Unduh Aplikasi
74.28% Matrix Trap : Odyssee / Chapter 26: 23.15

Bab 26: 23.15

Kura kura bisa mati

Sedangkan Laut nggak akan pernah mati

Sayangnya laut itu pengecut

Dia bukan sesuatu yang bisa mengatasnamakan berani dalam eksistensinya

Beda dengan kura kura, meski bisa hidup dalam bayang kematian dia tetap jadi makhluk paling pemberani

Dia tau, selalu ada banyak kemungkinan dia akan mati atau hilang di laut

Tapi dia juga tau, tanpa laut dia tidak akan punya rumah untuk pulang

Pulang yang menyeramkan

Pulang yang menduhkan

Atau pulang dengan penuh kenangan

*

Khariskara Renoir: Bang aku pulang agak sore soalnya suruh ikut eval di kantor. Nanti kalo aku pulang, aku kabarin deh hehe. Janji nggak akan telat minum obat hehe. Have nice day bang!

Pesan itu masuk tepat seteah Nuha keluar dari penjara tempat bunda dan ayah di tahan. Sampai detik ini Kara belum tau kalau orang tuanya di tahan karena tuduhan kejahatan di masa lalu. Semua orang (Nuha dan Ray) setuju menyembunyikan ini dari Kar. Meski ia tau cepat atau lambat Kar pasti akan tau.

Nuha menghela napas. Ia menjentikkan jarinya untuk membalas pesan Kar, belum sempat ia mengetikkan beberapa kata untuk membalas wajah Rehan menyapa mata Nuha. Setelahnya pria itu menyapa Nuha.

''Jangan bilang ini kebetulan?"

Rehan menyernyitkan alisnya. Ia tersenyum ramah, sayang senyum itu hanya di balas Nuha dengan tatapan mengintimidasi. Nuha tak jadi membalas pesan Kar, ia memasukan ponsel ke dalam saku celana. Lantas melangkah menuju Rehan.

''Ngapain lo di sini?" tanya Nuha penuh selidik.

Rehan mengembangkan senyumnya, ia tepuk bahu Nuha sayangnya bocah itu menangkisnya.

''Gue nggak suka basa basi. Jadi lo kesini karena lo udah tau kan semuanya?''

Rehan menyernyit tak mengerti, "Nyokap bokap lo?'' rehan tampak ragu.

''ga usah sok mempertanyakan apa yang jelas jelas udah lo tau jawabannya. Lo sendiri kan yang pengin ini terjadi. Segitu dendamkan lo sama adek gue? Segitu bencikah lo sama keluarga gue?''

''Gue…?" telunjuk Rehan mengarah ke dirinya sendiri. Raut wajah bingungnya mendominasi. ''Sumpah gue nggak tau apa yang lo maksud. Gue kesini emang mau ketemu lo sama nyokap bokap lo Cuma nggak gini Ha. Nggak seperti apa yang ada di otak lo''

''Nggak gini…?" Nuha berdecik sebal, ''Lo nginggau Han? Mabok? Lo nggak liat apa yang terjadi sama keluarga gue? Yang awalny baik baik aja sekarang hancur satu persatu gara gara lo dan Ray. Sekarang apa lagi yang lo mau?!'' Nada bicara Nuha naik. Beberapa sipir melayangakn tatapan tajam seakan akan Nuha telah melewati batas ketenangan.

Rehan membungkan mulutnya. Ia tahu bahwa tempat ini bukanlah tempat yang baik memulai percakapan mereka. ''Gue bisa jelasin, tapi nggak di sini. Gue tunggu di luar.'' Rehan menepuk bahu Nuha. Lantas ia meninggalkan Nuha dengan senyum penuh ketenangan.

Nuha melepas kepalan tangannya, pandangannya jatuh pada Rehan yang tengah duduk di bawah pohon dekat mobilnya terparkir. Nuha mendekat, ia mengatur emosi untuk bisa bicara dengan Rehan. Bagaimanapun Nuha ingin dengar apa yang terjadi dari sudut pandang Rehan.

Nuha mengambil duduk tak jauh dari Rehan. Dia mengetuk ketukan tangannya pada bangku yang ia duduki. Rehan yang menyadari itu akhirnya membuka percakapan. Nada bicaranya lembut dan tenang. ''Sorry kalau kedatangan gue nge ganggu lo.'' Ucap Rehan dengan tulus.

''Nggak usah basa basi Han'' balas Nuha dengan dingin.

Rehan hanya tersenyum, ''Oke, kedatangan gue kesini memang buat ketemu orang tua lo tapi bukan karena di suruh Ray atau siapapun. Gue kesini karena kemauan gue. Jujur gue nggak expect kalo lo juga di sini.''

