Pagi ini, Choco akan segera kembali ke kota dimana dia tinggal. Dengan berani, Choco datang kembali ke rumah dan kali ini berhadapan langsung dengan ayah dan ibuku.
Rasa takut dan gelisah sudah tentu menggandrungi sekujut tubuhku detik ini. Hening, tanpa kata dan tanpa berani siapa yang lebih dulu memulai untuk bicara ketika Choco yang kini berdiri di depanku.
"Rose, ini. Aku membelinya semalam, semoga kamu suka, ya!" Choco menyodorkan sebuah kotak besar yang berbalut pita berwarna merah hati.
"Apa ini?" tanyaku padanya. Sementara ayah dan ibu, sepertinya ikut menyaksikan dengan penasaran di dalam ruangan. Sedang aku dan Choco bertemu di teras rumah.
"Buka saja!" jawab Choco sambil menunjuknya.
Aku menurutinya, membuka kotak kado tersebut. Dan, sungguh. Entah harus bahagia atau bersedih, ini pertama kalinya aku mendapatkan sebuah boneka lucu dari seorang pria.
"Ini, lucu sekali..." ujarku berseru ketika melihat sebuah boneka Teddy Bear berwarna merah muda.
"Syukurlah, kau menyukainya."
Aku tersenyum menatapnya. Dia hendak memelukku, namun dengan segera aku memelototinya. Beruntung dia mengerti isyaratku sebelum ayah dan ibuku keluar dan menghardiknya karena telah memeluk anak simata wayang mereka.
"Saat kau merindukanku, kau peluk dan cium boneka ini," bisik Choco padaku.
Blush...
Seketika wajahku merasa panas dingin dan tersipu malu. Akh, dia memang terkesan nakal tapi menggemaskan. Aku sampai merinding dibuatnya mendengar bisikannya itu.
"Ya sudah, aku pulang ya! Jaga dirimu baik-baik, jangan nakal, tetap setia, dan selalu ada buatku. Kau mengerti?" bisiknya lagi.
Aku mengangguk ragu. Mendengarnya akan segera kembali ke kota, itu artinya kita akan kembali menjalin hubungan jarak jauh. Sedikit menyedihkan, ah tidak! Sepertinya aku sudah akan menangis dan ingin sekali memeluknya dan berkata 'JANGAN PERGI DULU!'
Perlahan, Choco meraih tanganku untuk di genggamnya. Tanpa menungguku memberikan aba-aba, dengan berani Choco mencium tanganku dengan lembut.
Kyaaaa...!!!
Mampus! Setelah ini, ayah dan ibuku akan memasukkanku ke dalam ruang introgasi.
Choco... Kau membuatku berada dalam masalah besar!
Aku merutukinya dalam hati dan segera melepaskan tanganku dari genggamannya.
"Cho, ehm... Hati-hati di jalan, selalu kabari aku, ya!" jawabku kikuk.
Choco tersenyum lalu kemudian mengusap lembut kepalaku, lagi-lagi aku mendelik kepadanya.
"Baiklah, aku akan berpamitan dulu sama ayah dan ibumu. Dimana mereka? Bisa kau panggilkan?"
Dasar bodoh!
Apa kau tidak menyadarinya jika sejak tadi, ayah dan ibuku sudah memperhatikan kita dari ruang tamu.
Aku tersenyum tipis menimpalinya. Andai aku bisa mencegahnya untuk tidak bertemu dengan ayah dan ibuku lagi, aku tidak mau dia kecewa akan sikap ayah dan ibuku. Terutama ibu yang sejak awal terlihat dingin padanya.
"E-eh... Ayah, ibu... Choco mau..." belum sempat aku meneruskan ucapanku, ayah dan ibu keluar ruangan bersamaan dengan tatapan tajam padaku.
Aku menyengir dengan wajah polos dan lugu untuk mengambil hati mereka.
"Ehm, Tante, Om. Saya pamit, terima kasih sudah di berikan izin berkunjung ke rumah ini dan bertemu dengan permata kalian, Rose!"
Kau memang gila, Cho. Secara tidak langsung kau mengatakan kau pacarku, kau memang pemberani!
Lagi dan lagi aku hanya bisa merutukinya di dalam hati.
"Oh, ya. Hati-hati di jalan, nak Choco." Ayahku menanggapinya lebih dulu. Terkadang memang dia yang lebih dulu peka.
Aku tersenyum lega ayah berkata demikian. Paling tidak aku punya satu lampu hijau sebagai pendukungku atas hubungan ini.
"Makasih, Om. Saya permisi kalau begitu," sahut Choco kembali sambil melirik ke arah ibuku yang masih bersikap dingin.
Lantas, aku dan Choco membali berhadapan. Mata kami bertemu, seakan mengisyaratkan sebuah kesedihan karena kami akan kembali berpisah jauh.
Aku melambaikan tangan dengan ragu di depan ayah dan ibuku ketika Choco kembali menoleh ke belakang untuk melihatku sebelum dia benar-benar pergi jauh.
"Rose, masuk ke dalam!" cetus ibuku disela kesedihanku yang mendalam melepas kepergian Choco dari pandanganku.
Tentu aku harus menuruti titah ibuku, meski aku masih ingin menyaksikan kepergian Choco hingga benar-benar menghilang dari pandanganku.
"Duduk!" titahnya lagi saat kami sudah berada di ruang tamu.
"Jawab dengan jujur, apa kau berpacaran dengan anak kota itu?" tanya ibu mengintrogasiku.
Aku tersentak, aku gugup, aku gusar. Tentu ibu akan mudah menebaknya setelah melihat sikap Choco padaku tadi.
"Bu, Choco sangat baik. Dia juga selalu bersikap lembut padaku," sahutku pada ibu. Dengan jawabanku ini, tentu ibu sudah akan mengerti jika aku membenarkan pertanyaan ibu tadi.
"Kamu pikir hanya dengan dia bersikap lembut dan baik padamu, dia itu baik? Dia bahkan tidak tahu sopan santun!"
"Bu, dia selalu sopan dengan menyapa ayah dan ibu sejak pertama dia datang kemari, iya 'kan?" bantahku dengan berani.
"Rose... Kau masih lugu, kau bahkan belum pernah berpacaran sebelumnya. Jangan mudah tertipu, dia bukan pria yang baik untuk kau jadikan pacar pertamamu!"
"Bu," panggilku seraya menatap wajah ibu dengan tatapan mata berkaca-kaca.
"Kau, mulai berani menatap wajah ibu dengan tatapan seperti itu?" hardik ibu dengan nada tinggi.
"Istriku, sudahlah! Jangan keterlaluan, biarkan dulu Rose dan Choco saling mengenal, aku rasa mereka masih dalam tahap berteman dekat. Iya kan, Rose?" sahut ayah menambahkna. Aku tahu, dia hanya berusaha membelaku.
Aku terdiam. Kali ini aku tidak bisa menyangkalnya, kenyataannya aku dan Choco sudah berpacaran diam-diam dua bulan lamanya. Aku telah jatuh hati padanya tanpa bertatap muka lebih dulu dengannya.
"Tuh, kamu lihat sendiri. Anakmu ini sudah berpacaran dengan anak kota itu, aku cuma tidak ingin dia menjadikan Rose kita yang lugu ini menjadi liar nantinya."
"Maaf, ayah, ibu. Kita memang sudah berpacaran dua bulan sebelum Choco datang menemuiku kemari, dan dia sudah menunjukkan kesungguhannya dan keberaniannya saat aku meminta dia datang bertemu ayah dan ibu. Bukankah dia itu baik?"
Ayah yang tercengang mendengar jawabanku, mengusap wajahnya dengan kasar. Sedang ibu, tentu dia sangat marah. Tapi apa alasan ibu demikian?
"Oh Tuhan, Rose! Sudah ibu bilang, kau harus perkenalkan pada ibu dulu, sebelum menerima laki-laki untuk berpacaran denganmu. Ibu ini sudah lebih dulu lahir dan merasakan pahit manisnya bercinta, ibu bahkan bisa melihat dan menebak apakah laki-laki itu baik atau tidak hanya dengan melihat bahasa tubuhnya." ibu benar-benar memarahiku kali ini.
Aku beranjak berdiri, lalu dengan berani melangkah menuju kamar dengan membiarkan ibu mengomel di ruangan itu.
"Rose, ibu belum selesai bicara! Oh ya ampun, suamiku! Kau lihat anak itu, dia bahkan sudah berani meninggalkanku sebelum selesai bicara padanya. Ini pasti karena pengaruh anak kota itu," ujar ibuku kian terus mengomel dengan nada tinggi.