Unduh Aplikasi
56.25% GEN / Chapter 9: Bab 9. IKATAN (SEVANA)

Bab 9: Bab 9. IKATAN (SEVANA)

Sudah satu minggu aku cuti dari tempat kerjaku dan pulang ke Boyolali rumah orang tuaku. Hiruk pikuk di sana-sini dalam persiapan pernikahanku dengan Ken. Akhir yang kutunggu-tunggu dan kuharapkan setelah selama 8 tahun bertahan dengan sabar menunggunya. Meskipun beberapa tahun terakhir inilah yang paling menguras air mata, namun dengan ketegaran aku bisa melalui badai demi badai dan hari ini benar-benar terjadi. Ken juga sudah seminggu di rumah orang tuaku. Baru kali ini aku bisa bersama Ken dalam satu atap dalam waktu yang cukup lama. Meskipun dia di sini memang untuk menikah denganku, tapi tetap saja hal yang baru ini membuat kebahagiaanku meluap.

Malam sepulang Ken dari rumah Sasongko dan menyatakan keinginannya menikahiku. Padahal sebelumnya, aku melihat tidak ada niat apapun di dirinya terutama niat baik untuk kelangsungan hubungan kami. Selama ini, dia mengombang-ambingkan diriku tanpa kepastian, seakan dia sedang menguji kesabaranku atau memang sengaja melakukan hal itu untuk membuatku pergi. Mungkin salahku juga jika hubungan kami tidak berakhir di pelaminan, karena memang aku-nya yang terlalu bertahan tanpa peduli berapa banyak dia menyakitiku.

"Apakah kamu masih ingin menikah denganku?" Kata Ken mengulangi pertanyaannya malam itu karena tidak segera mendapat jawaban dariku yang sedang tertegun tidak percaya atas apa yang aku dengar. Akhirnya aku menganggukan kepala sebagai jawabannya karena tidak mampu mengeluarkan kalimat yang tepat. Ken tersenyum demi melihatku mengangguk bahagia. Belum ada yang dia katakan lagi sebagai kelanjutannya, dia hanya mengambil cangkir teh yang tadi kusuguhkan untuknya. Menyesapkannya perlahan lalu meletakannya lagi ke meja, kemudian mengambil sebungkus rokok dari sakunya. Ken memang perokok dan aku tidak berani melarangnya.

"Tapi ada beberapa hal yang belum kukatakan padamu yang mungkin harus jadi pertimbanganmu." Katanya melanjutkan setelah menyulut rokoknya.

"Apa itu?"

"Aku mungkin akan memiliki anak dengan Rengganis." Sesaat otakku belum mampu mencerna ucapan Ken. Namun itu tidak berlangsung lama, karena pada akhirnya aku harus sadar bahwa tidak ada kebahagiaan yang sepenuhnya kebahagiaan yang bisa Ken berikan padaku. Selalu saja dia hanya memberi sebagian saja dari seluruh harapanku. Dan seperti biasa, aku hanya bisa terdiam tanpa mampu melakukan apapun selain mencoba berpikir dan mencerna lebih jauh lagi kemudian memutuskan. Hingga Ken pulang malam itu, aku tidak bisa menjawab apa-apa dan semalaman sampai semalaman berikutnya aku tidak bisa nyenyak tidur hingga akhirnya memutuskan menerima apapun adanya tentang Ken setelah berkali-kali kutanya pada diriku antara hidup tanpanya atau menerima semua. Selalu saja jawaban yang kutemukan, aku tidak bisa tanpa Ken, juga tidak mampu mencintai lelaki lain selainnya.