''Ada urusan apa lo sama nyokap bokap gue?'' Nuha ketus bertanya

''Pribadi sih. Tapi kalo itu bisa menjawab pertanyaan lo gue akan kasih tau lo''

''Gue nggak tertarik''

Rehan mengembangkan senyum, ia jelas tau kalo Nuha hanya berpura-pura tak tertarik. ''Gue dating kesini Cuma mau ngucapin maaf da terimakasih ke orang tua lo. Maaf karena keluarga gue keluarga kalian jadi begini dan terimakasih karena keluarga lo sudah banyak membantu keluarga gue''

''Lo nggak lagi nyindir kan? Setelah lilis mati karena Kar, lo nggak lagi nyindir kan? Atau lo mau menuntut hal lain kayak apa yang Ray lakukan?" Nuha penuh selidik.

Rehan menggeleng kepala, ''Nggak sama sekali. Soal lilis gue udah nggak bisa buat menyalahkan kar lagi.''

Nuha berdecik, ''Nggak bisa menyalahkan karena lo kasihan kan sama adek gue? Lo tau kan dia nggak punya banyak waktu lagi?''

''Bukan gitu Ha''

''Bukan gitu tapi kenyataanya gitu. Mau lo mau Ray semuanya belagak peduli sama Kar, padahal kalian orang yang diam diam membunuh dia. Hebat ya kalian, udah bikin adek gue mempercayakan dirinya sama algojo kejam''

Tepuk tangan Nuha membuat Rehan diam. Ia mengulum senyum, sebisa mungkin menahan untuk bicara seperlunya. Nyatanya itu hanya bertahan beberapa saat saja, Rehan ikut terbawa emosi. Ia tak bisa menahan mulutnya untuk melontarkan kata kata yang ada di kepalanya.

''Mungkin yang lebih hebat lo. Mungkin yang lebih kejam adalah lo. Selama ini mungkin lo berpikir kalo lo udah kasih rumah yang paling nyaman buat adik lo tapi nyatanya apa yang lo kasih malah bikin dia kehilangan siapa dirinya. Gue akui gue udah ngehancurin hidup Kar sama kayak gue ngencurin hidup lilis. Orang yang gue kira baik baik aja, orang gue kira paling aman dan Bahagia ternyata nggak gitu, nyatanya mereka orang yang banyak menerima luka dari kita. Gue yang udah bikin adik gue meninggal, gue yang udah bikin adik lo dalam masalah besar. Gue akui semua itu karena itu salah gue. Tapi emang lo pernah mengakui apa yang udah lo lakukan ke adek lo? Nggak, kan?''

Nuha mengigit bibirnya. Tangannya terkepal sempurna. Ia siap untuk melemparkan tinju.

''Gue sama lo tuh sama aja anjing! Sama sama udah bikin adek kita kehilangan diri mereka sendiri. Bedanya gue sadar dan mengakui sedangkan lo sadar dan selalu menghindar buat mengakui''

Nuha berdecik, ''Orang paling bangsat juga tau kalo lo lebih anjing daripada gue. Lo yang selalu menghindar tapi nyalahin orang lain.'' Balas Nuha dengan nada yang mengintimidasi.

''Gue akui gue bangsat tapi sesame bangsat kita harus saling menghargai. I know you hide something that you cant be dealing with yourself. Apa susahnya ngaku kalo lo juga punya andil atas apa yang Kar alami sekarang. Yang gue tau jauh sebelum Kar ketemu gue sama Ray, lo udah bikin hidup adek lo mengerikan, bener?!''

Nuha menelan ludah. Tanpa pikir panjang ia melemparkan tinju ke mulut Rehan.

Plak!

''Nggak ada yang ngizinin lo buat menghakimi gue, anjing!''

Rehan mengusap darah yang mengusap di sisi mulutnya, ''Udahlah Ha, stop… apa lo nggak cape ngehindar terus? Gue tau kok rasanya jadi lo.''

''tau apa lo?'' sarkas Nuha.

''Tau lah. kadang kita pikir hal terbaik dari menghadapi malasah adalah menghindarinya tapi nyatanya hal terbaik dari menghadapi masalah adalah dengan melewatinya. Karena ketika satu masalah selesai maka kita bisa dengan tenang menghadapi masalah yang lain. Nggak peduli sesulit apapun itu semuanya harus dilewati dan di terima bukan di hindari dan kembali. Ayolah Ha, jangan numpuk masalah. Manusia nggak ada yang pengen hidup susah apalagi punya banyak masalah''

Nuha berdecik. ''Lo enak bilang gitu karena lo nggak tau rasanya jadi gue.''

Rehan tersenyum sinis, ''gue bisa bicara gini karena gue udah melewatinya. Gue mau terimakasih sama Kara karena dia Lilis juga bisa melewatinya. Setahun yang lalu kalo bukan karena Kar mungkin Lilis nggak punya banyak waktu buat ngehabisin hari dia lebih lama buat melakukan hal yang dia suka. Gue makasih banget sama adek lo karena udah bikin lilis nggak nyerah sama apa yang dia suka. Padahal adek lo sama aja kayak adek gue. Sama sama benci mengecewakan orang lain, benci untuk tidak terlihat bahagia di depan keluarga serta yang terpenting mereka sama sama benci sama hidupnya sendiri. Wajar kalau suatu hari Lilis pengen mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri tapi untungnya karena adek lo dia mengurungkan niatnya untuk itu. Dari kejadian ini gue tau kenapa lilis mau mati hanya karena adek lo. Gue tau seberapa berharganya adek lu di hidup adek gue. Akhirnya gue berhenti menyalahkan Kar, berhenti mencari alasan. Itu pilihan dia, itu akhir dia, gue nggak akan menyesal untuk kematian lilis. Yang gue sesali sekarang adalah karena gue terlambat menyadari bahwa ternyata selama ini gue nggak benar benar kasih rumah buat lilis. Ternyata yang gue lakukan selama ini Cuma nyakitin dia. Menyesal pasti, tapi gue tau kalau dia nggak mau liat gue selamanya terjebak di sini. Gue harus terus jalan, gue harus terus berjuang karena dengan begitu gue bisa terus bikin dia hidup dalam hari hari gue. Terjebak dalam kenangan itu nggak enak Ha.''

Rehan menatap Nuha. Lantas tersenyum kecut. ''Selama lo masih punya kesempatan buat menerimanya maka terimalah. Karena kesalahan dan ketidaksengajaan manusia itu pasti ulah Tuhan. Apa yang kita kira nggak terencana pasti itu kuasa Tuhan.''

Nuha tersenyum kecut, "Kita yang hidup serius ternyata cuma mainan bagi Tuhan kita. Nggak adil'' lanjutnya penuh kecewa.

''Akan selalu ada hal hal di luar rencana yang datang dan kita sebagai manusia hanya akan terus memainkan peran. Setiap orang punya peran masing masing dalam kehidupan orang lain. Jika peran itu sudah selesai maka kita ngga bisa berbuat apa apa lagi selain mengambil pelajaran yang udah mereka kasih buat kita. Menyesal kalau kita tidak melakukan yang benar benar terbaik buat mereka.'' Jeda sebentar.Rehan menarik napas panjang.

''Kara masih hidup Ha, Kara masih bisa dengerin lo, masih bisa lo peluk, itu berarti lo masih punya banyak kesempatan untuk memperbaiki semuanya.'' Rehan membuang pandangan ke arah parkiran. Mendadak suasana jadi hening.

''Kita semua berharap yang terbaik buat adek Lo. Terlepas lo percaya atau nggak kita selalu berharap bahwa Kar akan terus baik baik saja. Kita semua sama sama belajar dari masa lalu, belajar dari semua kesalahan yang kita perbuat. Nggak ada yang benci sama lo, nggak ada yang benci sama keluarga lo, so… berhenti buat memproyeksikan kemarahan lo ke kita. Dengan lo marah. Dengan lo benci, apa itu membuat lo lebih tenang?''

Nuha menelan ludah, tangannya terkepal sempurna. ''kenapa ya semua yang lo katakana seakan akan memojokan gue di sini? Semua yang gue lakukan seakan akan gue salah. Padahal gue disini yang paling berjuang buat Kar''

Rehan berdecik, ''Lo egois Ha''

Nuha memutar bola mata jengah. ''Egois karena gue tau apa yang baik buat adek gue!''

''Lo pikir dengan ngebiarin dia ngga ingat siapa Ray itu baik?'' Tiba tiba nada bicara Rehan meningkat. Tangannya terkepal, ia siap melayangkan tinju.

''Apa yang bikin lo percaya sama dia?'' lanjut Rehan penuh emosi.

Nuha terdiam. Pikiriannya mencari segala alasan mengapa ia terlalu percaya pada sosok bernama Ray Ibrahim. Samapi akhirnya sebuah tinju meladarat di wajah Nuha. Sakit itu mendarat Bersama dengan teriakan yang cukup kencang.

''Banci lo!''

*

''Kar tolong bukain pintunya''

Kar mengangguk, gadis itu membuka pintu dengan segera. Tanpa penolakan.

''Kar tolong matiin mobilnya ya gue bawa masuk Rehan ke dalem''

Lagi lagi Kar mengangguk mengiyakan. Buru buru ia menuju mobil, ia matikan mesin lalu bergegas menyusun Rehan dan Batak yang sudah berhasil menyelinap masuk ke dalam rumah milik Rehan. Kalau di tanya mengapa gadis itu akhirnya bisa terdampar di sini maka jawabannya pasti karena ulah semesta.

''Bang Rehan nggak papa kan?'' Kar menyelinap masuk ke dalam kamar Rehan. Ia pandangi batak yang dengan susah payah menaruh tubuh kekar Rehan di atas tempat tidur. Pria itu jelas mabuk karena kalau sadar pasti dia tak akan mau melakukan adegan ranjang dengan Batak. Konon kata Batak, Rehan adalah musuh bebuyutannya.

''Perlu gue bantu ngga?'' ucap Kar tampak ragu.

''Eng…ga us..ah'' Batak akhirnya bisa sedikit bersuara. Ia sedah berusaha melepaskan diri dari lilitan Rehan. ''Yang ada nanti lo pingsan. Soalnya mulutnya bau banget anjir..''celetuk Batak membuat Kar gagal menahan senyum. Mana pose mereka berdua amat membagongkan.

''Yaudah gue ambilin air putih deh''

Batak memalingkan wajahnya, ''Lah emang lo tau dimana ambilnya?'' tanyanya.

'''Tenang aja pasti bakal ketemu kok. Gue ambil dulu ya…''

Belum sempat kar meninggalkan Batak dan Rehan, Batak berteriak menghentikan langkahnya. ''Sorry ya Kar, gue juga nggak nyangka kalo si Anjing ini bakal minta jemput gue di Bar. Kalo tau gini mending gue anterin lo dulu deh. Kan jadinya gue nggak enak sama lo sama abang Lo'' ucap Batak begitu tulus.

Di seberang sana Kar membalas dengan senyum, ''Ya nggak papa kali, nggak ada salahnya bantuin bang Rehan sebentar, lagian dia kan orang yang udah nolong Re. Bang Nuha juga pasti maklum kok kalo kita telat karena bantuain orang.''

'Serius?'' kernyitan batak terlihat begitu jelas.

Kar mengangguk. ''Seriuslah''

''Syukur deh'' Batak tampak menghela napas.

Tak lama setelah itu Kar melanjutkan untuk pergi mencari air. Ia meninggalkan Batak yang masih berusaha melepaskan lilitan Rehan yang sedang kena sindrom hangover.

''Anjing, kenapa hamba bertemu dengan domba nakal Bapa?'' gerutu Batak sambil berusaha menyingkirkan tubuh Rehan. Sial, kenapa juga harus jadi babu Rehan si?

*

Kar masih meneliti setiap sudut ruangan di rumah Rehan. Meski baru saja ke sini Kar merasa bahwa ia pernah mengunjungi rumah ini sebelumnya. Hal ini karena ia begitu familiar dengan aroma serta atmosfer rumah ini. Setiap sudut rumah ini terasa begitu familiar, buktinya ia tak butih waktu lama untuk mendapatkan segelas air di rumah ini.

Langka kaki Kar terhenti di teras samping dapur. Tangannya masih menggenggam gelas berisi air untuk Rehan. Pandangannya mulai terhenti pada sosok yang juga begitu familiar. Ara. Kini ia tau mengapa aroma ini betitu familiar. Sebab tanpa ia sadari pagi tadi ia pun juga menghirup aroma dari orang yang sama. Sejenak Kar ingat bahwa Ara dan Rehan adalah saudara sehingga wajar jika mereka tanggal di rumah yang sama.

Kar menelan ludah. Rasanya ingin balik badan dan kabur dari sosok Ara. Namun lagi-lagi ia sudah tertangkap basah oleh bola mata milik Ara.

''Ngapain lo disini?''

Pertanyaan itu praktis keluar dari mulut Kar. Jujur itu adalah hal bodoh yang pernah ia lakukan. Gadis itu mengigit bibir, meruntuki kebodohannya. Kalau ketangkap basah begini memang suka bikin isi kepala blank.

''Lo yang ngapain disini? Ini kan rumah gue'' balas ara penuh dengan kernyitan.

Kali ini ia masih mengenakan pakaian dengan warna yang sama dengan pakaian yang ia kenakan di pagi ini. Hanya saja kali ini tanpa lengan. Celananya sudah ganti, ketara karena ia memakai celana piyama. Dari penampilannya jelas ia sudah dalam kondisi bersiap untuk tidur. Hanya saja, mata Kar mendadak menjatuhkan pandangan pada rokok di tangan laki laki itu. Sejenak Kar terdiam.

Ara menarik senyum. Ia cukup peka dengan perubahan raut wajah Kar. Ia tau apa yang sedang di pertanyakan di kepala gadis itu.

''Heran ya kalo orang seperti gue itu suka merokok?'' ucap ara dengan santai. Ia merasa tak terbebani sama sekali.

Kar menelan ludah, mengangguk dan menyiyakan.

''Sama kayak orang lain gue juga bisa stress. Masa iya orang lain boleh ngerokok gue nggk boleh sih'' Ara menarik senyum kecut.

Kar memutar bola matanya, kikuk. ''Ya nggak ada yang ngelarang sih. Cuma kan rokok nggak bikin sehat''

''Sehat kok asal diimbangi olahraga'' balas Ara dengan tatapan meneduhkan.

Kar mulai berdecik sebal mendengar jawaban tak masuk akal dari Ara. Entah mengapa semua yang keluar dari mulut laki laki itu mendadak jadi bahan paling menyebalkan di dunia. Kar menghela napas, menjawab dengan sarkas. ''Ngerokoknya tiap waktu tapi olahrga Cuma pagi doang. Sisanya ngerokok lagi. Gimana mau sehat coba?''

Giliran Ara mengembangkan senyum lebar. "Siapa yang bilang gitu?''

"Gue!''Kar nyolot.

''Sotoy banget. Padahal sekarang juga lagi olahraga loh''

Kar menyernyit. ''Olahraga mulut maksud lo? Dengan ngerokok gitu?!''

Semakin kesal nada bicara Kar maka semakin senang hati Ara. Ia masih mencoba menahan senyum, namun gagal di detik berikutnya. Tawa kecil Ara lepas, praktis membuat Kar menyernyit keheranan.

''Ada yang lucu sama olahraga mulut?'' tanya kar penuh kepolosan.

''Nggak ada'''

''Terus kenapa ketawa sih?''

''ya karena lucu aja. Sekarang kalo gue bilang Cuma dengan liat lo gue udah olahraga apa itu bakal tetep bikin lo percaya sama gue?''

Kar menelan ludah, sial kenapa juga terdengar seperti menggombal. ''Serius deh gue nggak lagi bercanda. Kalo lo emang sayang sama diri lo jangan ngerokok. Kasian paru paru lo kasian sama jantung lo kasian sama…''

Ucapan Kar terhenti karena tiba tiba saja tangan Ara mengusap puncak kepala gadis itu. Mendadak kar Cuma bisa menelan ludah. Kalau bisa menjatuhkan gelas di tangannya rasanya ia akan jatuhkan itu saat ini juga. Sayang ia tak bisa karena ini bukan gelas di rumahnya. Ia tak mau bikin bang Nuha berurusan dengan keluarga Ara.

''Gue juga pengennya nggak ngerokok. Gue juga tau kok seberbahaya apa mereka buat badan gue, Cuma kadang karena stress gue jadi lupa sama semuanya. Sorry ya, lain kali gue nggak akan ngrokok di depan lo lagi.''

Senyuman ara terkembang sempurna. Ia tampak tampan dengan mata teduhnya. Di sisi lain lenangannya terekspos bebas menunjukkan betapa kekarnya bisep dan trisepnya.

''Gue kasian sama diri gue tapi stress nggak pernah kasian sama gue" Ara tersenyum kecut. Di sisi lain gadis itu kehilangan kata sampai akhirnya…

Brak!

seekor kucing menyerang kanvas yang di dekat Ara. Kanvas itu jatuh bersamaan dengan reaksi spontan Kar yang memeluk Ara. Mendadak Kar latah, berulang kali mulutnya hanya mengucap kata, ''Bubu..bubu..bubu.. mianhe'' sambil mengeratkan pelukan kepada Ara.

Di sisi lain. Ara hanya bisa menahan segala hal yang ada di dalam dirinya. Ara telah dewasa namun gadis di depannya masih seperti seseorang yang pernah ia temui setahun yang lalu. Gadis kecil yang perhatian dan mengidolakan Lee Taeyong. Mendadak Ara ingin berubah menjadi taeyong untuk Kar. Karena Cuma dia manusia yang nggak pernah nyakitin Kar.

Apa gue operasi plastic aja ya biar bisa dipeluk terus?

*

Kar akhirnya kembali menuju kamar Rehan dengan perasaan canggung. Di belakang dirinya ada Ara yang juga ikut untuk melihat kondisi Rehan. Jujur Ara nggak kaget dengan kondisi Rehan yang teler seperti ini karena mungkin dia sudah terbiasa. Hanya sada keberadaan batak membuat Ara agak heran.

''Sorry ya lama soalnya gue bingung dapurnya di mana'' ucap Kar sambil melayangkan tatapan pada Ara. Pria itu tersenyum manis, ia tau Kar hanya berbohong.

''Pantesan'' Batak hanya menoleh sebentar masih sibuk meyangga badan Rehan agar tetap duduk. ''Sini airnya Kar, biar gue gelongongin nih ke badak'' lanjut Batak penuh emosi

Kar menarik senyum, ia mendekat. ''Gue aja sinih yang bantuan minum. Lo pegangin bang Rehan ya..'' ucap Kar dengan tulus. Belum sampai segelas habis sesuatu terasa janggal. Batak sudah feeling ada yang nggak beres. Ia mengambil jarak beberapa saat sedang kar yang tidak menyadari masih dengan sabar meminumkan air putih ke Rehan.

Satu..Dua.. Tiga.. Hoekkk!!

Pria itu memuntahkan seisi perutnya hingga mengenai pakaian Kar. Tanpa rasa bersalah ia langsung terbaring. Di sisi lain Kar menelan ludah. Mengerjap beberapa saat sambil menikmati baunya isi perut Rehan. Jujur ia ingin menangis namun ia tahan. Wajah Kar mendadak masam sedang Batak yang sudah feeling dengan hal ini hanya bisa memberikan senyum menguatkan sambil cekikikan di dalam hatinya. Sumpah Kar polos banget pikir Batak.

''Ih…'' Kar mulai menggerutu, saat tangannya ingin membersihkan muntahan Rehan tiba tiba tangan Ara meraih tangan Kar. Jelas Ara menyaksikan kelaukan kakaknya. Ia bersumpah akan menghabisi Rehan setelah ini.

''Nanti gue yang beresin. Lo ganti baju aja'' uacap Ara dengan nada berat. Ia mengangkat tubuh Kar dan memindahkannya ke sisi yang lebih bersih. Lantas melepas kaos yang ia kenakan untuk menutup muntahan Rehan.

''Tapi kan gue nggak bawa ganti'' ucap kar frustasi.

''Pake punya gue aja'' ucap batak penuh semangat. Ia hamper melepas kaosnya kalau saja sebuah bantal tidak melayang ke wajahnya. Iya, bantal itu berasal dari Ara. Ara menimpuk Batak dengan tatapan tajam.

''Ih sensi lu'' sarkas batak. Sebenarnya ia tau kalau Ara sedang cemburu. Tapi tetap saja Batak tidak akan menyerah untuk itu. ''Udah pake baju gue aja Kar. Gue nggak pake baju nggak papa deh kan nanti kita pulang naik mobil'' kalimat Batak di akhiri dengan senyuman penuh kemenangan. Di sisi lain Kar meringis kikuk. Tak tau harus menanggapi dengan apa.

''Nanti lo kedinginan loh. Gue mending gini aja deh. Bentar lagi juga balik'' balas Kar.

Di sela sela percakapan Batak dan Kar. Ara hanya menyimak sambil membersihkan muntahan Rehan. Ara tak suka dengan ide Batak, tapi tak tau bagaimana cara untuk membatalkan itu semua. Jelas ia tak ingin Kar pulang dengan manusia lain selain dirinya.

''Ya tetep aja jarak rumah lo dari sini jauh. Emang lo tahan sama baunya? Gue sendiri nggak tahan sih. Mending lo pake baju gue hehe'' Batak terus berusaha.

''Tapi…''

''Udah pake baju gue aja. Mau pinjem baju Rehan? Emang lo yakin dia punya baju bersih?''

Kar menelan ludah, ia melihat seisi Kamar dan meragukan bahwa ada baju yang layak untuk ia pinjami. Sempat Kar melihat ke arah Ara namun sepertinya pria itu tak peduli dengan dirinya. Kar mendengus frustasi. Mau tidak mau ia harus mengiyakan.

''Yaudah deh tapi…''

Ara berdiri. Mata pria itu menatap Kar dengan ragu. Lantas, ''Pake baju gue aja'' ucap Ara.

''Eitsss tapi kan anda tidak pake baju?'' balas batak dengan nada mengejek. Kar menelan ludah ia berdosa karena membiarkan matanya menjelajaih tubuh Ara. Pria itu bertelanjang dada tanpa rasa salah.

Ara memberikan tatapan tajam, ''Baju lain maksud gue'' jawabnya tenang. ''Kamar gue di lantai dua. Ikut gue sekalian ambil bajunya.'' Lanjutnya dengan tatapan hangat kepada Kar.

''Oke'' Kar tersenyum agak ragu.

''Gue juga mau ambilin baju buat Rehan jadi gue minta tolong sama lo'' Ara melayangkan tatapan pada Batak. ''Jagain abang gue sebentar''

Batak memiringkan kepalanya. Nampak kecewa karena untuk kedua kalinya ia harus jadi babu anaconda yang baru saja selesai mabuk perjalan. Helaan napas frustasi terdengar, Kar dan Ara meninggalkan dua domba di dalam kamar.

Batak menghela napas. Ia menyisir rambutnya frustasi. Ia tau kalau Rehan sudah sadar. Sial kenapa domba ini suka sekali berdrama? Pake acara muntah segala.

*

''Makasih ya''

Kar keluar dari kamar mandi di kamar Ara. Kini ia sudah mengganti pakaiannya dengan piyama milik Ara. Gadis itu terlihat tenggelam dalam piyama yang ia kenakan. Hal ini sudah jelas karena ukuran badan Ara dan Kar memang sangat jauh berbeda.

Ara membalas dengan senyum.

''Kenapa senyum? Ada yang lucu?'' Kar heran.

''Kecil banget sih lo''

''Baju lo aja yang kegedean'' Kar mendekat ia meraih bag yang Ara sediakan untuk menaruh pakaian kotor miliknya. Keduanya sedang ada di dalam kamar milik Ara. Pintu jelas terbuka karena Ara tak mau pikiran kotor hinggap lagi di kepalanya. Apalagi ketika sedang Bersama Kar.

Pandangan mata Kar menyisir ke setiap sudt ruangan. Jendela dan balkon kamar adalah hal yang menyita perhatian Kar cukup lama. Apalagi malam ini bulan sedang bersinar terang. Walau begitu hal hal lain juga membuat Kar cukup kagum dengan kamar milik Ara. Di kamar ini banyak sekali lukisan dan foto Ara dan keluarganya ini mengingatkan Kar dengan rumahnya di Semarang.

Kar menarik senyum, ia pandangi Ara yang masih mengambilkan baju untuk bang Rehan. Lantas bertanya, ''Rumah segede ini kok gue Cuma liat lo sama abang lo doang sih. Adek lo sama orang tua lo tinggal di luar kota?'' tanya Kar di sambut dengan kesunyian.

Ara mengulum senyum. Bingung harus menjelaskan darimana dulu. Terlalu rumit jika harus di jelaskan dari awal. Apalagi ada Kar di setiap kisah di dalamnya. Ara mencoba menjawab, ia mengigit bibirnya. Berbicara dengan penuh ragu dan berusaha untuk tetap meyakinkan gadis di depannya dengan senyum.

''Bokap gue di Bogor, Nyokap gue di Bandung, Adek gue udah meninggal satu tahun yang lalu'' jawab Ara membuat Kar merasa bersalah. Wajahnya ketara berubah.

''Sorry ya gue nggak tau kalo adek lo udah nggak ada. Sumpah gue nggak bermaksud…''

''Nggak papa kok. Lagian lo nggak tau. Lagian udah setahun juga, nggak ada yang perlu di minta maafin'' ucap Ara menghangatkan.

Kar menghela napas. Diam. Keheningan kembali menyelimuti keduanya. Ara telah menemukan baju yang tepat untuk Rehan. Sayangnya ia tak langsung turun ke bawah ia malah mengambil foto lilis dari dalam nakas. Lalu menunjukkannya pada Kar.

''She is my sister. Namanya Lilis, anaknya ceria, suka ngelukis, dan punya hobi nimbun saldo gopay. She passed away years ago cause car accident.''

Tatapan nanar ara terlihat begitu jelas. Praktis membuat Kar mengusap pundak Ara tanpa sadar. ''Nggak papa, dia pasti sekarang udah tenang surga. Ikhlasin, apa yang terjadi sama dia itu pasti udah kuasa tuhan. Jangan terlalu sedih karena pasti dia nggak mau liat lo sedih begini.''

Giliran tangan Ara mengusap puncak kepala Kar sambil menahan Hasrat untuk emmeuluk gadis itu. ''Makasih ya''

Kar tersenyum, ''Gue yang harusya makasih ke lo. Udah di pijemin piyama. Jadi jangan sedih sedih lagi. Lilis pasti kecewa nih kalo orang-orang nginget dia pake nangis nangis hehe. Inget tuh hal hal yang baik baik aja kayak…liat tuhh lukisan lukisan adek lu bagus banget sumpah'' telujuk dan mata gadis itu terarah pada setiap lukisan yang tergantung di dinding. Lukisanitu adalah karya lilis di masa lalu. Di sisi ruangan juga ada beberapa kanvas hasil lukisan Rehan dan lukisan Ara yang belum selesai.

Mata Ara hanya tertuju pada gadis itu. ''Setelah kematian Lilis bokap gue dipenjara, Nyokap gue jadi punya gangguan jiwa yang buat dia harus masuk rumah sakit di Bandung. Jujur gue nggak tau kenapa gue bilang ini ke lo, bukan karena gue pengen lo kasihan tapi karena gue Cuma pengen lo yang denger ini. Kar…'' Ara memanggik Kar dengan lembut. Wajah gadis itu teralih padanya. Ia menyernyit heran.

''Seandainya gue bilang kalo gue adalah mantan lo apa itu kan terdengar lebih menyedihakan?''

Kar mengerjap beberapa kali. Heran, ''Ya nggak mungkin sih. Gue aja kenal lo gara gara Rehan sama Re. Kayaknya lo gini gara gara abis gagal tunangan deh''

Ara menelan ludah. Menelan kepahitan. Ia masih mengupayakan senyum. Tak lama kemudia ia hanya bisa menelan kecewa. ''Lo masih marah sama gue gara gara kejadian di Jerman?''

''Nggak sih. Emangnya gue anak kecil? Lagian wajar kok kalo lo kayak gitu ke gue. Gue kan Cuma temen dari mantan pacar lo''

Ara menelan ludah, ''Kalo gue bilang lo mantan gue?''

Kar tertawa kecil, ''Ngaco. Kalo iyapun pasti kita putus gara gara lo wibu terus gue kipopers. Lo yang suka onerock gue Sukanya sama NCT, jadi wajar lah putus hehe'' gadis itu membalas santai.

Beberapa saat Ara menikmati senyum gadis itu. Ia tak membalas, nampaknya ia menyerah karena pada akhirnyapun di ingatan gadis itu, Ara hanya akan menjadi seseuatu yang tidak pantas untuk di ingat setelah apa yang dia lakukan. Tapi setidaknya hari ini Ara lebih berani daripada hari lalu. Meski tetap menelan kecewa.

Ara berbalik untuk mengembalikan foto lilis di atas nakas. Tanpa ia sadari sesuatu jatuh dari balik foto lilis. Sesuatu yang membuat tangan Kar bergetar. Perasaan gadis itu seperti sedang di guncang.

''Ra… ini…?'' ucap Kar terbata bata.

Di ujung sana Ara mengulum senyum. Sesuatu itu adalah foto mereka berdua ketika konser music Nuha. ''Gue nggak mau maksa lo inget gue. Itu Namanya egois.''

Kar menelan ludah. ''Kenapa lo …''

Belum selesai Kar bicara, tubuh Ara telah memeluk gadis itu. Membenamkan dalam aroma kerinduann yang begitu canggung. Meski Ara tau mustahil kalau sebenarnya Kar mengingat siapa dirinya. ''Gue nggak maksa lo kok. Kali ini aja izinin gue buat peluk lo… kali ini…''

Entah mengapa tangan Kar bereaksi mengusap punggung Ara. Membuat pria itu terdiam beberapa saat. Padahal dalam kepala Kar ia sedang mencari siapa Ara dalam kehidupannya. Sumpah meski tak menemukan siapa Ara dalam ingatannya. Tetap saja pelukan pria ini sehangat sesuatu yang pernah ia genggam di masa lalu.

Kar merasa bahwa tubuhnya sedang di kendalikan oleh manusia lain. Manusia lain itu mungkin adalah lilis. Mungkin lewat campur tangan lilis akhirnya Ara punya keberanian memeluk gadis itu.

Jangan sedih bang Luksa 😊 Lilis bakal bantuan abang kok, tapi abang berhenti ya jadi pengecut. Emang bener kok ada beberapa hal yang kodratnya harus di perjuangkan, contohnya perasaan abang.

*

Sementara itu di lantai bawah ada dua domba yang sedang di gembala.

''Astaugfirullah gue mabok?'' celetuk Rehan saat sudah sadar.

Plak! Sebuah bantal melayang. ''Lo Kristen bego'' sarkas Batak di ujung sana. Ia mengambil duduk dengan raut kesal. Pasalnya Kar dan Ara tak kunjung datang.

''Oiya kita kan domba'' ucap Rehan enteng.

''jaga mulut lo anjing'' Batak masih sarkas. ''Coba deh gue tanya lo kalo mabok berdoa kaga?''

''Berdoa sih'' Rehan tanpak ragu. ''Cuma gue lupa gue doanya pake doa yang mana hehe'

Selanjutnya Batak tak bisa menahan amarah. Ia membuat pertandingan dadakan untuk begulat dengan Rehan. Sayang baru 10 menit ia tepar dan pingsan karena keplset muntahan Rehan. Sejenak Rehan heran. Ia mengecek napas Batak. Lantas berceletuk, ''Man robbuka ya hamba ?''


PERTIMBANGAN PENCIPTA
kardykadyah kardykadyah

Gimanapun cerita yang baik adalah cerita yang berakhir. tapi gue bingung jujur karena gue pengen mereka tetap hidup di kepala gue. Haha egois ya.... gue masih menyelesaikan 2 bab lagi. And i promise after the end chapter semua udah selesai dengan bahagia. Terimakasih udah menemani gue dari 2019-2021. Proses yang gila tapi gue senang. Sekarang udah 16K pembaca. gue merasa terhormat, and thank you for all the support.

next chapter
Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C26
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk