Dasimah, wanita tua berusia 67 tahun itu adalah nenek Rania yang sekarang masih terbaring di tempat tidur. Dia menunggu penjelasan cucunya tentang bagaimana cincin cantik itu bisa melingkar di jari manisnya.
Ini membingungkan untuknya, dia tak mau jujur pada neneknya tentang bagaimana pernikahan ini bisa terjadi, tapi dia juga tidak bisa bohong. Pada akhirnya Rania mengakui pernikahannya, tanpa menceritakan penyebab dia menikah.
Nenek tersenyum hangat. "Ah, cucu Nenek sudah dewasa sekarang. Sudah bisa memilih lelaki, bahkan sudah menikah. Lantas di mana suamimu?"
"Ada, Nek. Suamiku bekerja di salah satu perusahaan, nanti kukenalkan padanya, ya?"
Sang nenek hanya tersenyum, terlihat begitu bahagia tanpa tahu tekanan yang Rania alami selama dia menikah dengan Faisal. Melihat senyum itupun membuat Rania bertekad untuk tetap menyembunyikan penyebab pernikahannya ini.
Kembali ke rumah, dia selalu di sambut dengan senyuman manis dari para penjaga rumah Faisal. Neneknya masih harus di rawat di rumah sakit, karena tentunya masih dalam masa pemulihan. Mungkin beberapa hari lagi baru boleh keluar, itu pun kalau keadaannya sudah benar-benar membaik.
Baru saja hendak menaiki tangga menuju pintu utama, tiba-tiba ada mobil yang berhenti di depan rumah dengan klakson. Rania berbalik badan, itu adalah ibu mertuanya. Kelihatannya dia baru saja pulang belanja dengan banyak paper bag di bagasi mobil.
"Biar kubantu, Bu," kata Rania menawarkan bantuan.
"Oh, ya. Sekalian bawa ke kamar Ibu, ya?"
Rania mengangguk dengan senyuman hangat seperti biasa. Bimo, lelaki itu membukakan pintu sebelum Sarah masuk ke rumah. Pelayanan di rumah ini tidak perlu di ragukan, bahkan mereka tidak pernah kekurangan pelayan.
Sarah itu tipe ibu yang ceplas-ceplos. Kalau suka dia bilang suka, kalau tidak suka, dia bilang tidak suka. Rania merasa dia ibu yang baik, hanya di kejar umur saja untuk punya cucu. Sarah memanggil Rania saat hendak berjalan keluar kamar.
"Ada apa, Bu?"
"Duduk dulu, ada yang mau Ibu berikan padamu."
Rania duduk di lantai bawah dengan posisi kaki bersimpuh. Sarah terkejut dan memintanya untuk duduk di pingir tempat tidur. Untuk pertama kalinya, Rania masuk ke kamar megah ibu mertuanya, dia merasa tidak pantas duduk di tempat tidur dengan pakaiannya yang sederhana.
"Ini untukmu," kata Sarah sambil menyodorkan sebuah kotak kayu kecil pada Rania.
Tanpa bertanya, Rania langsung membukanya. Matanya seolah menatap tak percaya, melihat banyaknya perhiasan yang Sarah berikan padanya. Itu seperti sebuah paket perhiasan, terdiri atas kalung, gelang, anting dan juga cincin.
"Bu, ini terlalu berlebihan. Aku tidak pantas menerima ini," kata Rania kembali memberikan kotak itu pada Sarah.
"Ibu memberikan ini untukmu, itu artinya kamu pantas menerimanya. Sudahlah ambil saja, Ibu sudah lama menyimpan itu, tapi tidak tahu harus di berikan pada siapa. Seharusnya itu untuk Alma, tapi ... sudahlah, kamu lebih butuh ini," sahut Sarah yang kekeuh memeberikan perhiasan itu pada Rania.
Meski sudah berusaha menolak, tapi dia malah mendapat tatapan kesal dari Sarah yang membuat wanita itu pada akhirnya menerima pemberian Sarah. Rania benar-benar yakin kalau dirinya melihat Alma di depan pintu kamar ini, tapi setelah dilihat tidak ada siapa-siapa.
Malam harinya, keluarga besar Malik kembali berkumpul di meja makan untuk makan malam. Faisal mengatakan, dua hari lagi dia akan menghadiri sebuah pertemuan bersama beberapa rekan kerjanya yang lain.
"Bagus, kalau begitu pergilah dengan Rania. Ajak dia sekali-kali menemui rekan kerjamu," kata Sarah langsung nyeletuk.
Biasanya Alma yang selalu ikut acara pertemuan bersama suaminya, mendengar usul Sarah benar-benar membuat Faisal melotot. Tak hanya Faisal, bahkan Alma dan Rania juga melakukan hal yang sama.
"Ti—tidak, Bu. Jangan aku, lebih baik Nyonya Alma saja," kata Rania menolak cepat. "Eh, maksudku Mbak Alma, " ralatnya saat mendapat tatapan dari wanita yang duduk di hadapannya.
Dengan status Rania yang masih menjadi istri rahasia Faisal, dia tidak mau mempertunjukkan istrinya itu pada rekan kerja. Beberapa dari mereka juga diisi oleh staf karyawan kantornya. Dan jika Faisal mengajak Rania, otomatis mereka juga akan tahu status pernikahan rahasianya itu.
"Memangnya kenapa? Biarkan saja mereka tahu, toh kamu dan Rania juga sudah menikah secara sah, halal pula!"
"Aku yang pergi ke sana, biar aku yang memutuskan," tegas Faisal tak ingin mendengar bantahan.
Sarah pun terdiam tanpa ada balasan lagi, tapi wajahnya benar-benar menunjukkan ekspresi tak senang dengan senyum yang ... ah, terlihat seperti tidak terima dengan keputusan Faisal. Rania benar-benar tidak enak, karena sudah membuat ibu dan anak itu kembali cekcok.
Sementara Alma hanya menyembunyikan luka di balik senyum manisnya saja. Dia juga setuju dengan permintaan ibu mertuanya, lagi pula Rania bukan barang yang harus di sembunyikan. Cepat atau lambat, orang-orang pun akan tahu siapa dia.
"Tolong, Sayang. Jangan paksa aku lagi kali ini, aku benar-benar belum siap untuk memperkenalkan Rania pada semua orang," balas Faisal dengan memelas.
Wajahnya itu selalu membuat Alma gemas, apa lagi saat Faisal memohon sambil memeluk pinggang kecil Alma. Dia duduk di pinggir tempat tidur, sementara Alma berdiri. Dagunya menempel di perut Alma, persis seperti anak kecil.
Bagaimana bisa Alma mengikhlaskan suaminya yang se-menggemaskan ini punya anak dari wanita lain? Alma selalu meragukan keputusannya sendiri, bahkan terkadang mulai menyesal. Tapi dia selalu menepis pemikiran itu setelah mengingat seorang anak yang selalu mereka nantikan.
"Baiklah, aku akan ikut denganmu. Tapi sebagai gantinya, berikan paket spa untuk Rania, ya? Biar ibu dan Rania pergi perawatan spa bersama, agar mereka bisa semakin dekat," usul Alma pula.
"Kenapa kamu selalu ingin Rania dekat dengan kita? Tidak hanya aku, bahkan ibu juga."
"Dia menantu di rumah ini, Sayang. Bukankah seharusnya memang seperti itu?"
Merengek manja, Faisal pun akhirnya menurut. Dia tidak pernah bisa menolak keinginan Alma, sekalipun itu bertentangan dengan keinginannya sendiri. Untuk membuang stres, Faisal biasanya berolahraga seperti biasanya.
Kali ini dia tidak pergi keluar, cukup berolahraga di ruang olahraga yang ada di rumahnya saja. Alma tidak ikut, dia sibuk di dapur menyiapkan jus dan juga camilan buah untuk Faisal. Rania turun ke dapur, melihat Alma dari kejauhan pun menarik perhatiannya.
"Untuk siapa, Nyonya? Ah, maksudku, Mbak."
"Untuk mas Faisal. Dia sedang berolahraga di ruang olahraga," jawab Alma tersenyum manis.
"Pak Faisal memang suka minum jus dan buah, ya?"
Sebagai orang pecinta olahraga, tentunya Faisal tahu apa yang terbaik untuk tubuhnya. Demi menjaga kesehatan, Faisal suka olahraga dan juga mengkonsumsi makanan yang sehat. Tak jarang dia juga mengemil buah wortel mentah.
Jus kali ini terbuat dari brokoli, sementara buahnya ada beberapa potongan apel, jeruk dan juga pisang. Semuanya sudah tertata di nampan, Rania hanya perlu mengantarkan itu untuk Faisal.
"A—aku?"
"Ya, kamu tolong antarkan, ya? Aku masih harus membereskan dapur yang berantakan."
Mau tak mau, Rania harus mengantarkan makanan itu untuk Faisal, meski sebenarnya dia sedikit takut kalau harus berhadapan dengan lelaki itu. Entahlah, di mata Rania, Faisal itu tampak seperti monster es.