Unduh Aplikasi
69.56% Haters and Lovers of Rain / Chapter 16: Chapter 15

Bab 16: Chapter 15

Rian duduk di bus dengan posisi berdekatan dengan jendela bus sambil memandang vila keluarganya yang terlihat semakin menjauh. Ia kini bisa bernapas lega karena akhirnya bisa meninggalkan desa itu.

"Bro, lo mau gue bantuin gak?"

Rian menoleh menatap Arga dengan bingung. "Bantu apaan?"

Arga tersenyum. "Bantuin lo buat PDKT sama Raina," katanya.

Rian mengernyit. "PDKT?"

"Iya," kata Arga sambil mengangguk semangat.

"Hah. Maksud lo apa, sih?"

"Bukannya lo suka sama Raina, ya? Gue liat kalau lo bareng Raina, lo keliatan nyaman gitu," ujar Arga.

"Suka apanya. Gue ngerasa nyaman karena tiap liat dia, gue keinget adek gue. Gue ngerasa mereka cukup mirip. Sama-sama pecinta hujan."

Arga mendesah kecewa. "Yaaah. Jadi lo cuma nganggep Raina adek doang? Padahal gue udah seneng dan berharap banget, loh. Gue pasti bakal dukung lo dan Raina sepenuh hati kalau kalian jadian."

"Udah, udah. Simpen aja halu lo itu," kata Rian, lalu sedetik kemudian terkekeh pelan melihat wajah manyun Arga. Sangat jelek!

"Oh iya, Yan. Lo mau gue nginep di rumah lo nanti, gak?" tanya Arga beberapa saat kemudian.

"Gak usah."

"Serius, nih? Takutnya lo kenapa-napa lagi," khawatir Arga.

"Iya. Gue udah baik-baik aja, kok. Lagipula, kayaknya gak bakal hujan," kata Rian sambil menatap langit yang terlihat cukup cerah.

Arga menghela napas. "Hm ... Oke, deh. Kalau ada apa-apa, langsung telepon gue, ya."

"Siap!"

⛈️🌧🌦

"Morning, bro!" sapa Arga ceria sambil merangkul Rian.

Rian hanya tersenyum dan melangkah santai menuju kelasnya bersama sahabatnya itu.

"Kemarin lo beneran baik-baik aja? Gak ada sesuatu yang buruk terjadi?" tanya Arga.

Rian menghentikan langkahnya dan menatap Arga. "Gue udah bilang berapa kali, sih. Gue baik-baik aja. Ah, serius deh. Lo gak usah sekhawatir itu. Lo tau gak, sih? Lo itu bahkan lebih bawel dan khawatiran daripada Tante gue," ujar Rian panjang lebar.

Arga menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Yah ... mau gimana lagi? Lo itu emang suka ngebuat orang khawatir, sih."

"Sorry deh kalau gitu. Gue yang salah," timpal Rian lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan Arga.

"Hey! Tungguin gue, Yan! Akh!"

Rian segera berbalik ketika mendengar ringisan kesakitan dari Arga. Dengan cepat, ia menghampiri Arga yang tengah mengernyit dan memegang kepalanya.

"Lo kenapa, Ga?" tanya Rian panik.

Arga tak merespon, ia masih memegang kepalanya dengan wajah kesakitan.

"Arga! Lo kenapa?! Ayo ke UKS dulu!" Rian menarik tangan Arga, tapi Arga segera menahan tangan sahabatnya itu.

"Enggak ... gak usah," Kata Arga susah payah.

"Tapi lo—"

"Gue gak papa, Yan. Cuma pusing dikit," potong Arga cepat.

Rain menatap Arga tak percaya. "Tapi—"

Arga menepuk bahu Rian sambil berusaha tersenyum. "Lo tadi ngomel karena gue terlalu khawatir sama lo. Tapi liat siapa yang khawatir sekarang."

"Lo masih bisa becanda sekarang?" kesal Rian.

Arga terkekeh sambil sedikit meringis. Ia lalu menegakkan badannya dan menatap Rian. "Gue cuma pusing dikit. Kayaknya gara-gara gue keseringan begadang buat main game."

Rian menghela napas. "Hah. Bisa-bisanya."

"Lo duluan aja ke kelas. Gue mau ke toilet dulu," kata Arga kemudian.

"Gak mau gue temenin?" tawar Rian.

"Gak usah. Gue bisa sendiri, kok," tolak Arga sambil tersenyum.

"Ya udah, deh. Hati-hati," putus Rian sambil menepuk bahu Arga pelan.

Arga mengangguk lalu pergi menuju toilet. Ia melangkah dengan cepat. Masuk ke toilet, Arga langsung berdiri di depan wastafel.

Tes.

"Ah, sial," gumam Arga sambil mengusap darah yang keluar dari hidungnya. Ia segera menyalakan keran air dan membasuh hidungnya dengan cepat.

⛈️🌧🌦

"Lo gak ke UKS aja, nih?" tanya Rian pada Arga yang baru saja masuk ke kelas.

"Enggak. Gue udah baik-baik aja, kok. Cuma sakit kepala ringan, udah biasa gue," santai Arga sambil duduk di bangkunya.

Rian menatap Arga dengan lekat. Wajah sahabatnya itu terlihat cukup pucat.

"Lo-"

"Eh, Bu Freya dateng!"

Rian yang baru saja ingin berbicara lagi harus menghentikan perkataannya ketika salah seorang teman sekelasnya berlari masuk ke dalam kelas sambil meneriakkan info itu.

Selang beberapa saat kemudian, Bu Freya datang.

"Pagi, anak-anak!"

"Pagi, Bu!"

"Ibu mau ngasih info, kalau kalian udah dapet guru Kimia baru. Guru itu akan mulai ngajar kalian hari ini," beritahu Bu Freya.

"Ah, sial. Kok cepet banget sih datengnya. Perasaan Guru Kimia yang sebelumnya baru pensiun beberapa minggu yang lalu, deh."

"Hah. Kita udah harus belajar pelajaran susah itu lagi? Haduh, males banget."

"Padahal beberapa minggu yang lalu udah nyaman banget gak harus dipusingin sama si Kimia itu. Eh, sekarang udah harus belajar lagi."

Kelas IPA 1 seketika gaduh dengan kekesalan para murid yang tak rela harus kembali belajar Kimia.

Bu Freya memukul-mukul meja. "Udah, udah. Jangan berisik. Kalian harus belajar yang rajin. Perlakukan guru baru kalian dengan baik. Oke?"

"Iya, Bu," jawab beberapa murid dengan setengah hati.

Bu Freya menggeleng-geleng melihat tingkah para anak muridnya itu. Ia lalu keluar dari kelas.

"Kira-kira guru barunya cewek atau cowok, ya? Udah tua apa masih muda, ya?" tanya Arga penasaran.

Rian hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli. Ia memilih untuk mengeluarkan buku dan alat tulisnya. Secara tak sengaja, pulpen milik Rian terjatuh ke lantai. Ia pun menunduk untuk mengambil pulpennya itu.

"Eh, guru barunya udah dateng, Yan!" seru Arga heboh sambil menepuk-nepuk pundak Rian yang masih menunduk.

"Halo anak-anak. Perkenalkan, Ibu guru Kimia baru kalian."

Rian yang baru saja memegang pulpennya membeku mendengar suara guru baru itu.

"Nama Ibu Annisa Farhana. Kalian bisa memanggil Ibu Bu Nisa."

Seketika, kedua mata Rian membulat. Dengan cepat, ia menegakkan tubuhnya dan menatap ke depan.

"Karena ini pertemuan pertama kita, Ibu akan mulai dengan mengabsen kalian agar Ibu bisa kenal kalian."

Rian menatap Bu Nisa yang tengah tersenyum itu dengan tatapan tajam.

Tak menyadari tatapan tajam Rian, Bu Nisa mulai membuka daftar hadir yang ia bawa.

"Ad—"

Bu Nisa yang baru saja akan menyebut nama murid urutan pertama, yang tak lain adalah Adrian Alfarizki segera terhenti. Ia menatap nama Rian dengan bola mata yang bergetar.

Brak!

Bu Nisa dan seisi kelas sontak tersentak kaget. Rian menggebrak meja sambil menatap Bu Nisa dengan ekspresi penuh amarah, lalu dengan cepat menyambar tasnya dan keluar dari kelas.

"Yan? Rian! Lo mau kemana?!" teriak Arga.

Sementara itu, Bu Nisa hanya bisa mematung di tempatnya menatap kepergian Rian.

⛈️🌧🌦

To be continued


next chapter
Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C16
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk