Langit sudah mulai memancarkan warna orange, itu tandanya hari sudah semakin sore. Bel pulang sekolah SMA Merpati sudah berbunyi dengan nyaring, para murid yang semula berada di kelas kini sudah berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Mereka bersorak kegirangan, karena telah terbebas dari penatnya pelajaran menyusahkan yang sudah membuat kepala mereka hampir pecah.
Saat bel pulang sekolah berbunyi, Jovanca bersama Jessica segera berjalan beriringan keluar dari kelas mereka. Rasanya begitu bahagia karena keduanya tidak mendapat hukuman dari guru. Berbeda dengan Rachel, dia harus menjalani hukuman yang diberikan sekolah selama satu minggu, karena pihak sekolah sudah mengetahui ulah yang dilakukan Rachel.
Bayangan tentang masa lalu bersama Rivaldi, kembali terputar di otak Jovanca. Dia sangat merindukan ketika pulang sekolah dijemput oleh Rivaldi dan diperlakukan seperti seorang putri. Jovanca mengembuskan napasnya secara kasar, mencoba untuk ikhlas dengan statusnya saat ini yang tidak lagi menjadi kekasih Rivaldi. Ternyata, takdir seseorang memang benar-benar tidak ada yang tahu.
"Vanca, kamu kenapa sih? Jangan murung terus dong, senyum ngapa! Aku kan udah balik lagi jadi sahabat kamu!" komentar Jessica.
Jovanca menatap Jessica sebentar, kemudian menatap lurus ke arah depannya lagi. "Aku sedih banget, Rivaldi menikah sama kakak tiri aku. Dia juga lupa ingatan, gak ingat sama aku sama sekali," jelasnya dengan raut wajahnya yang tampak sedih.
Ekspresi wajah Jessica berubah, saat dia mendengarkan penjelasan Jovanca. Jujur saja, selama dia menjauhi Jovanca dia tidak tahu ternyata sahabatnya itu memiliki banyak masalah. Tapi satu hal yang membuat Jessica kagum kepada Jovanca, dia adalah sosok yang kuat. Tidak pernah menunjukan sisi lemahnya di hadapan orang sekitar.
"Serius? Aku gak tahu ternyata masalah kamu banyak banget, tapi aku janji setelah ini aku akan selalu ada buat kamu, Vanca. Aku mau bantu kamu di saat sedang susah maupun senang." Lalu, Jessica memeluk Jovanca erat.
Jovanca membalas pelukan Jessica tidak kalah erat. Kemudian menjawab, "Makasih banget Jessi, di saat aku lagi butuh tempat buat cerita. Akhirnya kamu kembali. Dan hal yang paling membuat aku bahagia, ternyata kamu mau maafin aku."
Hangat, itu yang Jovanca rasakan saat berada di dalam pelukan Jessica. Tapi kehangatan itu tidak seberapa dibanding dengan pelukan yang diberikan Rivaldi kepadanya dulu. Jovanca mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, menggelengkan kepalanya. Berusaha agar tidak mengingat kembali kenangannya bersama Rivaldi dulu.
Secara perlahan, Jovanca melepaskan pelukannya dari tubuh Jessica. Mereka berdua saling bertatapan selama beberapa detik, sampai akhirnya tatapan keduanya harus terputus saat tiba-tiba saja datang seorang gadis yang berusia sama seperti mereka berdua, memberikan satu kantung bubur ayam dan obat untuk Jovanca.
"Hai Vanca, ini tadi ada cowok yang titipin bubur dan obat sama aku, katanya sih buat kamu." Gadis yang dikenal bernama Neona itu memberikan kantung plastik berwarna hitam yang ada di genggamannya kepada Jovanca.
Jovanca menerimanya dengan kening berkerut. "Hah? Cowok? Siapa?" tanyanya bertubi-tubi.
Bukannya menjawab, Neona dengan santainya malah meninggalkan Jovanca dan Jessica. Sehingga menimbulkan banyak pertanyaan di otak Jovanca, apakah mungkin cowok yang memberikannya bubur dan obat untuk sakit kepala itu adalah Rivaldi? Jika benar, sore ini juga Jovanca ingin menemui Rivaldi langsung.
Tanpa sadar, Jovanca menyunggingkan senyumannya. Jessica yang melihat hal itu merasa bingung dengan keanehan sikap Jovanca. Tangan Jessica melambai tepat di hadapan wajah cantik Jovanca, sehingga membuat Jovanca terkaget. Gadis itu berusaha untuk menormalkan ekspresi wajahnya dan detak jantungnya. Hari ini rasanya begitu bahagia.
"Vanca, kamu kenapa?" tanya Jessica dengan kening berkerut.
Jovanca menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Eum, anu i-tu. Apa sih anu, aku gak pulang bareng sama kamu dulu ya, gapapa 'kan? Soalnya aku lupa, ternyata udah ada janji sama bunda," jawabnya terbata.
"Oh oke, kalo gitu kita sekarang ke depannya bareng aja yuk! Nanti kamu pulang naik taksi, aku naik ojol" ajak Jessica dan dibalas anggukan kepala oleh Jovanca.
***
Kedua kaki jenjang Jovanca mulai melangkah memasuki pekarangan rumah Rivaldi. Suasana di sana sepi seperti tidak ada penghuni. Lampu penerangan yang ada di halaman rumah belum dinyalakan, suasana di dalam juga kelihatan gelap sekaligus sepi. Jovanca jadi merasa merinding.
Kepala Jovanca menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok satpam yang biasa menjaga tempat tinggal Rivaldi. Tapi sosok yang dicarinya itu tidak ada, karena hari sudah hampir malam dan Jovanca takut kena marah Arya, maka dia memutuskan untuk pulang saja. Masih ada hari esok, mungkin saja besok dia bisa kembali ke kediaman mantan kekasihnya.
Namun, baru saja Jovanca membalikan tubuhnya. Seorang lelaki tanpa permisi menarik pergelangan tangannya dan membawanya menuju sebuah taman yang lokasinya tidak jauh dari rumah mewahnya. Lelaki itu adalah Rivaldi, diam-diam dia keluar dari kamar tidurnya dengan menggunakan sebuah jaket putih beserta kaca mata hitam.
"Duduk!" titah Rivaldi, saat keduanya telah tiba di taman.
Sesuai perintah Rivaldi, Jovanca mendudukkan pantatnya di kursi panjang berwarna hitam yang ada di taman. Jovanca menengadahkan kepalanya untuk menatap wajah tampan Rivaldi. Sementara Rivaldi, membuang pandangannya ke arah lain.
"Valdi, ternyata kamu masih peduli sama aku?" tanya Jovanca hati-hati.
Rivaldi terdiam, dia berusaha untuk mengingat apakah memang benar Jovanca pernah menjadi kekasihnya atau tidak. Tapi usahanya sia-sia, kepalanya terasa berdenyut, Rivaldi memegang kepala bagian belakangnya, sesekali memukulinya untuk menghilangkan rasa sakit.
Melihat Rivaldi kesakitan, Jovanca segera berdiri lalu menghampiri Rivaldi. "Valdi, kamu gapapa 'kan? Apa yang sakit? Sini, biar kita ke dokter aja, mau?" tanya Jovanca bertubi-tubi.
"Enggak, gue gapapa. Duduk sana, gue mau ngomong penting," bohong Rivaldi.
Dengan terpaksa dan dengan perasaan yang tidak enak, Jovanca kembali duduk ke tempat asalnya. Berulang kali dia mengembuskan napasnya secara kasar. Jovanca takut jika kata-kata pedas akan kembali keluar dari mulut Rivaldi.
"Mau ngomong apa?" Salah satu alis Jovanca terangkat.
Rivaldi melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian menjawab, "Minta bukti kalau kita itu pernah pacaran, jangan kegeeran dulu ya. Karena gue cuma ingin cari kebenaran aja, bukan ingin balikan. Oh iya dan satu lagi, bubur sama obat tadi gue kirim buat lo karena perintah dari Vero."
Jovanca terdiam, ternyata bubur dan obat yang diterimanya bukan dari Rivaldi, melainkan dari Veronika. Tapi, kenapa harus diberikan ke sekolah? Padahal, Veronika bisa menitipkannya kepada Arya dan Sarah yang sudah jelas-jelas berada di rumah setiap hari.
"Eum, maaf. Kalau buktinya aku gak bisa kasih tunjuk sekarang karena ponsel aku habis baterai, tapi kalau kamu mau besok kita bisa ketemuan lagi," jelas Jovanca. "Oh iya, tapi kenapa bubur sama obatnya harus diantar ke sekolah? Kan di rumah ada bunda sama ayah," lanjutnya.
Rivaldi berkacak pinggang. "Oke, besok kita ketemu lagi, kasih tahu aja besok lo pulang sekolah jam berapa. Oh, iya itu bunda sama ayah lo katanya pulang agak telat, makanya gue disuruh anterin ke sekolah. Katanya kunci rumah lo ada di bawah pot," jelasnya panjang lebar.
"Makasih kalau gitu, ya udah aku pulang duluan ya." Jovanca berdiri, hendak meninggalkan taman. Tapi tangannya dicekal oleh Rivaldi.
Desiran aneh dapat Jovanca rasakan di tubuhnya, jantungnya berdetak tidak karuan seperti saat pertama kalinya bertemu dengan Rivaldi. Dapat Rivaldi lihat, Jovanca gugup.
"Lo pulang sama gue, udah malam!" ucapnya tegas.