Lala merenggangkan otot-ototnya, terlalu banyak duduk membuat tubuh gadis itu merasakan pegal dibagian punggung dan leher. Beberapa kali ia melakukan senam kepala agar sendi-sendinya kembali normal.
Sudah jam 9 malam, waktunya untuk pulang. Lala dan Sasya memberi ucapan terimakasih pada Dara atas bimbingannya, sedangkan Dara meminta maaf karena karyawan baru sepeti mereka harus ikut lembur karena kondisi perusahaan yang sedang tidak stabil. Sebelum pulang, kedua gadis itu diminta untuk membawa foto berukuran 3x4 untuk dibuatkan id card sebagai tanda ia bekerja di perusahaan itu serta absen masuk. Kemudian, mereka pulang.
Di depan halte, Sasya sudah mendapatkan angkutan umum yang menuju ke rumahnya, sementara Lala masih menunggu. Setelah betemu dengan orang-orang sekitar, gadis menerima infomasi bahwa Bus yang menuju tempat tinggalnya terakhir beropeasi jam 6 sore. Lala pun panik, bagaimana ia bisa pulang tanpa Bus itu?
"Neng bisa sih naik kereta, tapi jauh. Harus naik taksi," kata orang yang memberitahunya.
"Oh, iya Pak. Makasih ya,' ucap Lala.
"Iya Neng, sama-sama. Kalo gitu saya duluan ya."
Lala memainkan jarinya. Ia membawa uang pas untu pulang pergi, jadi ia tidak memiliki uang lebih untuk naik kereta. Terlebih, rumah kossan Rendi sangat jauh dari stasiun. Gimana ini?
Jam yang melingkar di tangan Lala sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Langit pun semakin pekat, semakin malam semakin sedikit kendaraan yang lewat. Sebagai orang awam, Lala merasa tidak nyaman. Tidak tahu kenapa seperti ada yang mengawasinya dari jauh. Ia takut ada orang jahat yang menjadikannya sasaran.
Ditengah-tengah kepanikannya, sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak pada Lala, sebuah mobil dengan plat B tiba-tiba memelankan laju kendaraannya dan berhenti tepat di depan Lala. Cepat-cepat gadis itu segera membuka bagian pintu belakang kendaraan tersebut dan masuk ke dalamnya. Di sana terdapat seorang pria yang sedang menelpon. Pria itu terkejut mengetahui ada seseorang di kursi belakang.
"Heh, ngapain kamu di sini?" tanya pria itu.
"Pak, Pak, Pak, maaf. Saya bukannya lancang, tapi bisa gak saya nebeng sampai sudirman?" kata Lala memohon pada laki-laki itu. "Tolong dong Pak, transportasi umum udah gak ada dan saya gak tahu lagi gimana harus pulang."
"Heh, kamu kira saya ojek online berbasis mobil apa? Lagian saya gak mau ke daerah sudirman. Kamu naik taksi aja sana!" bentak pria itu. Lala sedikit tersentak mengetahui si pemilik mobil yang ia tumpangi segaak itu. Namun, agar bisa pulang, ia harus membuat pria tersebut mengiyakan permintaannya.
"Pak, kalo saya punya uang juga saya gak akan ngelewatin taksi kosong yang lewat di depan saya! Lagian pelit banget sih gak mau nolongin orang. Emang Bapak gak mau dapet pahala?"
"Kok kamu jadi cerewet?"
"Habis Bapak gak mau bantuin saya."
Pria itu menghela nafas panjang. "Bukannya saya gak mau bantu kamu, tapi saya gak mau ke daerah sudirman.
"Kenapa gak mau? Lagian ke Sudirman doang yaelah. Jangan bilang kalau bensin mobil Bapak ini gak cukup buat ke Sudirman, makanya Bapak gak mau anterin saya? Takut mogok dijalan ya?"
"Enak aja. Kendaraan saya ini hemat bahan bakar."
"Yaudah kalo gitu anterin saya."
"Oke."
Pria itu pun melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Tujuannya adalah daerah Sudirman. Tempat di mana Kossan Lala berada. Gadis yang duduk di kursi belakang itu bersyukur karena bisa pulang dengan selamat, terlebih bukan dirinya saja yang selamat melainkan uang yang seharusnya ia gunakan untuk naik tranportasi umum menjadi utuh.
Di tengah perjalanan, si pria tersadar. Kenapa ia melaju menuju ke daerah sudirman? Bukankan ia ingin ke daerah yang berlawanan dengan arah ini? perlahan-lahan pria itu memelankan laju kendaraannya dan berhenti di pinggir jalan.
"Eh kok berhenti?" heran Lala merasa kendaraan yang ia tumpangi memelan.
Gadis itu memajukan kepalanya untuk bicara dengan pria pemilik mobil. "Kenapa? Mobilnya mogok ya? Huh, ternyata bener apa yang saya duga."
"Turun," singkat pria itu.
"Apa?" tanya Lala tidak mengerti.
"Saya bilang turun!"
"Kenapa turun? Ini belum sampai di Sudirman."
Pria itu menghela napas dan menoleh ke belakang. Dengan tatapan tajam ia berkata, "heh, penipu. Kamu sengaja kan bicara panjang lebar supaya saya menuruti apa yang kamu bilamg?
"Apa maksudnya penipu? Saya cuma minta tolong diantar ke daerah sudirman. Lancang banget nuduh gue penipu!" emosi lala sudah diujung tanduk. Ia sudah tidak bisa berbicara sopan lagi, keluarlah bahasa 'Lo-Gue'-nya.
"Lo yang lancang. Masuk ke dalam mobil orang seenaknya," balas pria itu tak mau kalah.
"Apa lo bilang?" Lala melebarkan matanya. Gadis itu menggertak giginya pertanda gadis itu sedang marah.
"Lo gak denger? Gak punya kuping emang?"
"Heh! Kalo Bus yang gue naiki buat pulang ada juga gue gak akan naik ke mobil butut lo ini!"
"Eh, enak aja ngatain mobil butut. Udah tahu butut kenapa lo gak naik taki aja."
"Mahaaal! Gue gak punya duit."
"Ya itu bukan urusan gueee!" kesal pia itu memukul-mukul setirnya. "Lagian kenapa gue mau aja sih nganterin lo? Kenal aja enggak, saudara bukan. Lo tuh cuma orang asing yang asal masuk ke mobil gue dan memohon-mohon buat anterin lo pulang. Gue punya hak buat nolak permohonan lo."
Detik kemudian, Lala menngulurkan tangannya pada pria itu. Pria itu memandang tangannya dengan tatapan aneh.
"Gue Lala," kata Lala memperkenalkan dirinya. "Siapa nama lo?"
"Adnan," balas pria itu menjabat tangan Lala.
"Oh. Pak Adnan, tolong anterin saya pulang ke daerah Sudirman ya." Adnan tidak merespon apa-apa. "Kenapa diam? Kita kan udah saling kenal. Jadi, bisa dong Pak Adnan yang ganteng ini anterin saya?"
Bukan masalah kenal atau tidak kenal, tapi Adnan merasa ia sedang disuruh oleh gadis yang duduk di bangku belakang mobilnya ini. Semenjak ia menjabar sebagai pimpinan, tidak ada satu orang pun yang berani menyuruhnya. Tapi, gadis asing ini dengan sesuka hari menyuruhnya diawal pertemuan mereka.
"KTP," kata Adnan mengulurkan tangannya ke belakang. Lala terkejut dibuatnya. "Sebagai orang yang gue antar pulang. Gue harus tahan KTP lo sebagai jaminan. Gue hitung ini sebagai hutang. Karena gue udah bantu lo pulang, lo juga harus bantu gue suatu saat nanti. Sebagai jaminan lo gak kabur, gue tahan KTP lo," lanjut laki-laki itu memperjelas.
"Lo ikhlas gak sih nolongin gue?" protes Lala.
"Kalo gak mau lo bisa turun di sini."
Tidak ada pilihan lain, Lala pun memberikan KTP-nya pada Adnan.
Setelah memberikan kartu tanda penduduknya, Adnan belum juga menjalankan kendaraannya. Lala mengerutkan alisnya dan bertanya, "kenapa gak jalan?"
"Lo pikir gue supir lo?" kata Adnan.
Lala pun segera turun dan berpindah ke kursi depan. Gadis itu berusaha memposisikan duduknya senyaman mungkin. Tiba-tiba tubuh Adnan mendekat, Lala segera menutup matanya dan memeluk dirinya sendiri takut pria itu berbuat yang macam-macam padanya,.
"Pakai savebeltnya," kata Adnan memakaikan sabuk pengaman pada Lala.
.
*****