"Are you kidding me? Ah, shit! Ayolah, mengapa harus seperti ini?" geram Ferisha menatap Alodie yang tampak memoleskan lipstik di bibirnya.
Tanpa menoleh, Alodie menjawab, "Memangnya kenapa? Lagipula Kakakku setuju dengan hal ini, kita akan berangkat sekitar tiga puluh menit lagi," balas Alodie sangat santai.
Ya, Alodie tiba-tiba saja mengatakan pada Ferisha, jika mereka akan pergi bersama dengan Gavin dan orang kepercayaan Gavin, menggunakan jet pribadi Gavin tentunya.
Ferisha menghembuskan nafasnya perlahan, dirinya tampak memijit pelipisnya pelan, setelah itu mendudukan dirinya di sofa yang tersedia di dalam kamar Alodie.
"Ah, cantik sekali." puji Alodie pada diri sendiri sembari menutup kembali lipstik di tangannya, setelah itu meletakannya di tempat semula. Alodie memutar kursi yang tengah didudukinya, "Kakakku memiliki resort project di Islandia, maka dari itu kakakku menawarkan tumpangan pada ki--
"Tetap saja! Itu akan sangat menyebalkan, lebih baik kita memesan tiket pesawat saja, masih ada waktu untuk itu," tukas Ferisha tetap bersikeras dengan keinginannya.
Alodie menggelengkan kepalanya, ia bangkit dari duduknya, setelah itu tersenyum ke arah Ferisha, "Come on, girl! Atau kita akan terlambat."
Jika dipikirkan lagi, mungkin apa yang Alodie katakan memang benar, Ferisha tak ingin liburan mereka hancur hanya karena dirinya. Lantas, setelah Ferisha berpikir panjang, Ferisha pun buka suara, "Baiklah."
Sekalipun sedikit malas, namun Ferisha tetap saja bangkit dari duduknya dan mulai berjalan bersama dengan Alodie menunju lift, langkah kaki keduanya cukup tergesa, mengingat keberangkatan mereka hanya tersisa kurang dari tiga puluh menit saja.
Jangan tanya dimana koper mereka berdua, jelas koper yang mereka bawa sudah pergi terlebih dahulu bersama sopir keluarga Stevenson.
***
Ferisha membulatkan matanya sempurna saat melihat dari jendela mobil yang dirinya juga Alodie tumpangi, Ferisha dapat melihat jet pribadi dengan tulisan 'Stevenson' tercetak jelas di badan jet. Oh, ayolah— keluarga Ferisha memang memiliki jet pribadi, Ferisha sering menaikinya, namun Ferisha tau jika jet pribadi milik Stevenson lebih baik, bahkan sangat baik.
"Apa Kakakmu sungguh tak masalah?" tanya Ferisha tiba-tiba menoleh ke arah Alodie.
Alodie terkekeh dibuatnya, "Tentu saja tidak, tenang saja."
Bersamaan dengan itu, mobil yang mereka tumpangi berhenti tak jauh dari jet pribadi milik Stevenson berada, mereka bergegas keluar saat setelah sang sopir membukakan pintu.
Alodie dan juga Ferisha keluar dari dalam mobil, mereka berjalan ke arah dimana jet pribadi itu berada.
"Apa kakakmu sudah datang?" tanya Ferisha, sedikit merasa penasaran akan keberadaan Gavin.
Alodie mengagguk, "Ya! Dia sudah di dalam bersama Noel."
Ferisha hanya mengagguk sembari terus berjalan bersama dengan Alodie, menyusuri setiap ruangan yang ada di jet pribadi milik Stevenson. Sungguh, jet ini dilengkapi dengan banyaknya fasilitas, membuat siapapun yang menggunakannya terasa seperti berada di rumah.
"Kakakku mungkin ada di kamar utama bawah cukpit, jika kau ingin beristirahat, pergilah ke kamar tamu, kau juga bisa pergi ke lounge atau ruang makan, kau bebas melakukan apapun disini," kata Alodie dengan senyum lebarnya.
Ferisha hanya mengaggukan kepalanya, toh dirinya mengerti apa yang Alodie katakan.
"Aku ingin pergi ke kamar mandi," kata Ferisha tiba-tiba saja bangkit dari duduknya, meninggalkan Alodie yang kini tampak fokus pada buku zodiak di tangannya, tak heran jika Alodie sangatlah aneh - toh, buku yang Alodie baca pun sangat amat aneh.
"Nona, kemana kau akan pergi?" tanya Noel tiba-tiba saja menghampiri Ferisha.
Ferisha yang mendengar itu menoleh, "Kamar mandi." balasnya singkat.
"Tuan Gavin ingin berbicara dengan mu, ku harap kau mau mengikuti ku ke tempat dimana Tuan Gavin berada, jika kau menolak mungkin Nona Alodie akan mendengar," kata Noel membuat Ferisha menghembuskan nafasnya perlahan, namun meski begitu Ferisha tetap mengikuti kemana Noel pergi.
Mereka menuruni tangga, menuju ruangan yang memisahkan kamar utama dan ruangan lainnya. Ferisha tak berkutik, sekalipun dirinya merasa was-was, apa yang akan Gavin bicarakan.
"Tuan Gavin ada di dalam, Nona. Masuklah," kata Noel membukakan pintu, membuat Ferisha mengagguk setuju, lantas masuk ke dalam ruangan yang ternyata adalah kamar.
Ferisha membalikan tubuhnya, menatap Noel dengan tatapan was-was, namun Noel sudah lebih dulu membungkukan tubuhnya lantas menutup pintu kamar utama begitu saja.
"You're not lost, babygirl?" tanya Gavin dengan suara beratnya.
Ferisha mengalihkan arah pandangannya, dirinya dapat melihat Gavin yang hanya menggunakan boxer tanpa atasan.
"Pakai baju mu!" kesal Ferisha.
Gavin terkekeh, dengan raut wajah datar tanpa ekspresi, "Mengapa? Kau akan melihat semuanya nanti, saat kita bercinta." kata Gavin sembari mendudukan dirinya di sofa, bersandar santai dan merentangkan tangannya di sepanjang sandaran.
Shit! Apa yang Gavin katakan ini?
"Kemarilah, babygirl." sambung Gavin, suaranya begitu rendah— kelembutan didasari ancaman mematikan.
Gugup akan tatapan Gavin, Ferisha mencoba mengumpulkan sisa keberaniannya, sembari menduakan kepalanya, menatap kakinya yang terpasang sepatu boots, membalut betis rampingnya hingga kelutut.
Gavin yang menyadari itu, melirik boots yang dikenakan oleh Ferisha dengan tatapan meremehkan, "Apa sepatu sialan itu lebih menarik daripada aku, hm?"
Sadar akan apa yang Gavin katakan, Ferisha segera mendongakan kepalanya, "Jika memang ya, kenapa!?"
Ferisha seolah berhasil mengumpulkan sisa keberaniannya, menatap Gavin dengan tatapan menantang, membuat Gavin tiba-tiba saja bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Ferisha dengan langkah lebar, kemudian— pada saat Gavin tepat berada dihadapan Ferisha, Gavin tiba-tiba melingkarkan tangannya di pinggang Ferisha, menariknya agar lebih dekat dengannya, setelah itu merapatkan tubuh keduanya.
Ferisha menggelengkan kepalanya, ia mendorong tubuh Gavin walau sia-sia.
"Berhenti memberontak, baby." bisik Gavin, tersirat ancaman di dalamnya.
Ferisha tak mengikuti apa yang Gavin katakan, dirinya terus saja memberontak membuat Gavin meremas sebelah payudaranya.
"Ahhh..." rintih Ferisha pelan.
Gavin yang melihat itu terkekeh pelan, "Kau bahkan menikmatinya."
Ya, Ferisha memang menikmatinya, bohong jika Ferisha menyangkal. Dan Ferisha yakin, siapapun akan hanyut dalam sentuhan yang diberikan oleh Gavin.
Tiba-tiba saja Ferisha mendongakkan kepalanya, memberanikan diri untuk menatap Gavin dengan tatapan berkaca-kaca, "Mengapa harus aku?" tanya Ferisha lirih, Ferisha bahkan merasakan cengkraman erat di pinggangnya, tentu Gavin pelakunya.
"Mengapa ka--
"Karena itu kau, baby." tukas Gavin mengusap lembut surai Ferisha.
Ferisha menggelengkan kepalanya kuat, "Lepaskan aku, kumohon. Aku bukan pilihan yang tepat," lirih Ferisha seolah dirinya sudah sangat kehabisan akal untuk menghadapi Gavin.
Cup
Gavin mengecup bibir Ferisha sedikit lebih lama, setelah itu menyatukan dahi mereka hingga tak ada jarak lagi diantara mereka, "Aku memang akan melepaskan mu, baby." kata Gavin berbisik.
Sebelah tangan Gavin yang melingkar di pinggang ramping Ferisha terus bergerak, mengusapnya pelan, hingga Gavin kembali buka suara, "Namun— jika kau sudah memberikan keperawananmu untuk ku," sambungnya.