Unduh Aplikasi
92.59% JANGAN PANGGIL AKU KUCING / Chapter 25: PART 24 - SEBUAH TITIK MASA LALU

Bab 25: PART 24 - SEBUAH TITIK MASA LALU

Dua insan yang dulu sempat terhalang oleh jarak, waktu dan juga harapan. Kini seolah bertemu kembali di sebuah persimpangan. Persimpangan yang masih menyimpan sebuah misteri. Antara cinta dan dendam dari masa lalu. Mereka hanya bisa saling bertatapan satu sama lain. Ada yang menatap dengan sangat tajam. Seakan penuh dengan kebencian dan amarah. Namun, ada pula yang menatap dengan keraguan dan ketakutan.

Jika malam selalu membawa kesepian, maka masa lalu terkadang membawa kepahitan. Mereka terkadang kembali di waktu yang tidak tepat. Kini, ia berada dihadapannya. Menatap pria yang dulu pergi menjauh karena soal cinta. Kini, ia menatap pria itu seakan ia adalah pelaku dari kejahatan di masa lalu.

Mampukah…mampukah ia bertahan atau justru kembali melangkah mundur.

"Silakan jelaskan profil diri anda dengan singkat" Vano sebisa mungkin bersikap profesional. Ia tidak ingin persoalan asmaranya membuat dirinya tidak bersikap objektif.

Dimas pun bisa sedikit bernafas lega. Ternyata Vano bukan menanyakan soal permasalahan di masa lalu, melainkan tentang dirinya. Dimas pun menarik nafas sejenak dan mulai memperkenalkan dirinya dihadapan orang dari masa lalunya.

Sesi interview kali ini berjalan cukup lama, bahkan lebih lama dari biasanya. Umumnya Vano hanya menghabiskan waktu 5-10 menit untuk menginterview para pelamar kerja. Tapi nampaknya kali ini ia memperlakukan Dimas dengan cara berbeda. Ia seolah mengambil kesempatan yang mungkin saja tidak akan datang untuk kedua kalinya.

Bahkan acap kali pertanyaan yang diajukan oleh Vano tidak ada kolerasinya dengan pekerjaan yang ingin dilamar oleh dirinya. Namun meski begitu, Dimas tetap menjawab pertanyaan tersebut dengan sopan.

Ia tahu bahwa Vano seolah menggiringnya kesebuah jebakan masa lalu, namun ia bersikap sekeras mungkin untuk tidak terjebak dengan itu semua. Dengan pertanyaan – pertanyaan yang bisa saja menusuk dirinya sendiri.

Setelah sesi wawancara selesai Dimas bergegas keluar ruangan, namun baru beberapa langkah Vano menahannya.

"Bisa kita bicara sebentar diluar" Ia memohon dengan suara sangat lembut. Bahkan lebih lembut dari sebuah salju yang turun musim dingin.

Meski bibirnya ingin berkata tidak akan ajakan tersebut, tapi entah mengapa hatinya seolah berkata yang berlawanan.

….

Mereka berbicara empat mata di kantin belakang tempat Vano biasa makan siang. Dimas pun terlihat canggung bahkan sesekali ia melihat ke layar ponselnya.

"Ada apa?" Tanya Vano sembari menatapnya.

"Tidak ada apa – apa Van"

"Ayo dimakan"

Sebuah makan siang ala masakan jawa menemani mereka siang itu. Meski kini mereka telah bertemu kembali namun keduanya seolah tidak seperti dulu kala. Vano yang masih berharap bisa menyentuh kembali ke dalam kehidupan Dimas seolah terus berusaha mendobrak dembok yang ada di hatinya tersebut. Meskipun ia tahu, bahwa hal tersebut tidak akan mudah, atau bahkan bisa dibilang mustahil. Tapi biarlah.

Setelah selesai makan Dimas bergegas pergi, namun lagi dan lagi Vano seolah tak membiarkannya begitu saja. Ia memegang tangan pria yang ia cintai tersebut. Matanya begitu bersinar. Ia seolah menampakan sebuah harapan yang begitu dalam. Harapan tentang cintanya. Harapan bahwa ia bisa hidup bahagia dengan diriya. Tapi akankah Dinding besar yang menghalangi cinta mereka bisa dihancurkan. Atau justru Dimas tetap mengelak dan tidak akan pernah bisa menerima kenyataan bahwa ada seseorang yang mencintai dirinya dengan sepenuh hati.

Dimas melepaskan tangan Vano dengan perlahan – lahan. "Maaf Van aku masih ada urusan lain". Bibirnya mungkin berucap demikian, namun Vano bukanlah orang bodoh yang bisa dibohongi begitu saja..

Setelah Dimas pergi meninggalkan dirinya Vano membuntutinya. Dari dalam mobil ia melihat Dimas berjalan seolah tanpa tunjuan. Ia seperti orang yang kebingungan. Layaknya seorang anak kecil yang terjebak disebuah hutan belantara.

Suara klakson mobil yang begitu kencang menggagetkan dirinya yang sedang berjalan. Ia pun naik pintam dan hampir saja memukul kaca mobil tersebut. Namun tangannya terhenti saat kaca mobil tersebut terbuka. "Vano…" Ia memalingkan wajahnya.

"Ayo masuk biar aku antar"

"Tidak usah, aku bisa pulang sendiri"

"Ok, kalau begitu aku akan terus mengikuti mu"

Melihat tidak adanya sebuah kesempatan Dimas pun pada akhirnya menuruti keinginan Vano. Ia lalu masuk kedalam mobil dengan wajah yang begitu gelisah.

Di sepanjang perjalan keduanya nampak tidak berbicara satu sama lain. Bahkan Dimas terus saja mengalihkan wajahnya. Vano yang melihat hal tersebut pun nampaknya mulai kesal.

"Dim" Ucapanya tidak dihiraukan oleh dirinya. Dengan nada yang lebih tinggi ia kembali mengulangi ucapannya "Dimas!!!"

"Ada apa Van" Dimas segera mengalihkan wajahnya ke arah Vano.

"Kau dari tadi hanya terdiam saja. Apa ada hal yang sedang kau pikirkan?" Pertanyaan Vano seolah ingin membuka pembicaraan tentang masa lalu. Tentang perasaannya yang belum tersampaikan dengan tuntas. Tentang cintanya yang sampai saat ini masih di ombang – ambing dengan ketidakjelasan.

"Van…" Dimas menghentikan bicaranya. Ia menatap Vano dengan sangat tajam, tapi bukan dengan penuh kemarahan melainkan sebuah harapan.

"Bisakah kita tidak membahas masa lalu?"

Vano mengalihkan wajahnya. Ia mencoba menahan air matanya. Tapi bagaimana mungkin. Bagaimana mungkin air mata yang hampir jatuh itu bisa ditahan jika kau dan dirinya saja masih terbelenggu. Terbelenggu oleh perasaan yang begitu menyiksa. Cinta yang tak terbalaskan memang menyakitkan. Ia tidak hanya menusuk jiwa dan perasaan, tapi juga sendi – sendi kehidupan.

Rasanya Vano ingin sekali menyerah dan berkata bahwa dunia ini benar – benar tidak adil, tapi apa daya dan kuasa ia seolah tidak bisa berkata begitu.

"Kenapa, kau seolah ingin aku mengubur perasaan ini?". Air matanya pun tumpah. Tangisan itu pun seolah menghiasi pertemuan pertama mereka setelah sekian lama. Cinta yang dulu ada memang nampaknya tidak akan pernah hilang begitu saja.

Menghapuskan sebuah kenangan dari masa lalu bagaikan menusuk diri sendiri dengan sebuah pisau. Perih dan menyakitkan.

Dimas mengambil sebuah tisu dan mengusap air mata Vano. "Kau tak perlu menangis Van, air mata pun terlalu berharga untuk menangisi diri ku yang hina ini"

Ucapan Dimas semakin membuat derai air matanya mengalir deras. Layaknya sebuah rintik hujan yang turun dari langit. Melihat hal itu Dimas semakin tidak tega. Ia memeluk Vano dengan erat dan hangat.

Pelukannya bagaikan sebuah kehangatan yang menyelimuti bayi di musim dingin. Cinta yang dulu pernah ada kini seolah membuka tabir yang baru. Membuka sebuah perjalan yang dulu penuh misteri dan teki – teki dan juga tanda tanya. Bisakah ia dan dirinya kembali bersama. Bersama seperti sediakala. Seperti halnya kisah di masa lalu atau rasa ini memang benar – benar telah musnah ditelan kejamnya kehidupan.

….

Tak perlu mencintai begitu dalam

Kita hanya perlu mengerti batasan dan kelogisan

Jika cinta memang tidak bisa disatukan

Maka untuk apa berharap pada sebuah keajaiban

….

Bersambung


next chapter
Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Rank -- Peringkat Power
    Stone -- Power stone

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C25
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank NO.-- Peringkat Power
    Stone -- Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk