Qia kini sudah duduk di sebelah Raka yang menyupir. Ia memegang sabuk pengaman begitu erat dengan wajah pucatnya. Kejadian kecelakan yang menimpa keluarganya membuat ia trauma menaiki mobil pribadi. Raka melirik ke arah Qia yang wajahnya terlihat pucat itu. "Qi, kamu enggak apa-apa?" tanya Raka yang kini menatap Qia karena sedang lampu merah.
Qia tersenyum paksa, ia tidak mau di anggap lemah apalagi sampai di kasihani karena trumanya. "Gak apa, Pak."
"Bang, abang. Ini udah di luar jam kerja. Jadi, panggil abang, jangan Pak!" ucap Raka menegaskan.
"Qia gak apa-apa, bang," ucapnya meralat perkataannya.
"Wajahmu, pucat. Yakin, kamu enggak apa-apa?" tanya Raka yang tangannya terulur untuk menyentuh wajah Qia.
Qia segera menahan tangan Raka kemudian tersenyum hangat pada Raka. "Aku, enggak kenapa-kenapa Bang, serius, deh," jawab Qia seraya tersenyum.
"Tapi, Qi," ucap Raka tidak yakin dengan jawaban Qia.
"Aku enggak apa. Serius, deh!" ucap Qia meyakinkan dengan senyum mengembangnya.
Raka pun akhirnya memilih diam, ia kembali melajukan mobilnya sampai mobil berhenti di depan sebuah gang. "Kamu yakin turun di sini?" tanya Raka memastikan.
"Iya, Bang, aku turun sini aja," jawab Qia seraya tersenyum.
Dengan tangan gemetar ia pun melepaskan seatbeltnya dan turun dari mobil. "Serius, kamu enggak apa?" tanya Raka dengan wajah khawatirnya.
"Aku enggak apa-apa kok, Bang. Terimakasih ya, udah di anterin," ucap Qia seraya tersenyum.
"Santai, gak perlu terimakasih," ucap Raka seraya tersenyum.
Qia tersenyum "udah, abang balik aja!"
"Ya udah, aku balik. Kamu hati-hati, kalau ada apa-apa, hubungi aku," ucap Raka.
"Iya, Bang," jawab Qia seraya tersenyum.
Mobil Raka pun mulai menjauh, Qia membalikkan tubuhnya dan berjalan menyusuri gang untuk sampai ke kosannya. Baru saja ia akan menutup pintu kamar kosannya, tiba-tiba seseorang mendorong pintunya dan mebekap bibir Qia. Ia menghimpit tubuh Qia ke balik pintu kamar kosannya dan membekap mulut Qia.
"Diam!" peringat orang yang membekap mulut Qia. Qia mebelalakan matanya melihat siapa orang yang sedang membekapnya. Ia berusaha diam walau rasanya cukup susah.
Setelah di rasa Qia tenang ia pun melepaskan bekapannya. Qia menghidupkan lampu kamar kosannya kemudian mengambil dua buah obat di dalam tasnya dan ia mengambil minum. Kenan memperhatikan gerak- gerik Qia yang meminun entah obat apa kemudian Qia kini sudah berjalan ke arahnya dengan wajah pucat. "Pak, bisakah bapak ke luar dari kamar saya?" tanya Qia dengan wajah pucat dan matanya bergerak cemas.
Tanpa banyak protes, Kenan pun keluar dari dalam kamar kos Qia. Melihat wajah Qia seperti itu membuatnya menjadi enggan untuk memperingatinya tentang Raka.
Qia mengunci pintu kamarnya dan ia pun merebahkan dirinya kemudian menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tipis. Bayangan kecelakan yang terjadi sekitar 9 tahun lalu itu bagaikan kaset rusak di hadapannya. Mobil yang tidak bisa mengerem dan jalanan licin membuat mobil kehilangan keseimbangan.
Sebisa mungkin Qia memejamkan matanya rapat-rapat tapi suara decitan nyaring itu terdenger jelas di telingannya. Bau bensin yang begitu menyengat dan terdengar orang-orang yang begitu ramai hingga api kecil dari mobil bagian depan itu terlihat.
Qia berusaha membangunkan Papa, Mama dan Kakaknya, tapi mereka semua tidak ada yang mau bangun hingga ia memutuskan untuk membuka pintu mobil. Ia bisa melihat orang-orang di luar sana hanya diam tanpa mencoba membantunya. Ia yang terluka cukup parah mencoba untuk tetap sadar walau pandangan matanya mengabur.
Setelah ke luar ia menarik Mamanya untuk ke luar kemudian ia pun berusaha untuk menyelamatkan Papa dan Kakaknya, tidak peduli dengan api yang mulai membesar. Ia pun berhasil mengeluarkan kuarganya dan orang-orang tadi pun akhirnya membantu saat keluarganya sudah ada di luar mobil. Tidak lama dari itu mobilpun meledak, ia sempat tersenyum melihat keluarganya bisa selamat sebelum dirinya kehilangan kesadaran.
"Ma, Pa!" teriak Qia yang langsung terbangun dari tidurnya. Napasnya memburu, detak jantungnya pun berdegup dengan cepat.
Cukup lama ia tersadar sepenuhnya dari dalam mimpinya hingga ia menghembuskan napas beratnya. Qia menarik ikat rambutnya yang ia pakai kemudian ia kembali mengikat rambutnya asal. Ia bangun dari tidurnya untuk mengganti pakaiannya. Sebenarnya ia malas, hanya saja dia sedang datang bulan yang mengharuskan dirinya membersihkan mis V nya.
Selesai dengan ritualnya, Qia mengambil air putih dan menghabiskannya dalam satu tarikan napas. Qia kini duduk menghadap bingkai foto besar keluarganya. Di sana ada foto saat dirinya dan kakaknya masih duduk di bangku SD bersama kedua orang tuanya. Lama ia memandangi foto itu hingga tanpa sadar ia meneteskan air matanya. "Qia rindu kalian," ucap Qia dengan suara lirihnya.
Ini lah titik terendah Qia saat traumanya kembali menghantui. Gejala traumatik Qia bisa di bilang hampir sembuh karena ia hanya masih trauma saat menaiki mobil pribadi. Berbeda saat dirinya pertama kali sadar setelah kecelakaan. Qia sempat diam saat ia mengetahui jika keluarganya tidak ada yang selamat. Ia pun menjalani terapi paska kecelakaan yang ia alami. Dokterpun mengatakan jika Qia mengalami PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma adalah gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang tidak menyenangkan.
Cukup lama untuk Qia sembuh dari gejala PTSD bahkan ia sempat menyendiri, sulit makan hingga beberapa kali mencoba bunuh diri dengan obat ataupun pisau karena ia merasa bersalah pada keluarganya. Andai saat itu ia tetap diam di dalam mobil, maka ia akan pergi bersama-sama dengan keluarganya. Ia tidak akan sendiri di dunia ini.
Hari berlalu sudah tiga hari Qia tidak masuk bekerja. Handphonenya pun tidak bisa di hubungi sama sekali. Raka pun kini sudah ada di kantor Kenan dengan wajah cemasnya. "Ayolah Kenan, gua butuh data Qia," pinta Raka. Kalau saja ia kemarin mengantarkan Qia sampai kosannya, pasti ia tidak akan seperti ini. Ia sudah bertanya pada orang-orang di gang itu, tapi mereka tidak ada yang mengenal Qia. Sialnya lagi Raka tidak memiliki foto Qia untuk menanyakan orang-orang. Walau dia sudah menyebutkan ciri-ciri Qia tapi orang yang di tunjukan bukanlah Qia.
Kenan masih diam tidak mau menjawab, dia memilih berkutat dengan pekerjaannya. "Kenan!" panggil Raka yang sudah kesal karena Kenan tidak mempedulikannya.
"Apa kamu gak bisa menghargai aku?" tanya Kenan dengan tatapan dinginnya.
"Kamu tahu aku bagaimana dan lagi, bukankah kamu akan menikah?"
"Aku menikah karena kakek, bukan karena kemauanku!" marah Kenan. "Sebenarnya kamu anggap aku enggak, sih? Di depanku kamu sama sekali enggak merasa bersalah ngejar-ngejar seorang wanita!" kesal Kenan yang beberapa hari ini menahan marahnya.
Raka menghembuskan napasnya kemudian ia mencoba menahan kesalnya karena jika sama-sama marah maka urusannya akan semakin panjang. Ia berjalan mendekat ke kurasi Kenan kemudian ia menumpukan ke dua tangannya di kedua sisi pegangan kursi yang di duduki Kenan.
Wajahnya kini sudah sejajar dengan wajah kekasihnya itu. "Aku memang menyukainya tapi sebesar apapun aku menyukainya, tetap saja, tempatku kembali itu ke sisimu. Karena hanya kamu yang mengerti aku," ucap Raka dengan tatapan mata serius.
Kenan mendorong kuat tubuh Raka hingga kekasihnya itu menjauh darinya. "Kenapa aku terus yang harus ngertiin kamu? kamu aja gak pernah ... " ucapan Kenan terhenti kala Raka sudah membungkam bibirnya.
"Aku enggak suka di bantah!" ucap Raka di sela-sela ciumannya.
Kenan seperti kerbau yang di cucuk hidungnya, ia terbuai dengan pagutan sang kekasih. Tangan mereka sudah saling meraba satu sama lain. Hingga dengan terampilnya kancing kemeja Kenan kini sudah terlepas semua akibat ulah nakal tangan Raka. "Ingin lebih?" tanya Raka seraya tersenyum dan satu tangannya sudah memegang belalai Kenan yang masih terturup celana bahannya.
Kenan tidak menjawab ia menarik leher Raka dan kembali memagutnya. Kenan terbuai, desahan kecil sudah ke luar dari bibirnya karena tangan Raka kini sudah membelai belalainya dengan terampil. Ciuman Raka mulai turun ke bawah, wajahnya kini sudah di hadapan belalai milik Kenan yang mulai tegak, ia mendongakkan kepala dan tersenyum menatap Kenan.
Saat ia akan memasukkan belalai Kenan dalam mulutnya, tiba-tiba suara ketukan di pintu pun terdengar. "Kenan, buka pintunya. Ini Mama," Kenan dan Raka membulatkan matanya. Mereka pun dengan cepat merapihkan pakaiannya.
Raka mengambil tisu untuk mengusap bibirnya yang basah akibat ciumannya kemudian ia pun membersihkan bibir Kenan. Ia juga membantu merapihkan pakaian Kenan yang sudah sangat berantakan.