Tin!
Rea membunyikan klakson, agar anak-anak di komplek tempat tinggalnya segera menepi dan tidak bermain di tengah jalan lagi. Rumahnya tidak jauh dari lokasi tersebut, hanya berselang beberapa rumah saja.
Rea memarkirkan mobilnya dengan rapi, tepat di depan sebuah rumah, milik orang tuanya.
Ia belum mematikan mesin mobil, hanya menarik rem tangan sebagai safety.
Rea melihat ke arah kursi belakang. Sebuah bucket bunga mawar yang cukup besar dan bahkan lebih besar dari hadiah wisuda yang ia terima satu tahun lalu.
Rea kembali menghadap ke depan, menyandarkan kepalanya tepat di atas kemudi.
Tidak ada niat untuk keluar dari mobilnya, saat ini. Bahkan seat belt masih melingkar, mengunci tubuhnya pada kursi kemudi, tempat duduknya kini.
Malam ini, hati dan pikirannya benar-benar terganggu.
Itu dapat diketahui dari butiran bening yang sudah tidak dapat dibendung lagi, dengan menetes pada pipi dan kemudi yang ini menjadi tempat bersandarnya.
Bahkan suara isak menandakan kalau ia sedang menangis, begitu tersedu.
Tok tok tok!
"Re …."
Rea menahan isaknya. Mendengar suara seseorang memanggil, sembari mengetuk jendela mobilnya.
Tok tok tok!
"Re … buka, ya … please …."
Rea menegapkan posisi duduknya. Ia menoleh ke sisi kanannya dan segera berpaling.
Rea menghapus air mata yang membasahi pipi dengan lengan bajunya. Ia juga menarik napas panjang agar tidak ada lagi isak yang tersisa.
Tok tok tok!
"Rea … keluar ya, sebentar saja …."
Rea melepas seat belt dan kemudian mematikan mesin mobilnya. Ia keluar dari mobil, tanpa menoleh pada seseorang yang kini berada tepat di hadapannya.
"Re … kamu kenapa pergi?" tanya pria bernama lengkap Rajaz Ainnaldy.
"…"
Tidak ada jawaban dari Rea.
"Re …? Kamu kenapa?" tanya pria yang kerap disapa Aldy.
"Maaf, Al," ucap Rea dengan mata yang berkaca-kaca.
"Rea … aku yang seharusnya minta maaf. Tadi Ibu bilang kalau ka—"
"Sebentar, ya …," sela Rea, kemudian membuka pintu mobil bagian belakang.
Rea mengambil bucket bunga mawar tersebut dan digenggamnya, tepat di depan dadanya.
"Re?"
"Untukmu," ucap Rea sembari memberikan bucket bunga tersebut kepada Aldy.
"Un—tukku? T—tapi Re, kamu ke—"
"Maaf ya Al … aku masih saja cengeng dan tidak bisa mengendalikan emosiku. Sudah sekian lama, tapi rasanya masih saja sakit, menerima kenyataan ini," ujar Rea, lagi-lagi tidak dapat menyembunyikan rasa kecewanya.
"Re … kita bicara dulu, ya … sebentar saja," pinta Aldy.
"Pulanglah … aku akan masuk ke dalam," tolak Rea, secara tidak langsung.
"Re … jangan seperti ini …."
Rea berlalu, tanpa peduli lagi pada Aldy yang berusaha menghalangi jalannya.
"Re … maafkan aku … Re … tolong ….."
Rea masuk dan segera mengunci pintu pagar rumahnya. Tidak peduli lagi, dengan suara Aldy yang terus memanggilnya dengan sejuta permintaan maaf.
Tetap saja … Rea akan kecewa dan menjadi terluka, meskipun ia menerima permintaan maaf Aldy.
'Bukan ku tak bisa memaafkanmu … tetapi, aku masih sangat terluka … untuk ketiga kalinya, Al ….'
***
Beberapa tahun sebelum malam itu ….
"Areana Mandalika!!!"
"Siap!"
Rea –kerap disapa-, lagi-lagi harus telat untuk hadir di rapat pembentukan ketua divisi musik di sebuah organisasi seni, yang sudah dinaunginya sejak satu tahun lalu.
"Telat lagi …," bisik Ferdinan, sahabatnya, yang satu divisi dengannya.
"Rea … kami sudah sepakat, pemilihan kepengurusan di setiap divisi, dilakukan dengan musyawarah, bukan vote," tutur Hans, ketua umum di organisasi tersebut.
"Oh, baiklah kalau begitu … di diskusikan saja, aku ikut mendengar dan memberikan pendapat," balas Rea.
"Kami sudah mendapatkan seseorang yang pantas untuk menjadi ketua divisi musik," ujar Hans, sembari membenarkan kacamata yang dipakainya.
"Hm? Sudah ada kandidatnya? Siapa saja?" tanya Rea, membesarkan kedua matanya.
"Bukan kandidat, Rea … tapi sudah diputuskan dan sudah dipilih," sahut Ferdinan menjelaskan kembali maksud dari perkataan Hans.
"Oh ya? Apa aku telat terlalu lama? Kalau begitu … siapa ketua divisinya?"
"Areana!"
Serentak seluruh anggota di divisi musik itu menyebut nama Rea.
"Haa? A—aku?" tanya Rea terkejut, sembari menunjuk dirinya sendiri.
"Iya Rea … itu kamu. Mereka meminta kamu yang memimpin mereka di divisi musik ini, selama satu periode."
"Kenapa harus aku? Disini bukan hanya aku yang sudah satu tahun berada di organisasi Seni dan berada di divisi musik," sanggah Rea, keberatan.
"Kami percaya padamu, Re … kamu memang sangat pantas menjadi pemimpin kami," tutur Ferdinan memuji Rea.
"Ferdi … tidak biasanya kamu memujiku. Kalian pasti memilihku karena ada suatu masalah, bukan?" tanya Rea curiga.
"Bukan masalah, Rea … tapi … kami belum mendapatkan kandidat untuk menjadi wakil kamu," jawab Hans, mewakili jawaban teman-teman yang lainnya.
"Seharusnya, kamu tidak perlu menjadi ketua umum, Hans. Tetaplah di sini dan menjadi pendampingku, untuk mengukuhkan divisi musik," keluh Rea.
"Bukan jadi pendamping hidup kamu?" tanya Ferdinan, lagi-lagi menyahuti.
"Ferdi!" seru Rea kesal dengan sahabatnya.
***
Tetes air mata lagi-lagi membasahi pipi Rea. Ia masih saja terbayang akan hubungannya dengan Hans yang harus berakhir beberapa bulan lalu.
Rea mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah tempat perhiasan kecil, dimana isinya adalah sebuah cincin dengan permata kecil sebagai pemanisnya.
"Hans …," rintihnya dengan isak yang berusaha ditahannya.
Rooftop kampus, di gedung utama. Menjadi tempat ternyaman Rea untuk mengeluarkan air mata yang selalu ditahannya selama perkuliahan berlangsung.
"Please to love your tears!"
Rea membesarkan matanya, bergegas mengusap air mata yang membasahi pipinya. Ia juga bergegas menyimpan kembali cincinnya ke dalam tempat dan segera memasukkannya ke dalam tas.
"Who are you crying about?"
Rea menoleh, melihat siapa pria yang mengganggunya.
"Who are you?" tanya Rea, tidak mengenal pria yang kini sedang melangkah menghampirinya.
Pria itu duduk persis di samping Rea, mengusap air mata Rea dengan tangannya.
"Sedang patah hati?" tanya pria itu lagi.
"…."
Rea diam tidak menjawabnya.
"Kamu … sepertinya, aku pernah melihat kamu … tapi dimana, ya?"
"Hm? Aku? Kita satu kampus, sudah pasti kamu pernah melihatku," jawab Rea, masih menatap pria itu, yang juga sedang menatap matanya.
Pria itu tersenyum, menundukkan kepalanya, terkekeh.
"Kenapa tertawa?" tanya Rea, justru kesal.
Pria itu kini kembali menoleh pada Rea, menatap lekat bola mata berwarna cokelat itu.
Ia mengusap lembut kepala Rea dan lagi-lagi mengusap air mata, yang masih membekas di pipi Rea.
"Jangan menangis lagi, ya … apalagi menyendiri di rooftop seperti ini."
"Kamu … siapa?"
"Memang sebaiknya kita berkenalan, siapa tahu … aku bisa ingat, dimana kita pernah bertemu sebelumnya," ujar pria itu.
Rea mengernyitkan dahinya, bingung.
"Aku Rajaz Ainnaldy, kamu bisa memanggilku Aldy. Mahasiswa baru, jurusan Teknik Mesin."