tempat ini sesegera mungkin. Tetapi bukan Ferdy, jika melepaskanku dengan mudah. Ia masih mengantarku hingga di depan lobby mall dan masih menunggu sampai ojol yang kupesan datang. Ia masih berdiri di tempatnya, mengawasiku saat aku naik dan tak lupa berpesan agar berhati-hati. Ia baru masuk kembali ke area dalam mall setelah ojol yang kutumpangi keluar dari pelataran. Aku menarik napas legas saat tidak melihatnya lagi. Hari ini kenapa jadi teras berat?
*****