Dan sampailah pada hari ini, kesibukan memenuhi setiap sudut rumahku. Dari dapur hingga teras rumah, semua sedang bekerja dan tertawa. Aroma berbagai makanan keluar dari dapur campur aduk hingga sulit menentukan jenis makanan apa saja yang saat ini sedang diolah jika tidak datang sendiri untuk melihatnya. Di teras para bapak-bapak dan pemuda pemudi sedang sibuk menghias tempat menerima tamu sekaligus pelaminan yang dihias bak taman keraton. Aku akan jadi ratu semalam, batinku. Sementara aku sendiri tidak boleh melakukan apapun, hanya duduk-duduk di kamar atau di ruang tamu melihat-lihat kesibukan orang-orang.

Ken juga terlihat bosan karena sudah hampir 1 minggu hanya di rumah saja tanpa melakukan aktivitas apapun, sementara itu tidak ada seorang pun yang dia kenal dan bisa diajak mengobrol. Kalaupun ada beberapa pemuda atau saudaraku yang mencoba menyapa atau mengajak ngobrol, itu tidak akan bertahan lama. Ken akan lebih banyak menjawab satu dua saja, selebihnya akan menjadi dingin kembali. Aku memahami kondisi itu. Selama ini Ken hanya akan banyak mengobrol jika benar-benar bertemu lawan bicara yang sepadan. Obrolannya yang selalu berat, bahkan aku sendiri sering tidak bisa mengimbangi Ken dan seringkali Ken lah yang akan menurunkan level kualitas obrolannya. Pantas saja jika Ken jatuh cinta kepada Rengganis, perempuan itu sangat imbang dengannya. Ah! Apa yang sedang aku pikirkan. Tidak seharusnya aku masih menyimpan cemburu, dan mesti fokus dengan acara pernikahanku besok pagi.

Aku bangkit dari kasurku yang sudah dihias bak laiknya kamar pengantin dengan harum berbagai macam bunga yang sudah menghias di berbagai sudut kamar. Berjalan keluar untuk mencari Ken ingin mengajaknya makan karena sedari pagi tadi hingga sore ini, dia selalu menolak saat kuajak mengisi perutnya. Aku tidak mau saat-saat penting besok dia malah sakit atau terjadi apa saja yang tidak aku inginkan. Hari yang aku nantikan seumur hidup ini janganlah sampai rusak apalagi gagal. Menuju ke teras di mana masih dengan suasana ramai para lelaki sedang berkumpul menghias tempat pelaminan, aku merasa yakin Ken tidak di sini karena aku tahu Ken tidak terlalu menyukai keramaian. Aku terus berjalan melewati mereka menuju samping rumah yang agak sepi karena dibiarkan kosong tidak dipakai untuk aktivitas apapun selain hanya untuk jalan alternative menuju dapur. Selain itu, juga dijadikan tempat menaruh kursi-kursi yang dikeluarkan dari rumah untuk sementara selama acara berlangsung. Merasa yakin tempat ini akan menjadi tempat Ken menghindarkan diri dari keramaian, menjadi setumpuk kekecewaan serta mulai gelisah karena tidak bisa menemukan Ken di manapun. Akupun mulai mencari kemana saja yang kemungkinan akan menjadi tempat Ken duduk bersantai, namun hingga sore hampir habis Ken belum bisa kutemukan. Beberapa orang yang menangkapku sedang berjalan kesana kemari dengan mimik bingung, mulai bertanya-tanya. Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuatku bingung apalagi jika sudah yang menanyakan tentang Ken. Akupun menjawab sekenanya berusaha menghindar dan menutupi kegelisahanku, dan syukurlah untuk sementara waktu berhasil mengelabui orang-orang itu. Hanya satu yang tidak bisa kubohongi dan ternyata diam-diam memantau serta menilai hubunganku dengan Ken. Ibu.

Malam ini, ketika waktu sudah menunjuk tengah malam sementara mataku tidak mau terpejam karena Ken belum juga kembali, ibu masuk ke kamar, perlahan mendekatiku yang sedang berpura-pura tidur. Namun Ibu tidak bisa dibohongi.

"Masih belum tidur, Sev?" Terbersit niatku untuk terus berpura-pura tidur karena aku malas menunjukan wajahku yang semakin kuyu oleh resah, namun tentu saja itu tidak akan berhasil di hadapan ibu. Perlahan aku membuka selimut dan mengangkat tubuh atasku serta menyeret pantat ke belakang untuk menyandar pada bantalan tempat tidur. Kemudian ibu menyusul duduk di bibir tempat tidur dekat dengan tubuhku.

"Apa Ken belum kembali" Aku menggelengkan kepala, benar ibu sudah tahu semua bahwa Ken mendadak pergi tanpa pamit.

"Apa ibu harus memberi tahu Bapak dan masmu untuk mencari Ken?"

"Jangan bu, biarkan semua berjalan dengan tenang. Memberi tahu Bapak hanya akan menciptakan keributan. Aku tidak mau orang-orang tahu dan menyebarkan prasangka yang tidak-tidak."

"Sebenarnya, seperti apa hubungan kalian?"

"Maksud ibu?"

"Apakah kalian benar saling menyukai?" Aku terdiam demi mendapat pertanyaan seperti itu dari ibu. Bukan tidak bisa menjawabnya, aku hanya bingung harus menjawab pertanyaan seadanya, atau mesti menceritakan seluruhnya termasuk tentang Rengganis. Tapi, tidak. Aku tidak ingin membuat ibu panik.

"Ah. Tentu saja kalian saling menyukai. Bukankah besok akan menikah dan itu pilihan kalian sendiri, bukan?"

"Iya, Ibu." Aku berusaha memberi senyum terbaikku agar Ibu tidak turut panik. Tapi, ibu memang memiliki pembawaan yang tenang dan tidak mudah terbawa arus kepanikan.

"Ya sudah, kita ikuti kehendak takdir akan membawa kita. Tunggu dan percaya saja bahwa Ken akan kembali." Aku mengangguk setuju.

"Sekarang kamu tidur saja, jangan sampai besok saatnya Ken kembali kamu malah menjadi sakit."

"Iya, bu."

Ibu beranjak keluar kamar setelah menarik selimut menutup tubuhku serta mencium keningku menenangkan. Namun, itu tidak membuatku tenang sama sekali. Ada ribuan tanya dalam pikiran tentang keberadaan Ken. Apakah dia sedang bertemu Rengganis dan perempuan itu berusaha menahan Ken agar pernikahan besok gagal. Tidak! Tidak! Aku harus menghilangkan pikiranku tentang perempuan itu. Aku tidak boleh terus menerus terprovokasi oleh sosoknya yang angkuh itu. Meskipun pada kenyataanya tidak dapat dipungkiri, bahwa seluruh malam sebelum menikah waktu habis untuk memerangi kehadiran Rengganis dalam pikiranku, memerangi pikiran burukku serta berusaha menyusun pikiran-pikiran yang dipenuhi harapan indah. Tanpa sadar waktu telah menjelang subuh, dan mataku mulai berat. Untuk sesaat aku sudah tidak kuat lagi menahan kantuk dan tanpa sadar sudah terlelap meski tidak sampai satu jam namun cukup mengistirahatkan otak dan jiwaku.

Saat terbangun, kesibukan sudah dimulai lagi bahkan di mana-mana tampak semakin sibuk. Septi, adik sepupuku menjemput ke kamar.

"Ayo mbak, saatnya calon Ratu sehari dibuat cantik secantik-cantiknya. Oh ya, Mas Ken kemana? Kok aku tidak melihatnya dan tidak bisa menemukannya di mana-mana? Dia kan juga perlu didandani."

Oh ya, aku kembali tersadar bahwa Ken pergi entah kemana sejak kemarin. Aku harus menjawab apa jika orang-orang kembali menanyakan.

"ayuk ah, ruang berdandan di mana?" Kataku terburu berusaha menghindari pertanyaan tentang Ken. Sungguh tidak benar yang kulakukan ini. Tidak seharusnya aku menutup-nutupi tentang menghilangya Ken karena cepat atau lambat itu justru akan memperburuk keadaan. Tapi, selain masih berharap bahwa dia akan kembali aku juga takut menghadapi kenyataan terburuk.

"Di kamar sebelah, mbak. Dukun pengantin sudah menunggu." Di desaku, menyebutkan tukang rias pengantin dengan sebutan Dukun Pengantin karena tugas perias di sini bukan sekedar merias namun juga memberikan doa-doa sambil meniup ubun-ubun. Menurut kepercayaan, doa-doa itu akan membuat Sang pengantin benar-benar berubah bak bidadari. Selain itu Sang Dukun juga berperan akan kelancaran proses acara sejak dari widodaren sampai temu pengantin, dialah yang mengatur serta bertanggung jawab terhadap utamanya sepasang pengantinnya. Untuk itu, demi mengetahui pengantin lelaki pergi sejak semalam dan belum kembali, Dukun pengantinlah yang paling ribut kesana kemari sambil mengomel tidak berhenti.

Keadaan semakin geger seperti dugaanku, ketika hingga aku hampir selesai dihias dan itu membutuhkan waktu berjam-jam, namun Ken belum menampakan hidungnya pula. Bapak yang semula tidak tahu apa-apa, mulai berteriak-teriak kepada semua orang untuk mencari Ken hingga ketemu. Bisik-bisik di dapur hingga teras mulai riuh, dan bahkan telah beredar kabar Sang Pengantin laki-laki melarikan diri. Dadaku sesak ingin segera meledak, namun sang dukun pengantin berusaha menenangkan aku dengan terus memijat-mijat punggungku dan berusaha bicara apa saja mengalihkan kegundahanku.

"Pijatan di punggung seperti ini akan memberikan rasa nyaman baik raga maupun jiwa. Kata mbak bidan dekat rumahku, bayi yang sedang demam akan turun suhu badannya setelah menerima pijatan di punggung. " Aku tidak merespon ucapan Sang Dukun karena bibirku tidak mampu membuka sedikitpun, meskipun aku paham betul soal pijatan karena memang bekerja di salon dan spa.

Keributan di luar kamar semakin menggila tidak terkendali. Aku hanya pasrah atas takdir yang harus aku jalani hari ini, karena situasinya memang sudah berada di luar kendaliku. Mendadak pintu kamar rias yang setengah tertutup terbuka lebar dan tampak Bapak berjalan masuk dengan tergesa diikuti Ibu.

"Bagaimana bisa kamu tidak bilang kepada bapak kalau calon bojomu sudah menghilang sejak semalam?!" Tanya bapak kepadaku dengan nada keras. Aku menundukan kepalaku semakin dalam berusaha agar semua tidak meledak dalam tangis. Segalanya telah bercampur aduk dalam marah entah kepada siapa, sedih, resah juga rasa takut. Kamu tidak akan setega ini, Ken. Rintihku dalam hatiku.

"Sev..." Kata bapak kemudian dengan nada yang sudah agak menurun. "Kamu harus menerima kenyataan jika saja Ken tidak segera kembali, harus ada yang menggantikannya!"

"Bapak!!" Kali ini aku tidak bisa menahan diri untuk menjerit, aku tidak mau menikah selain dengan Ken apalagi jika itu terjadi dengan tiba-tiba. Bagaimana bisa!

"Ini sudah menyangkut nama keluarga, Sev!" kata Bapak kembali meninggi sambil memandang tajam ke arahku dan aku juga membalas tatapan Bapak dengan keputus asaan. Tiba-tiba saja seorang pemuda merangsek masuk berdiri di antara aku dan Bapak. Lelaki yang diharapkan kehadirannya oleh semua orang, termasuk aku. Berdiri di antara aku dan bapak dan hanya mengucap kata.

"Maafkan saya."


next chapter
Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C9
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk