Ketika Rain kembali dari meeting paginya bersama Noah, Jeanna langsung melompat berdiri dari kursinya dan membungkuk pada Rain. Lalu, gadis itu menegakkan tubuh dan menatap Noah, tersenyum.
Tersenyum? Gadis itu pasti sudah kehilangan akal sehatnya.
Rain berdehem keras. Jeanna kembali menatap Rain.
"Ada yang Pak Rain butuhkan?" tanya Jeanna.
"Tidak," jawab Rain.
"Kalau begitu, silahkan masuk, Pak," ucap Jeanna dengan pose tangan seperti mempersilakan masuk ke arah ruangan Rain.
Rain mendengus tak percaya. "Apa kau mengusirku?"
Jeanna menggeleng panik. "Ma-mana mungkin saya melakukan itu, Pak?"
"Jangan pernah mengaturku!" tuding Rain.
Jeanna menunduk. "Baik, Pak."
Rain sudah berjalan ke pintu ruangannya, tapi ia melihat gerakan dari tempat Jeanna. Ketika menoleh, dilihatnya Jeanna melambaikan tangan pada Noah. Namun, gadis itu langsung menurunkan tangannya dengan cepat ketika menyadari Rain sedang menatapnya.
Sekarang gadis itu bahkan dengan berani menunjukkan ketertarikannya pada Noah. Lihat saja apa gadis itu masih bisa melakukan itu setelah ditolak Noah nanti.
***
Siang itu, Jeanna tentu terkejut ketika Rain mengajaknya makan siang. Itu pun bersama Noah juga. Semoga saja Jeanna punya kesempatan untuk berbicara pada Noah. Setidaknya untuk sekadar menyampaikan terima kasihnya dengan tulus. Selain itu juga, Jeanna benar-benar berharap ia bisa berteman dengan Noah, dan mungkin mencari tahu sedikit tentang temperamen Rain, jadi Jeanna bisa menyesuaikan diri.
Punya bos seperti Rain rasanya benar-benar seolah Jeanna berjalan di atas tali yang tipis. Salah langkah sedikit saja, ia bisa terperosok jatuh dengan keras. Jeanna setidaknya butuh tali pengaman, dan di matanya, itu adalah Noah. Noah mungkin punya know how untuk menghadapi Rain yang tak tertebak itu.
Ya, tak tertebak. Di satu waktu dia bertingkah galak, disentuh sedikit sudah berteriak marah, tapi di satu waktu dia tiba-tiba menyentuh Jeanna, meski dia sedang mabuk. Di lain waktu, dia mengucapkan kata-kata kejam dan merendahkan Jeanna, di waktu yang berbeda, dia mau berbagi ruang ganti dengan Jeanna.
Ah, benar. Ruang ganti. Jeanna harus menanyakan tentang loker karyawan pada Rain nanti. Itu pun, jika suasana hati Rain sedang tidak buruk. Jika tidak, bisa-bisa Jeanna tidak hanya ditendang dari ruang ganti mahalnya, tapi juga dari kantornya.
"Aw!" pekik Jeanna ketika kepalanya menabrak pintu lift yang bergerak menutup, padahal Jeanna belum masuk.
Jeanna menoleh ke arah tangan Rain yang sudah menekan tombol menutup pintu lift, itu pun dengan ekspresi tanpa dosa.
"Apa saya harus naik lift berikutnya, Pak?" tanya Jeanna dengan sabar meski hatinya sudah memaki-maki makhluk Tuhan paling menyebalkan itu.
Rain menggeleng. "Aku tidak mau menunggumu di bawah. Cepat naik." Rain mengedik ke samping.
Jeanna menghela napas pelan, lalu menurut dan naik ke lift, berdiri di sebelah Rain.
"Jangan salah paham, tadinya aku ingin menahan lift karena kau tampak berjalan sambil melamun, tapi aku salah memencet tombol," Rain berkata.
Jeanna tertawa dalam hati. Hanya orang bodoh yang percaya itu. Meski begitu, Jeanna hanya mengangguk.
***
Rain menekan lidah di bagian dalam pipinya untuk menahan senyum melihat reaksi Jeanna itu.
Dasar gadis bodoh. Tentu saja Rain sengaja menutup pintu lift-nya karena melihat gadis itu berjalan sambil melamun. Dia pasti melamunkan Noah. Mungkin, dia membayangkan akan makan siang dengan Noah. Harapan bodoh.
Rain menatap bayangan Jeanna dari pintu lift. Tampak gadis itu menunduk sembari mengusap keningnya. Namun, tatapan Rain jatuh pada luka di sisi kening Jeanna yang lain. Rain baru ingat jika semalam Jeanna terluka di keningnya. Tadi Rain tak memperhatikan karena gadis itu sepertinya sengaja menutupi luka itu dengan rambutnya.
Rain mendecak kesal. Kenapa gadis itu tak mengobati lukanya, atau setidaknya menutupnya dengan plester? Apa dia sedang mencari perhatian pada Noah?
Ck! Gadis yang merepotkan.
***