Unduh Aplikasi
57.14% My Janu ( BEING WITH YOU) / Chapter 12: Kalau jadi pacar??

Bab 12: Kalau jadi pacar??

Awalnya ku tak mengerti, apa yang sedang kurasakan. Segalanya berubah dan rasa rindu pun ada.

Sejak kau hadir di setiap malam di tidurku. Aku tahu sesuatu sedang terjadi pada ku.

By : Roullete

Pagi hari yang cerah, secerah suasana hati Nandes pagi ini. Remaja itu berdiri depan cermin, hanya mengenakan celana sekolah abu-abu. Sambil bersiul Nandes menata rambutnya menggunakan gel. Menyisir rambut hitamnya ke samping, gaya rambut Ivy league. Bagian samping dipotong rapi menyisakan bagian atas yang kadang ia sisir ke belakang atau samping. Sangat pas dengan bentuk rahangnya yang menonjol. Sesuai dengan gaya Nandes keren namun tetap terlihat rapi.

Selesai menata rambutnya Nandes mengambil salah satu merek parfum pemberian kakaknya. Nandes menyemprotkan parfum dengan wangi segar kasual itu keseluruh tubuh bagian dada dan perutnya serta leher dan pergelangan tangannya. Selesai itu baru Nandes mengenakan baju seragamnya.

Nandes masih berdiri depan cermin, memastikan penampilannya lebih keren dari biasanya. Pagi ini dia semangat untuk pergi sekolah. Sekalipun hari ini hari senin, hari yang paling malas untuk Nandes lalui. Karena di hari Senin harus upacara bendera dulu, berdiri di tengah lapangan di bawah terik sinar matahari.

Satu lagi hal yang membuat Nandes tidak suka hari senin, matematika menjadi jam pelajaran pertama. Melihat angka dan rumus geometri membuatnya pusing kepala. Satu-satunya mata pelajaran yang Nandes suka adalah olahraga. Lainnya Nandes nyerah.

Namun hari ini Nandes tidak memikirkan kalau hari ini ada upacara bendera ada pelajaran matematika. Suasana hatinya  semangat empat lima. Hatinya sedang senang. Bahkan ketika hari pertama menjadi pacar Nadira remaja itu tak lebih semangat seperti sekarang ini. Hari ini tuh dia beda.

"Aku berangkat ya Bu.." pamit Nandes setelah remaja itu menghabiskan sarapan.

"Hati-hati kalau naik motor jangan kebut-kebutan di jalan Des," kata Bu Mira mengingatkan.

"Oke…" Nandes menyambar tas serta helm yang sudah disiapkan di kursi ruang tamu. Lalu Nandes bergegas berangkat sekolah.

xxxx

Sampai di sekolah Nandes langsung memarkirkan motornya di tempat parkir. Lalu ia berlari kecil menuju kelasnya. Semua mata memandang kearah remaja laki-laki itu. Heran saja, tumben sekarang Nandes berangkat sekolah sepagi ini di hari Senin. Biasanya detik-detik bel masuk bunyi baru dia datang.

Setelah ia meletakkan tasnya di kelas, Nandes langsung meluncur ke kelas XII  IPA.

"Kak Nandes," sapa sekelompok siswi. Adik kelas yang kebetulan berpapasan dengan Nandes.

"Iya…"  jawab Nandes sambil senyum dan berlalu.

Gak sombong, Nandes itu ramah jika di sapa. Namun hanya sebatas itu. Nandes tidak pernah punya hubungan spesial dengan siswi yang menaruh hati atau mengidolakannya. Satu-satunya gadis yang dekat dan bisa menjadi pacar Nandes itu hanya Nadira. Wajar aja sih Nandes menerima pernyataan suka Nadira. Cowok mana yang bisa menolak Nadira. Udah cantik, pintar, kaya lagi. Tak hanya itu Nadira juga baik hati.

Biasanya Nandes bersama dua sahabatnya jika bertandang ke kelas anak IPA. Berhubung Alsaki dan Enda belum kelihatan batang hidungnya, jadi Nandes pergi mengunjungi kelas IPA sendirian. Ini sih rutinitasnya sejak dia jadi pacar Nadira.

Nandes masuk kelas anak IPA, baru saja ia melangkahkan kaki untuk masuk kelas, suara Nadira menyambutnya.

"Nandes…..kok tumben hari Senin gini datang pagi banget."

"Hah…. Iya lagi pengen aja," jawab Nandes, kedua matanya melihat sekilas ke sudut ruang kelas.

"Pengen apa?"

"Pengen ketemu kamu." 

"Gombal…."

"Serius Ra.."

Nandes melangkah mendekati Nadira, gadis itu duduk di barisan paling depan. Seperti biasa jika menyambangi kelas Nadira, Nandes pasti duduk diatas meja.

"Wangi banget." Nadira mendekatkan wajahnya ke tubuh Nandes, mengendus aroma segar parfum dari tubuh pacarnya.

"Kamu suka wanginya?"

"Emang pakai parfum ini buat aku?"

"Ya dong buat siapa lagi." Nandes mengedipkan satu matanya sambil tersenyum menggoda.

Nadira balas senyum malu-malu.

"Dasar tukang gombal."

"Tapi suka kan…"

"Gak ah biasa aja."

"Masa?? Kok pipinya merah gitu." Goda terus jangan sampai gak.

"Mana gak ahh, ngarang aja nih.." semakin senyum malu-malu.

"Kok kelasnya masih sepi ya Ra?" Nandes mengedarkan pandangannya keseluruhan sudut ruang kelas.

"Kamu yang kepagain, sebagian banyak yang belum datang."

"Kok kamu juga sudah ada di kelas jam segini?"

"Lho..setiap hari senin aku kan piket kelas, aku selalu datang lebih awal. Katanya kamu kesini pengen ketemu aku. Kamu malah gak tahu kalo hari senin aku pasti lebih awal datangnya. Jadi kamu kesini sebenarnya tujuannya mau nemuin siapa?" Nadira mengerutkan kening. Dia bertanya serius.

Nandes kelabakan.

"Ya ketemu kamu sih hehehe.." sambil nyengir mengusap tengkuknya.

Namun Nadira gadis itu nampak tidak percaya begitu saja. Dia mencium ketidak jujuran.

"Ehhh..kok jadi cemberut gitu. Nanti cantiknya hilang loh.." Nandes mendekati sang pacar. Lalu meraih tangan gadis remaja yang cantik itu.

Ketika Nandes sedang membujuk Nadira supaya tidak ngambek, datang Janu masuk kelas. Dia baru datang. Berjalan melewati Nandes yang sedang menggenggam tangan Nadira.

Untuk sepersekian detik Nandes senyum senang saat melihat Janu datang. Namun hanya sekilas. Nandes kembali mengalihkan pandangannya ke arah sang pacar. 

"Kamu tuh sekarang berubah ya." Mulai deh kalimat andalan cewek kalau lagi ngambek.

"Berubah gimana? Aku bukan power ranger. Aku gak bisa berubah dari dulu aku begini kok."

"Tuh kan kalo diajak ngomong serius pasti dibawa bercanda." Makin cemberut.

"Iya ini aku juga serius loh.."

Mulut bicara ke Nadira tapi pandangan lirik-lirik kearah Janu. 

Yang dilirik gak peduli, santai saja. Seakan di kelas itu hanya ada dirinya. Tidak melihat dan gak mau lihat dua sejoli yang lagi kasmaran itu gak penting kalau buat Janu. 

xxxx

Seorang guru berdiri di atas mimbar, Pak jali sebagai pembina upacara bendera berpidato panjang lebar membahas tentang kenakalan remaja di era digital ini. Untuk itu pak jali memberi peringatan pada seluruh siswa sekolah Nusa Bangsa dilarang meninggalkan halaman sekolah setelah upacara selesai.

"Tolong jangan ada satupun yang bubar, tetap berdiri di tempat kalian. Untuk pengurus OSIS tolong segera laksanakan pemeriksaan kalian di setiap kelas." Pak jali bicara tegas menggunakan mic di atas mimbar.

Kemudian yang siswa yang merasa sebagai pengurus OSIS bergegas melaksanakan tugas mereka. Sedangkan siswa yang lain, sebagian mereka gelisah tidak menyangka kalau pemeriksaan kali ini dilaksanakan hari Senin. Biasanya kan hari Jumat.

Mulailah suara-suara menggerutu beberapa siswa. Siswi yang merasa membawa lipstik, bedak, dan pensil alis mulai gelisah. 

Tak jauh berbeda, murid cowok yang merasa membawa sesuatu yang dilarang sekolah juga mulai panik.

"Des…di tas lo ada apa?" Alsaki maju selangkah untuk berbisik pada Nandes yang berdiri di depannya.

"Bawa rokok dua bungkus, baru beli lagi."

"Ya gila lo..sayang banget rokoknya disita."

"Kok lo mikirin rokoknya, gak mikirin gue yang bakal dipanggil guru BK."

"Yaelah..lo pan pintar nego sama Pak Helmi."

"Ya tetap aja gue bakal lari keliling lapangan."

"Apa sih arti lari keliling lapangan lima kali buat lo. Biar makin atletis." Alsaki memijat-mijat lengan Nandes.

"Jangan pengang-pegang gue, nanti bunda lo marah."

Alsaki melihat kearah dimana Enda berdiri, di saat yang sama Enda menoleh kearah Nandes dan Alsaki.

"Apa liat-liat." Enda berbicara tanpa suara. Hanya gerakan bibir.

Alsaki senyum-senyum senang.

"Tiga tahun temenan sama Enda lo baru sadar kalau Enda manis ya Al?" 

Alsaki langsung mengalihkan pandangannya kembali ke arah Nandes yang berdiri di depannya. Ketahuan lirik-lirik ke arah Enda.

"Lo ngomong kayak Enda itu cewek aja."

"Cowok manis kan.." 

"Maksud Lo apa sih?"

"Ya menurut lo Enda manis gak?"

"Apa sih lo, Nadira tuh manis." Alsaki justru membawa nama Nadira dalam obrolan mereka yang entah arah pembicaraan itu kemana.

Nandes tersenyum miring.

"Kalo dia mah cantik jelita Al."

"Dia emang cantik tapi dia gak bisa narik perhatian lo. Ngaku aja sama gue."  

Gak mau kalah, merasa memiliki celah, Alsaki membalas.

Pemeriksaan tas setiap kelas yang dilakukan oleh pengurus OSIS telah selesai. Semua barang sitaan di bawa ke ruang BK. 

Bagi yang melakukan pelanggaran ringan, hanya diberikan nasihat dan membuat surat pernyataan untuk tidak akan mengulangi lagi. Namun tidak untuk siswa yang melanggar peraturan serius. Mereka dipanggil masuk ke ruang BK untuk menemui Pak Helmi selaku guru bimbingan konseling.

Kalau saja yang dipanggil itu si Nandes, penghuni sekolah Nusa Bangsa sudah tidak heran lagi. Sudah langganan. Namun kali ini untuk pertama kalinya nama Janu terseret juga masuk ke ruang BK. 

Dan disinilah mereka berdua Nandes dan Janu. Duduk berdua berhadapan dengan pak Helmi.

Kebetulan sekali mereka berdua mendapatkan jatah giliran dipanggil ke ruang BK secara bersamaan.

"Kamu lagi, kamu lagi, Nandes.." mungkin Pak Helmi merasa sudah bosan melihat Nandes di ruangannya.

"Hehhe...saya kan gak tahu hari ini ada pemeriksaan Pak."

"Di sekolah ini ada peraturan siswa dilarang membawa rokok, ada ataupun gak ada pemeriksaan, kamu dilarang bawa rokok ke sekolah Nandes."

"Iya pak saya tahu, maafkan saya ya pak. Gimana ya pak saya dihukum juga gak apa-apa. Tapi lusa itu saya ada pertandingan basket dengan sekolah dari kecamatan lain."

Pak Helmi menggelengkan kepala. Ada saja cara Nandes untuk bernegosiasi, untuk menghindari hukuman.

Tapi sayang kali ini pak Helmi gak mempan. Guru itu akan tetap menghukum Nandes.

"Kamu tetap Bapak hukum Nandes, kamu terlalu sering melakukan kesalahan yang sama."

"Tapi pak..beneran, lusa saya ada tanding basket dengan sekolah lain. Kalo saya gak fit dan sekolah kita kalah, ini salah bapak loh ya." Mulai terdengar mengancam.

"Bapak gak mau tahu, kali ini bapak gak akan tolerir kamu," tegas pak Helmi.

Nandes membuang nafas kesal. Menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Dan kamu Janu." Pak Helmi beralih melihat kearah Janu yang dari tadi duduk tenang di sebelah Nandes. 

Nandes ikut melihat ke arah Janu Hati sempat bersorak. Kali ini jika harus lari keliling lapangan sepuluh kali gak apa-apa. Kenapa?? Gak ada alasan. No reason. Begitu sih kata hati Nandes.

"Ini apa Janu?" Pak Helmi mengeluarkan sebuah benda kecil yang ditemukan salah satu pengurus OSIS dari tas Janu.

"Itu kondom Pak." Nandes menyela pembicaraan Pak Helmi dan Janu.

"Bapak gak tanya sama kamu Nandes, kamu diam saja duduk di situ!"

Pak Helmi kembali melihat ke arah Janu.

"Kamu ngapain bawa kayak gini ke sekolahan?"

"Ya buat jaga-jaga Pak." Nandes kembali menjawab. Padahal Janu yang diberi pertanyaan hanya diam membisu.

"Nandes!!" Kali ini pak Helmi meninggikan suaranya.

"Apa kamu ini juru bicaranya si Janu?!" Guru pria itu melihat ke arah Nandes dan Janu secara bergantian.

"Janu.. bapak gak nyangka, ada barang seperti ini dalam tas kamu. Biar bagaimanapun kamu itu masih remaja. Hindari melakukan sex bebas." 

"Emang bapak pernah melihat Janu pakai itu kondom pak?"  Nandes bertanya dengan nada tegas.

"Mana mungkin bapak lihat dia sedang pakai ini. Gimana sih kamu ini."

"Kalau begitu kok bisa bapak menyimpulkan Janu melakukan sex bebas. Lihat langsung aja gak pernah."

Suasana jadi hening sesaat.

"Ada kondom dalam tas Janu bukan berarti Janu melakukan sex bebas Pak. Kalau ada yang mendengar berita yang belum jelas ini bisa jadi gosip satu sekolah."

Pak Helmi jadi pusing. Ini kenapa jadi Nandes yang terus bicara. Sedangkan Janu sebagai tersangka justru diam dan terlihat tenang. Tidak ada raut wajah takut atau sejenisnya.

"Hah sudahlah… kalian lari lapangan sana. Jangan pernah kalian ulangi lagi. Kalau hal ini terjadi lagi saya akan panggil orang tua kalian!" tegas pak Helmi.

Repot sih kalo harus mengurus dua murid kebanggaan sekolah. Yang satu sering mengharumkan nama sekolah dengan selalu membawa pulang kemenangan dalam bidang olahraga. Sedangkan yang satu lagi, murid kebanggan Bu Siti guru fisika sekaligus wali kelas anak IPA. Kelas yang terkenal kumpulan anak-anak cerdas.

xxxx

Lapangan bola Nusa Bangsa ada di belakang bangunan sekolah. Ada sekitar lima puluh meter dari bangunan sekolah. 

Dua cowok remaja Nandes dan Janu berjalan beriringan menuju lapangan bola. Mereka berdua jadi pusat perhatian, apalagi Janu. Barang sitaan yang ditemukan pengurus OSIS dalam tas Janu cepat menyebar. Sebagian murid tidak menyangka Janu siswa yang pendiam membawa benda seperti itu dalam tasnya. 

"Gak nyangka ya, anaknya kayaknya pendiam gak taunya..suka begituan."

"Ehhh…dia open BO kali ya.."

"Diam-diam menghanyutkan."

"Dia main sama Tante-tante atau sama om-om ya."

Cibiran mulai bermunculan, semua memandang Janu semakin tak suka. Jika sebelumnya tidak suka karena janu itu terlalu pendiam dan menarik diri. Kini mereka seperti menemukan bahan untuk dijadikan olokan.

"Lo kok dari tadi diam aja sih? Gak pengen ngomong sesuatu sama gue?"

Nandes berlari mundur, tubuh menghadap ke Janu. Mereka berdua mulai lari mengelilingi lapangan bola.

"Males, mau ngomong apa juga."

"Bilang terimakasih kek...kan udah tiga kali gue tolongin lo. Makin banyak hutang budi sama gue dong."

"Udah aku bilang, aku gak butuh kamu tolong."

"Tapi kayaknya takdir selalu bawa gue buat ada di saat lo butuh bantuan ya." Nandes senyum-senyum. Keringat mulai membasahi keningnya. Begitu juga dengan Janu. 

Janu menghentikan larinya. Mengatur nafasnya sejenak.  Melihat Janu berhenti berlari Nandes juga ikut berhenti.

"Kok berhenti, capek ya? Mau gue gendong?"

"Kamu kenapa sih? Kamu kenapa belakangan ini jadi sok deket? Aku bukan teman kamu jadi gak usah sok deket." Ketus Janu, nafasnya terengah. Gak biasa olahraga.

"Kalo gitu kita harus berteman." Nandes melangkah maju untuk lebih dekat ke Janu.

"Kenalin, nama gue Nandes. Lo mau jadi temen gue gak?" Nandes mengulurkan satu tangannya ke arah Janu.

"Ayo dong sambut tangan gue." 

Janu jadi sebal. Namun ia mengulurkan tangannya untuk menyambut uluran tangan Nandes.

"Aku Janu. Dan aku gak mau jadi temanmu."

"Kalo jadi pacar????" Gak lupa sambil mengerlingkan satu mata dan senyum menggoda. 

"Kamu homo???!!!"

"Gak juga sih, tapi kayaknya gue mau jadi homo kalau sama lo." Senyum-senyum mencurigakan.

"Makin gak jelas." Dengkus Janu. Lalu kembali melanjutkan larinya.

Dibelakang Janu, Nandes terkekeh geli. Senang melihat ekspresi Janu. Kalau godain Nadira, ekspresinya pasti tersipu malu. Kalo Janu beda. Sikap tak acuhnya semakin bikin penasaran.

Bersambung...


next chapter
Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C12
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk