Faisal bangun pagi dan berolahraga hari ini seperti biasanya, tanpa ada yang aneh, dia pun memasuki ruang olahraga pribadi di rumahnya. Lagi-lagi, Rania yang datang membawakan jus dan buah, gadis itu berdiri di dekat pintu sambil tersenyum melihat Faisal yang melirik ke arahnya.
"Bawa ke sini!" titah Faisal yang duduk di kursi gym-nya.
Rania mengangguk lalu segera menghampiri Faisal dengan nampan berisi buah dan jus di atasnya. Keringat Faisal mengucur begitu deras, membuat Rania yang merasa kasihan mengelap keringat suaminya dengan handuk kecil yang tersedia di nampan itu juga.
Sempat terdiam menerima perlakuan Rania, tapi Faisal sama sekali tidak menolak. Dia hanya mengambil handuk itu dari tangan Rania dan mengelap keringatnya sendiri.
"Pak Faisal memang hobi olahraga, ya?"
"Hidup sehat itu perlu olahraga, 'kan?"
Rania tersenyum. Dia duduk di sebelah Faisal sambil masih terus memegangi nampan, sementara lelaki itu beralih pada potongan buah yang cepat di lahapnya. Rania tidak bisa meninggalkan nampan itu, karena tidak ada meja di dekatnya.
Tak ada perbincangan, membuat Faisal merasa sedikit jenuh. Hingga dia membuka obrolan setelah melihat luka di jari tangan Rania. Katanya itu akibat dia tidak sengaja menyentuh pecahan gelas tadi malam.
"Pecahan gelas?"
"Iya, nenek tidak sengaja memecahkan gelas. Tapi aku janji akan menggantinya, begitu gajiku turun, akan langsung kubelikan gelas baru untuk rumah ini," jelas Rania cepat.
"Sepertinya kamu sayang sekali, ya pada nenekmu itu?"
Rania tersenyum. Tentu saja, biar bagaimanapun juga, nenek adalah satu-satunya keluarga yang Rania punya sekarang. Bahkan sejak kecil, dia sudah di urus oleh sang nenek, jadi wajar saja kalau dia begitu menyayangi Dasimah.
Sejak kepulangan neneknya dari rumah sakit, Rania tidak pernah terlihat murung lagi. Dia selalu bahagia dan menampakkan senyum lebar di setiap kegiatannya. Kesehatan sang nenek adalah kebahagiaan untuknya.
"Sama seperti Pak Faisal menyayangi bu Sarah, ya seperti itu juga aku menyayangi nenek," tambah Rania lagi.
Faisal hanya mengangguk. Ada secuil kisah hidup yang bisa dia ketahui tentang Rania, dan itu membuatnya cukup terkesan. Neneknya yang sudah tua, masih sanggup merawat cucu perempuannya seorang diri. Hebat!
Kembali ke pekerjaan utama, Faisal dan Rania masuk kantor sekitar jam delapan pagi. Keduanya berpisah setelah menaiki lift, mereka bekerja di bidang yang berbeda. Hingga jam makan siang datang, Rania kembali datang ke ruangan Faisal untuk membawakan makan siang.
"Mbak Alma menitipkan ini di resepsionis tadi, dia juga memintaku untuk memastikan Bapak makan," kata Rania.
"Saya sibuk, kamu bisa tolong suapi saya lagi?"
Ya, kali ini Faisal yang memintanya langsung pada Rania. Dengan senang hati gadis itu mengangguk dan melakukannya dengan baik. Maaf kalau dia tidak becus menyuapi, tapi sebutir nasi yang ada di sudut bibir Faisal segera di bersihkan.
Gerakan tangannya langsung berhenti, dia menoleh pelan pada Rania yang berdiri di sebelah kirinya. Rania tersenyum, tapi entah kenapa jantung Faisal berdegup kencang. Dia berdehem untuk mengalihkan perhatian, pikirannya terus meraba pada sosok Rania yang ... entah kenapa membuatnya sedikit salah tingkah.
"Rania!" panggil Faisal.
"Ya?" Gadis itu berbalik badan, padahal dia baru saja hendak pergi untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.
Faisal mengernyit bingung saat melihat noda merah di celana oranye yang Rania kenakan. Itu adalah seragam khusus pertugas kebersihan, tapi Faisal yakin tidak ada motif seperti itu di bagian belakangnya.
"Bokongmu berdarah?"
"Hah?!" Rania langsung mengecek bagian belakangnya dan menyadari kalau dirinya datang bulan.
Panik, Rania pun buru-buru pergi meninggalkan ruangan Faisal. Tanpa tahu apa yang terjadi, lelaki itu pun mengikuti Rania. Dia tahu itu darah, tapi dia tidak sadar itu darah haid. Faisal hanya khawatir kalau sampai Rania kenapa-kenapa.
"Hei, tunggu! Kamu mau kemana?!" seru Faisal terus mengikuti Rania sampai ke toilet.
Malu, malu dan malu, itulah yang Rania rasakan. Sering kali dia datang bulan di tempat umum, tapi sama sekali tidak pernah semalu ini sampai pada akhirnya ketahuan suami sendiri. Rania bersembunyi di dalam salah satu bilik toilet.
Faisal tidak tahu bilik mana yang di jadikan tempat sembunyi, hingga dia membuka satu per satu bilik itu dan menemukan satu wanita di dalamnya.
"Ah! Pak Faisal cabul!" teriaknya kencang sambil memukuli Faisal.
Ternyata bukan Rania, itu karyawannya sendiri. Buru-buru Faisal menutup pintu bilik dan beralih ke bilik berikutnya. Bilik itu terkunci, dia melihat kaki Rania ada di dalam sana melalui celah bawah pintu.
"Rania, apa kamu baik-baik saja?!"
"Ish!" decih karyawati itu saat keluar toilet seraya memberikan tatapan kesal pada Faisal.
Apa, sih?! Cuma salah bilik saja, kenapa dia harus semarah itu?
"Bapak kenapa mengikutiku? Aku malu!" seru Rania dari dalam.
"Kenapa malu? Kamu kenapa?"
Di ceritakanlah oleh Rania kalau saat itu dia sedang datang bulan. Sedikit lega mendengarnya, Tapi Rania mengaku tidak bisa keluar selama dia masih memiliki noda itu di celananya. Faisal ingin membantu, tapi tak tahu harus dengan cara apa. Sampai Rania pada akhirnya meminta Faisal membelikan pembalut di toko.
What?! Pembalut? Bagaimana jadinya kalau orang lain melihat Faisal membeli pembalut wanita? Seumur hidup, dia pun tidak pernah membelikan pembalut untuk Alma, tapi sekarang dia harus membeli pembalut untuk Rania.
"Baiklah, tunggu sebentar!" putus Faisal pada akhirnya.
Dia tak percaya dirinya akan melakukan ini, tapi apa boleh buat? Dia berjalan menyeberangi jalan menuju toko di depan kantornya. Tak jauh, tapi dia benar-benar harus menanggung malu karena dilihat banyak orang.
"Kenapa aku mau melakukan ini?" pikirnya dalam hati.
Bahkan orang-orang kantor pun bingung melihat Faisal bersalah membawa pembalut tanpa di bungkus plastik. Dia terlalu buru-buru, sampai lupa meminta plastik dan meninggalkan kembaliannya di toko.
Rania keluar toilet setelah memakai pembalutnya. Dia tertunduk malu, pipinya merah tua akibat di tatap kesal oleh Faisal.
"Terima kasih, maaf merepotkan," cicit Rania masih tertunduk malu.
"Huft ... hanya karena kamu saya rela menanggung malu untuk membeli pembalut."
Rania hanya cengengesan sambil menggaruk belakang tengkuknya yang tak gatal. Faisal berdecak sebal, dia meninggalkan Rania dengan cepat kembali menuju ruang kerjanya. Belum sempat keluar toilet, terdengar suara rintihan dari gadis itu lagi.
"Kenapa lagi?"
"Perutku keram," ringis Rania sambil memegangi perutnya.
Itu sudah biasa, Alma juga sering mengeluh sakit perut saat haid hari pertamanya. Faisal bingung, tapi dia ingat kalau Alma selalu minta di buatkan air jahe setiap kali haid. Sekarang dia yang menggaruk tengkuk dengan rasa ragu.
"Mau ... saya buatkan air jahe?"
Rania mengernyit. "Tidak perlu, aku bisa buat sendiri."
Faisal mengangguk lalu lekas pergi.