Bulan berangkat dari studio menuju kampus bersama orangtuanya. Mereka berpisah setelah memasuki gerbang depan menuju ketempat prosesi kemudian mengikuti arahan posisi kursi masing-masing. Kursi Bulan bersebelahan dengan Darius, sedangkan kursi Malven berjarak 3 baris ke belakang. Saat ia tiba sudah banyak teman-teman satu angkatan wisudanya yang telah hadir. Semua tersenyum dan tampak lega setelah melewati klimaks masa perkuliahan..ujian skripsi.
Setelah melewati beberapa kursi untuk mencapai kursinya, secara tidak sengaja Bulan menjatuhkan kipas tangan yang ia bawa. Merasa kesulitan membungkuk untuk meraih kipasnya yang terjatuh karena Bulan menggunakan busana kebaya di dalam baju Toga wisudanya, seorang pria meraih kipasnya dan memberikannya kembali pada Bulan.
" Terima kasih.. Kebaya q terlalu kencang, hingga q kesulitan untuk membungkuk." Bulan mengucapkan tanpa melihat terlebih dahulu siapa pria tersebut.
" Kau berbeda sekali hari ini, Bulan. Atau mungkin karena kau memang cocok untuk mengenakan kebaya dan bergaya klasik.." Merasa familiar dengan suara tersebut ia pun menoleh. Dan wajah tampan itu.. Darius, kali ini tanpa didampingi oleh kameranya. Ia mengejutkan Bulan. Tatapan mata Bulan dan Darius beradu sebelum akhirnya Darius meraih tangan Bulan untuk membantunya berjalan menuju kursinya..
"Trimakasih, Darius..apa kau sudah datang dari tadi?" Bulan berusaha berbasa-basi.
"Lumayan, sekitar setengah jam yang lalu." Darius menanggapi sembari mengeluarkan ponsel nya. " Mendekatlah, Bulan.. aq tidak punya pendamping wisuda. Jadi aq berfoto dengan mu saja." Darius menarik tubuh Bulan untuk lebih mendekat pada nya. Walau agak kaku, tetapi Bulan berusaha tersenyum di kamera ponsel Darius.
" Di mana pendamping wisuda mu?" Darius bertanya tanpa menoleh ke arah Bulan.
" Pendamping? Uhm..aq tidak ada pendamping wisuda." Bulan berkata apa adanya. Namun kalimat sederhana seperti itu ternyata dapat memberikan semangat baru pada lawan bicaranya.
" Bagus..kalau begitu..hari ini kita saling mendampingi..setelah ini berfotolah bersama q untuk sesi foto pribadi. Aq tidak ingin sendiri saat wisuda q." Darius tersenyum lega saat mengatakannya..sepertinya sepagian tadi di pikirannya telah diusik oleh berbagai pertanyaan yang membuat moodnya kurang baik. Dan hanya dengan kalimat sederhana dari Bulan lah yang mampu mendamaikannya.
Namun saat ini..sepasang mata yang sedari tadi mengawasi mereka menjadi semakin sendu. Sinar matanya yang redup tidak cocok dalam acara hari itu. Pemikiran yang merasa tidak diberi kesempatan oleh gadis yang duduk hanya beberapa baris darinya.. Sama sekali tidak mendapatkan celah untuk ikut berkompetisi memenangkan hati sang pujaan. Menyalahkan diri sendiri yang kerap salah dalam menentukan langkah. Dan kini harus siap menelan kekecewaan akibat memendam cinta yang lama ia rahasiakan. Ia menyesal..akan lebih baik jika ia tidak diberi kesempatan sama sekali dalam mengungkapkan isi hatinya. Maka dia pun hanya akan menyangkalnya dikemudian hari tanpa ragu akan bekas dari rasa cinta dan pedih itu. Dan membiarkan sang waktu mengikisnya. Namun..semua sudah terlanjur. Ia telah jujur mengakui kisaran hati pada sang dewi. Dan kemudian tidak menemukan langkah yang tepat dalam mengurus semuanya. Sekali lagi ia merasa kalah. Dipecundangi oleh diri sendiri yang tidak mampu untuk mengumpulkan keberanian memaksa masuk ke dalam hati sang dewi. Betapa bodohnya ia..hanya berdiri diam tak bergerak di luar pagar. Hanya memandang..mengapa pria lain mampu mendekati dan meraih tangannya..sedangkan yang ia rasakan adalah nafas yang semakin sesak. Tak mampu menahan rasa dan gejolak hati saat melihat bahwa keberuntungan lebih memihak pada lawannya..duduk di sebelah Bulan..sedangkan ia..terhalang oleh beberapa barisan kursi. Bahkan keberadaannya pun tidak disadari Bulan. Malven..memalingkan wajahnya dari mereka.