Mentari marah besar setelah mendengar jawaban Pramuda, asisten pribadi dari William Prasetyo. Pewaris tunggal PT. JAD yang bergerak di bidang konstruksi, memiliki impian membangun sebuah rumah kecil untuk keluarga kecilnya kelak. Siapa yang bisa menolak takdir? Tidak ada.
Impian hanya tinggal impian. Ia menikah dengan seorang model terkenal yang namanya tengah melambung sampai ke mancanegara. Setelah menikah, hamil, lalu melahirkan, semua job fashion show dibatalkan.
Emilia Crizt frustrasi. Tubuhnya yang semula indah jadi terlihat mengendur setelah melahirkan. Tanpa memedulikan tangisan bayi yang dilahirkannya, ia pergi meninggalkan William dan Monica.
Demi karir, dia meninggalkan bayi mungil berusia satu bulan itu, dan tidak pernah menemui mereka lagi sampai saat ini.
Sebenarnya, Will memiliki tunangan. Namun, Monica sangat membenci gadis itu. Wanita pilihan ayahnya, masih memiliki hubungan kerabat, meski bukan kerabat dekat.
William mencari calon ibu yang baik untuk putrinya. Wanita yang bisa tahan dengan kenakalan Monica, bisa disukai, dan disayangi oleh putrinya. Itu kenapa, ia berniat menjadikan Mentari sebagai istrinya, karena Monica menyukainya.
Tari turun dari ranjang dan menarik jarum infus di punggung tangan secara paksa. Dia harus menemui William dan meminta penjelasan. Tidak peduli darah mengalir di punggung tangan bekas jarum.
Ia mengusap sedikit darah yang mengalir itu, lalu menutupinya dengan telapak tangan yang lain.
"Anda mau kemana, Nona?"
"Menemui tuanmu yang gila itu!" Mentari menjawab dengan sinis.
Ia pergi dengan langkah cepat, tidak menghiraukan panggilan dokter yang menahannya. Pramuda terpaksa mewakili bicara dengan dokter. Asisten pribadi itu juga membayar biaya rumah sakit.
***
Brak!
"William! Keluar kamu!" seru Tari dengan suara lantang. Sebelumnya, ia pergi ke kantor 'Dam Art', tapi laki-laki itu tidak ada di sana. Mentari menghubungi pembantu di rumah William, ternyata laki-laki itu memang sedang ada di rumah.
"Apa kau terbiasa bersikap bar-bar saat masuk ke rumah orang lain?" tanya William yang berdiri di lantai atas. Pandangannya menatap lurus ke bawah tangga, tempat Tari berdiri.
"Masuk ke rumah orang sepertimu, aku tidak butuh kesopanan. Apa maksudmu dengan surat kontrak ini?"
Mentari melempar surat kontrak yang direbutnya dari Pramuda. Kertas itu beterbangan di lantai dan anak tangga. Alih-alih menjawab, laki-laki itu justru terkekeh.
"Jawab pertanyaanku! Kenapa malah tertawa?" Tari sudah dibuat pusing dengan sikap William yang tidak peduli sama sekali. Tak hanya itu, Tari bahkan ditertawakan.
"Aku akan Jawab, tapi bawa kertas-kertas itu. Kita bicara di ruang baca," jawab William sambil menuruni anak tangga. Ia berjalan dengan tegak, kedua tangan dimasukkan ke saku celana panjangnya. Sikap angkuh yang mengintimidasi itu tidak bisa dibantah oleh Mentari.
Mentari mengikuti perintahnya. Satu-persatu, ia pungut kertas itu, lalu menyusul William ke ruang baca. Untung saja Monica tidak ada saat Tari marah-marah tadi.
Brak!
Ia menaruh surat kontrak itu sambil menggebrak meja. Namun, hal itu membuat Mentari kesakitan. Rasa sakit itu harus ditahan, atau dia menjadi bahan olok-olok William.
"Sakit?" William bertanya dengan nada mengejek.
"Aku tidak mau berbasa-basi. Cepat katakan! Apa maksudnya dengan ini?"
Mentari membuka map itu kembali. Beberapa lembar kertas yang sudah ditandatangani oleh William di atas materai. Hanya butuh tanda tangan dari gadis itu, maka mereka akan menjadi sepasang suami istri kontrak.
"Pendidikan kamu tinggi. Saya rasa … yah, kamu pasti tahu sendiri."
"Jangan bicara berputar-putar seperti itu. Justru karena saya mengerti isinya, makanya bertanya kepada Anda, Tuan Will yang terhormat. Saya tahu, ini adalah surat perjanjian untuk pernikahan kontrak. Yang saya tanyakan, kenapa Anda harus memaksa saya?"
Bahkan jika itu pernikahan kontrak, tetap harus atas persetujuan kedua belah pihak. Sementara yang dilakukan Will adalah pemaksaan dengan ancaman, membuat gadis itu merasa direndahkan. Mentari tidak suka jika harga dirinya diinjak-injak.
"Simple. Putriku menyukaimu dan aku butuh seorang ibu pengganti yang disukai olehnya."
"Ch! Jika dia memiliki pengasuh lain, dia juga akan menyukainya asalkan pengasuh itu baik padanya. Kenapa harus aku? Kenapa kamu mengancammu dengan urusan resto dan menyembunyikan identitas?"
Mentari berdiri tegak dan memijat keningnya. Semua alasan itu tetap tidak masuk akal baginya. Apa yang ia sembunyikan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan laki-laki itu.
"Aku menyembunyikan identitas, itu tidak merugikan kamu. Soal menyembunyikan bisnis resto dari keluargaku, itu juga tidak merugikan kamu. Kamu pikir aku peduli dengan ancamanmu? Kamu pikir aku takut? Tidak! Aku tidak takut dan aku tidak akan tanda tangan!"
William tertawa sinis saat Mentari melangkah pergi. "Kakak angkatmu, Laura, dia …. Kira-kira, kalau dia tahu soal resto itu …." Laki-laki itu sengaja menggantung ucapannya. Kata-katanya berhasil membuat langkah Tari berhenti tepat saat kedua tangan gadis itu memegang gagang pintu.
Mentari tertegun, tangannya yang semula hendak membuka pintu tiba-tiba terkulai lemas di kedua sisi tubuhnya. Ia berbalik menghadap William yang berdiri di depan meja kerja. Tatapannya semakin membuat gadis itu gemetar.
Sorot mata merah menyala, dengan bibir menyeringai bak monster yang siap melahap manusia kecil di hadapannya. Ia berjalan pelan, menciptakan suara sepatu yang beradu dengan lantai. Selangkah demi selangkah, sampai ia berdiri dua jengkal dari Mentari.
Gadis yang memiliki tinggi dua puluh senti lebih pendek dari William itu menengadah. Aura dingin menyeruak di sekujur tubuh Mentari. Otaknya tidak dapat memikirkan hal apa yang akan dilakukan laki-laki itu padanya.
*BERSAMBUNG*