Juni 2015
Kepura-puraan. Berpura-puralah, sampai kamu lupa kalau kamu sedang berpura-pura. Kadang hidup memang penuh dengan kebohongan dan kepura-puraan.
Sampai sekarang, inilah yang aku lakukan. Berpura-pura.
Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku hanya menyukai Aidan sebagai teman. Atau, setidaknya berpura-pura seperti itu. Tetapi, bukan lupa yang aku dapatkan, justru perasaanku semakin menuntut untuk dibebaskan. Perasaanku yang sebenarnya, bukan yang aku sembunyikan dalam topeng kepura-puraan. Tetapi, perasaanku ini harus dihentikan bukan?.
Aku sedang berusaha. Tentu saja, tidak mudah untuk melupakan dan menghapus semua kenangan yang aku anggap berharga. Terlebih lagi, semua yang terjadi di antara kita hampir sudah aku tulis dalam buku harianku. Sebenarnya ini mudah, aku hanya perlu menerima bahwa dia tidak bisa membalas perasaanku. Tetapi, tetap saja terasa sangat sulit.
Aku sudah memikirkan berbagai solusi, tetapi bahkan tak satupun dapat digunakan. Rasanya, aku ingin segera terbebas dari semua hal yang mengganggu pikiranku ini.
"Apa rasa makanannya nggak enak?" ucap suara familiar ibuku, membawa kembali pikiranku ke dalam dunia nyata.
Aku menatap Ibuku dan tersenyum padanya. "Tentu saja enak."
Ibu menyipitkan matanya, memandangku curiga. "Akhir-akhir ini... kamu sedikit berbeda."
"Berbeda?" tanyaku, "aku rasa hanya perasaan ibu saja. Aku selalu begini setiap hari."
Sekarang tidak hanya Ibu, Paman dan Ayah pun ikut memandangku curiga. Seolah memberikan tanda penyangkalan, pada apa yang baru saja aku katakan. Aku mengabaikan tatapan mereka dan mendengus pelan, melanjutkan menyendok makananku.
"Sepertinya, hari ini ada berita penting," kataku, tidak mengalihkan pandangan dari danging panggang yang ada di piring.
Aku masih berusaha untuk menghindar dari tatapan mata mereka. Karena, saat ini, aku tidak ingin ada yang tau isi pikiranku yang sebenarnya.
Ada jeda diam sesaat. Bahkan, suara piring berdenting pun tiba-tiba lenyap.
"Bagaimana kamu bisa tau?" tanya Ayahku.
Aku menghela nafas panjang, menatap mereka satu persatu. Lalu, menatap semua makanan yang ada di meja makan di depanku. Semua disiapkan dengan rapi, terdapat berbagai macam makanan yang jarang kami makan sehari-hari. Terlebih lagi, ada sushi ikan tuna yang merupakan makanan kesukaanku. Padahal mereka membenci sushi ikan tuna. Hal ini terkadang mereka lakukan saat ada pembicaraan penting yang akan dibawa di meja makan. Contohnya saja, baru kemarin kita melakukan ini untuk berdiskusi tentang acara lamaran paman.
Bagaimana mereka berharap, aku tidak mengetahui maksud dari ini semua?.
Apa aku terlihat sangat tidak peka, karena menjadi manusia yang pendiam?.
"Tentu saja aku tau, kita hampir melakukan ini setiap ada berita peting yang akan disampaikan," kataku. "Baru kemarin kita makan bersama seperti ini untuk membahas acara pertunangan Paman."
Mereka bertiga memandangku, seolah baru menemukan hal paling menarik. Seolah aku adalah benda langka yang baru mereka temukan.
"Ternyata kamu masih memiliki sedikit perasaan peka," ucap Pamanku, diikuti tawa kecilnya.
"Tentu saja Paman. Sebenarnya aku orang yang sangat peka... hanya saja, aku cenderung tidak peduli." Aku memandang Paman dan menunjukkan senyum kemenangan padanya.
"Kamu ternyata seseorang yang jujur," kata Paman, "aku tidak menyangka kamu mampu mengenali dirimu sendiri. Ternyata keponakan Paman sudah besar."
Aku menggeleng dan tersenyum. Percakapan ini, bukan percakapan yang biasanya aku lakukan saat bersama Paman. Aku sering manja dan bersikap seperti anak kecil saat bersama Paman.
"Baiklah," tegas Ayah, "karena seperti yang kamu bilang. Memang ada berita penting yang harus disampaikan."
Ayah memandang ke arah ibuku. Dan, sekarang aku gugup. Aku harap ini bukan berita buruk.
"Kita akan pindah ke kota," tutur Ayah.
Aku terkejut. Tanganku yang memegang pisau untuk memotong daging, kehilangan kekuatannya. Suara pisau yang jatuh seakan menjadi bunyi peringatan, bahwa perang baru saja akan dimulai.
"Kita? Pindah?!" tanyaku, "maksudku... kita semua akan pindah ke kota?"
Ayah memandangku dengan tatapan lembut, berusaha untuk membuatku tenang. "Hanya kita bertiga. Aku, ibumu, dan kamu."
"Kenapa kita harus pindah?!" tanyaku geram, meninggikan suara.
"Ibu dipindah tugaskan di kota," sahut Ibu, "dan, ayahmu bisa lebih dekat dengan kampus. Dia bisa menambah jam kerjanya."
"Aku bisa tinggal disini bersama Paman. Lalu..."
"Pamanmu akan pergi ke Berlin setelah menikah," potong ibuku.
Aku mandang tajam ke arah Paman. Memberikan tusukan kekecewaan padanya.
Bagaimana dia tega tidak memberi tau tentang kepindahannya ke Berlin?
"Paman berhasil mendapat beasiswa," jelas Paman, "maaf tidak memberi taumu lebih dulu."
"Iya! Tentu saja!" geramku, "padahal aku yang menemani Paman rekaman. Aku selalu menanyakan Paman tentang pengumuman beasiswa itu berkali-kali. Tetapi, Paman selalu menghindar. Aku kira Paman tidak berhasil, dan itu membuatku sedih, karena aku tidak bisa membantu Paman. Sekarang aku baru tau kekhawatiranku sama sekali tidak berguna."
"Len..." ucap Pamanku tenang.
Rasanya aku ingin menangis. Mata ku mulai panas dan sepertinya sebentar lagi aku akan menangis. Sekarang yang lebih aku butuhkan bukanlah makan, tetapi aku harus sendirian. Untuk memproses berita mengejutkan ini.
Aku berdiri dari tempat dudukku, "Aku rasa kita harus membicarakan ini lain kali."
Sebelum mereka sempat mengucapkan sesuatu, aku segera beringsut pergi dari sana menuju kamarku, lalu mengunci pintunya. Aku berbaring di kasurku, memenjamkan mata, mencoba untuk menenangkan diri sendiri.
Aku tidak mau pindah. Kehidupanku ada disini. Teman-temanku, pemandangan yang indah, udara basah yang sejuk, tetangga yang ramah dan jalanan yang tenang. Aku tidak mau semuanya terganti dengan kebisingan kota. Aku berbalik, menatap ke arah easel yang berisi lukisanku. Lukisanku yang menggambarkan seseorang sedang duduk santai bersandar di bawah pohon. Seseorang yang tampak damai, dan menikmati suasana di sekitarnya. Orang itu adalah Aidan.
Jangan anggap aku cewek yang terobsesi dengan cowok karena ditolak cintanya. Aku melukis ini untuk aku berikan padanya, sebagai hadiah ulang tahun. Aidan akan berulang tahun di bulan September nanti. Itu berarti jika aku pindah, aku tidak akan sempat untuk memberikan lukisan itu padanya.
🍂
Aku terlihat mengerikan, karena menangis cukup lama tadi malam. Tetapi, untungnya ini hari minggu. Jadi aku berencana untuk diam di rumah saja, sebelum Katherin membobol masuk kamarku. Dia menyeretku keluar rumah. Sebenarnya ide ini tidak terlalu buruk. Udara basah segar di pagi hari dan suara kicauan burung, membantu memperbaiki suasana hatiku.
Kami berdua duduk di bangku lapangan yang sering aku kunjungi, saat aku mencari inspirasi untuk melukis. Diam tanpa kata, memandangi pohon-pohon yang menari bersama angin tak kasat mata.
Aku tau pasti Katherin sudah tau tentang berita kepindahanku. Mungkin saja Paman yang memberi taunya.
"Kamu beneran mau pindah?" tanya Katherin dengan suara yang sedikit serak.
Kita tetap fokus melihat ke arah pohon-pohon, daripada menatap mata masing-masing. Suara angin menjadi jawaban yang aku pilih untuk pertanyaan dari Katherin.
Aku tetap diam dan menggigit bibir bawahku untuk meredam suara tangis. Aku tidak ingin pindah, aku tidak pernah siap untuk kehilangan semua kehidupanku yang berada di sini.
— Bab baru akan segera rilis — Tulis ulasan