"Apakah instingku salah? Aku yakin Mike mengintai kami sebelum ke sini," pikir Ace.
―Umn, tidak. Lupakan saja kata-kataku.‖ Ace pun menggeleng pelan. ―Kalau begitu, nanti sore aku pergi ke rumah duka. Pasti abu kremasi Drake sudah bisa kubawa pulang.‖
―Hm.‖
―Apa kontraknya berlaku meski kita sangat-sangat jauh?‖ tanya Ace memastikan. ―Maksudku, aku masih ingin membawa
Drake-―
―Apa kau menetap jika kuizinkan?‖ sela Mike. Wajah Ace langsung pias mendengarnya. ―Buat saja altar doa di mana pun. Tapi, tak masalah jika kau tetap pada niatmu.‖
Ace tak menyangka Mike membuang muka darinya. Itu merupakan yang pertama, dan dia seperti melihat gestur Drake kala jatuh hati padanya pertama kali. Ini bohong.
"Apa memakan ruh sang kekasih membuat Mike terkontaminasi?" batin Ace.
Tidak mungkin. Jika iya, Mike pasti jatuh cinta pada seluruh korbannya sejak ratusan tahun yang lalu.
―Kau ... kau serius?‖
―Aku takkan mengulangi.‖
Sore itu, Ace pun membatalkan segala rencananya. Dia sendiri heran perkataan Mike bisa memutar balikkan isi hati, bahkan membiarkan iblis itu ikut dengan alasan tak ada kesibukan.
―Terima kasih, Sir,‖ kata Ace sembari memeluk guci abu Drake. Dia memberikan sejumlah uang kepada si penjaga sebelum melipir ke toko ponsel. Ace pikir, Mike keberatan bila dia memiliki alat komunikasi kembali. Ternyata tidak. Iblis itu justru ikut membantu menyortir spesifikasi yang bagus, lalu memberikan black card ke kasir sebelum Ace mengulurkan kartu kreditnya.
―Hei, jangan—―
Mike sudah melipir ke petugas di pojokan yang bertugas meng-install aplikasi tambahan untuk Ace. ―Masukkan nomornya ke ponselku,‖ katanya ke pria berseragam tersebut. Dia memberikan ponsel warna hitam yang bahkan Ace tak menyangka Mike memilikinya.
―Baik.‖
―Hm.‖
"Kupikir iblis tidak membutuhkan gawai sepertiku," pikir Ace.
―Kalau boleh tahu saya simpan pakai nama apa, Sir?‖ tanya si petugas tiba-tiba.
―Namanya? Istriku.‖
***
―Apa katamu barusan?‖ tanya Ace kaget.
Petugas itu pun meringis ke Ace sebelum benar-benar melakukan perintah Mike. ―Oke.‖
Sudah terlambat untuk protes. Ace hanya sempat terpaku dengan muka merona, lalu mengikuti langkah Mike keluar begitu ponselnya beres. ―Tunggu, tunggu! Apa yang barusan itu?‖
―Apanya?‖
―Kau ... tadi ... tadi ....‖
Mike justru berjalan semakin cepat. ―Lihat di sana,‖ katanya sambil menyentakkan dagu. Dia tampak percaya diri kali ini. Seolaholah Ace memang takkan pergi darinya lagi, dan membuat lelaki itu terseok mengikutinya. ―Ada Katedral D'uomo yang menarik. Kau tak ingin melihatnya?‖
Ace pun menabrak punggung Mike yang mendadak
berhenti.
BRAKH!
―Aduh!‖ ―Aku kadang ke sana jika sedang sangat bosan,‖ kata Mike. Demi berbaur dengan manusia, kedua mata emasnya kini berganti ke hitam legam. ―Apa kau tahu kenapa?‖
Ace pun mengelus kening sebelum menatap bangunan megah di depan mereka. ―Kenapa?‖ tanyanya. Lalu terdistraksi beberapa merpati yang terbang melintasi atap katedral. Cahaya senja menyoroti pancang-pancang tinggi desain arsitektur rumitnya. Dan Ace ingin masuk hanya karena melihat 11 pintu bercorak unik tersebut.
―Karena di dalam ada orang-orang yang berdoa,‖ kata Mike dengan dengusan samar. ―Kudengar, manusia butuh itu untuk mencapai ketenangan. Sementara aku, mau melakukan sesuatu tak perlu berpikir nanti mati akan bagaimana.‖
Ace paham maksud Mike begitu jelas. Dia ingin bilang, meski iblis hidup selama ratusan tahun, kesenangan apa pun akan berakhir jika nyawa mereka melayang. Tak seperti manusia, Mike terlihat iri kepada Ace meski lelaki itu hanya bertahan 70 tahun paling lama.
"Lalu kenapa mencintaiku? Bukankah kita pun akan berakhir terpisah?" pikir Ace.
Ace memilih menelan pertanyaannya kembali daripada
terlibat perasaan Mike semakin jauh. ―Oh ...‖
Mike mendadak menoleh ke jemari Ace. ―Kau tak ada rencana melepas cincinmu yang dari Drake?‖ tanyanya.
DEG
:)