Rain mengembuskan napas lega ketika akhirnya keluar dari ruang gantinya. Ia menelan ludah ketika teringat saat tangannya menyentuh kulit telanjang Jeanna tadi. Rain nyaris memaki dirinya ketika mendapati keinginan tubuhnya untuk bergerak menarik gadis itu mendekat dan menyusurkan tangannya di seluruh tubuh gadis itu.
Untungnya, akal sehat Rain masih berfungsi. Jika ia membuat kesalahan kali ini, ia tak lagi bisa membuat alasan mabuk pada gadis itu.
"Bagaimana dengan sekretarismu itu?" tanya ibunya. "Apa dia melakukan tugasnya dengan baik?"
"Dia melakukan pekerjaannya sesuai yang kuberikan padanya," jawab Rain.
Ibu Rain manggut-manggut. "Minggu depan, kita akan membuatnya menandatangani kesepakatan kita, jadi pastikan kau sudah membuat keputusan tentangnya. Kau akan terus menggunakannya atau menyingkirkannya," ucap ibunya dingin.
Rain mengangguk sembari menghampiri ibunya.
"Kudengar, kau pergi ke klub malam," singgung ibunya. "Mencari wanita?"
Rain mengangguk.
Ibunya manggut-manggut. "Sepertinya aku harus segera mencarikanmu istri. Aku nyaris lupa tentang kebutuhanmu yang satu itu."
"Tidak perlu terburu-buru, Bu. Lagipula, masih banyak yang harus kulakukan. Aku tidak ingin teralihkan dengan hal-hal seperti itu," ungkap Rain.
Ibunya mengangguk. "Tenanglah. Aku akan mencarikanmu istri yang bisa membantu di perusahaan dan tidak akan macam-macam selama di rumah. Jadi, dia tidak akan mengganggumu sama sekali. Aku juga tidak butuh menantu yang tidak berguna di perusahaan dan hanya merepotkan di rumah."
Rain hanya mengangguk.
Ketika ia dan ibunya meninggalkan ruangannya, Rain sempat melirik ke kamar gantinya. Gadis itu benar-benar merepotkan.
***
Jeanna duduk dengan lesu setelah jam kerjanya di klub usai. Tak seperti karyawan lain yang baru akan pulang jam lima pagi nanti, jam kerja Jeanna berakhir tengah malam.
"Kenapa kau lesu sekali hari ini, Jeanna?" tanya Silla yang baru datang sembari mengisap rokoknya.
Jeanna memperhatikan pakaian Silla yang tampak berantakan, bahkan tiga kancing teratasnya terbuka.
Jeanna menghela napas dan memasangkan kancing itu hingga hanya satu kancing yang terbuka. "Apa ini ulah pria yang tadi menggangguku?" tanya Jeanna.
Silla mendengus geli. "Dia memang agak merepotkan. Well, dia hanya mau bermain cepat."
Jeanna meringis. "Maaf, karena kau harus selalu mengurus hal-hal seperti itu untukku."
Silla terkekeh. "Kenapa kau mendadak jadi mellow begini? Aku sudah biasa melakukan ini dan ini bukan sekali-dua kali aku melakukannya."
"Tetap saja," jawab Jeanna. "Aku sendiri begitu berhati-hati dengan tubuhku, tapi rasanya seolah aku memanfaatkan tubuhmu untuk menjaga tubuhku sendiri."
Silla tergelak. "Jeanna, kau lucu. Kau tidak memanfaatkanku, karena aku melakukannya dengan suka rela." Silla mengembuskan asap rokoknya ke udara. "Ini pekerjaanku. Tidak ada orang yang harus kutemui dengan rasa malu meski aku melakukan pekerjaan ini. Bahkan pacarku sendiri dengan sukarela mempromosikan tubuhku."
Jeanna sudah tahu itu, tapi sejujurnya, dia tak terlalu suka dengan pacar Silla itu. "Kau sebaiknya segera putuskan pacarmu itu. Bagaimana bisa dia menjualmu ke teman-temannya seperti itu? Dia hanya memanfaatkanmu, Sil."
Silla kembali tergelak. "Jeanna yang manis, tenanglah. Dia tidak melakukan itu tanpa seizinku. Kami melakukan itu bersama-sama. Dan kami menggunakan uangnya bersama-sama." Silla lalu berbisik ke telinga Jeanna, "Meski kau mungkin tidak akan pernah mengerti karena kau tak akan tahu rasanya melayang bebas."
Jeanna hanya menghela napas mendengar itu.
"Ting tong! Sudah waktunya Cinderella pulang. Segeralah pulang atau kau akan bertemu orang-orang mabuk jika pulang lebih larut lagi." Silla menepuk pundak Jeanna.
Jeanna mengangguk, lalu pergi ke ruang karyawan dan berganti pakaian. Jeanna kemudian tersadar. Di klub malam saja dia punya ruang ganti karyawan, kenapa di kantornya tidak ada?
***
Usai acara, Rain berpamitan pada ibunya untuk pergi ke klub malam. Ibunya hanya mengangguk tanpa curiga. Rain hanya pergi berdua dengan Noah, tanpa sopirnya.
Namun, Rain tidak masuk ke klub malam dan hanya meminta Noah memarkirkan mobil di seberang jalan klub itu. Hingga akhirnya, ia melihat Jeanna keluar dari sana. Gadis itu menyapa bodyguard yang berjaga sekilas sebelum pergi.
"Ikuti dia dengan hati-hati," perintah Rain.
"Baik, Tuan," jawab Noah.
Rain sedang memikirkan cara untuk membuat Jeanna berhenti bekerja dari klub malam itu. Masalahnya, Rain tak bisa melakukan itu sebelum Jeanna menandatangani kesepakatan dengannya. Karena ini masih masa percobaan, gadis itu hanya perlu melakukan pekerjaan yang diberikan Rain dengan benar. Nanti, begitu gadis itu sudah menandatangani kesepakatan mereka, barulah gadis itu menjadi milik Rain dan Rain berhak mengaturnya selama dua puluh empat jam. Persis seperti isi kesepakatan itu.
"Tuan, sepertinya di depan sana ada bahaya," sebut Noah.
Rain menatap ke depan dan tampak ada seorang pria berdiri di ujung pengkolan gang dengan tatapan tertuju pada Jeanna yang berjalan menunduk. Benar saja, ketika Jeanna melewati orang itu, Jeanna tiba-tiba dibekap dan diseret ke gang itu.
Rain menghela napas. Gadis itu benar-benar merepotkan.
"Hentikan mobilnya," perintah Rain.
Noah menghentikan mobilnya. Rain keluar dari mobil dan Noah ikut turun. Pun ketika Rain pergi ke gang itu, Noah juga ikut. Ketika mereka tiba di gang remang-remang itu, tampak Jeanna sudah tergeletak tak sadarkan diri dengan kening berdarah, sepertinya dihantamkan ke tembok gang. Sementara, pria yang tadi membekapnya sibuk membuka celana.
"Berani-beraninya kau menolakku! Dasar Jalang!" maki orang itu.
Rain dengan santai mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya, lalu menghampri pria yang sudah akan berlutut di samping tubuh Jeanna itu. Ketika orang itu berbalik ketika menyadari kehadiran Rain, Rain melihat dia sudah memegangi tubuh bawahnya.
"Berani-beraninya kau menyentuh apa yang menjadi milikku," balas Rain dengan nada dingin, sebelum menyayatkan pisaunya ke bagian tubuh bawah pria itu.
Seketika, terdengar jeritan nyaring diikuti umpatan dan makian pria yang sudah berlutut dan memegangi tubuh bawahnya yang berdarah-darah itu.
Rain lantas melirik Noah. "Urus dia," perintahnya.
Noah mengangguk, lalu menghampiri orang itu dan menyeretnya ke ujung gang yang gelap. Sementara, Rain menghampiri Jeanna yang tak sadarkan diri. Rain mendecak kesal melihat betapa lemahnya gadis ini. Baru begini saja dia sudah pingsan.
Rain menarik tangan Jeanna, membuat tubuh gadis itu terduduk. Rain menepuk pipi Jeanna, tapi tak ada respons. Rain lantas menoleh pada Noah yang sudah kembali ke belakangnya.
"Saya sudah membereskannya, Tuan," lapor Noah.
"Pastikan kau menyebarkan berita penjagal yang menghabisi penyerang wanita di lingkungan ini," Rain memerintahkan. "Lalu, hapus rekaman CCTV dan black box mobil di sekitar sini. Selesaikan itu sebelum gadis ini siuman."
"Baik, Tuan." Noah sudah akan pergi, tapi Rain mengangkat satu tangannya, menahannya.
"Jika kau kembali, bawakan sebotol air untukku," Rain meminta.
"Baik, Tuan," jawab Noah sebelum benar-benar pergi.
Rain menghela napas ketika melihat penampilan Jeanna. Gadis ini padahal memakai pakaian tertutup. Jaket panjang yang ditutup hingga leher dan celana panjang sampai mata kaki.
Siapa yang Rain salahkan? Toh, memang banyak manusia yang jauh lebih buruk dari binatang tak berotak.
***