"Dia tidak bernapas Dana ... He, eheh, hiks, hiks, he ...." Ibu Sopiah pingsan, Indana memeluk ibu mertuanya yang terjatuh dilantai.
"Sangat cepat semua ini terjadi, kuatkan hamba ya Rob, Indana jangan menangis, ini keputusanmu, kamu harus iklas, Indana hek hek hiks, esth. Sudah jangan menangis lagi, Ibu ... Bu, Ibu ..." Indana bersi keras menyadarkan mertuanya, Indana meletakkan kepala Ibu mertuanya di lantai, lalu memanggil Suster dan Dokter.
"Suster ... Dokter ..." teriak Dana.
"Ya Allah ...." suara Rif'an, Indana berlari ke suaminya, yang penuh dengan keringat.
"Alhamdulillah ... MasyaAllah, SubhanaAllah,aku kira Kak Rif'an ...." Indana tidak sangguo berkata-kata ia mengecup kening suaminya, lalu ingat Ibu mertuanya tergeletak di lantai, Indana menghampiri Ibu dan memangku kepala Ibu mertuanya.
"Kamu berisik Dana ...." keluh Rif'an, membuka mata, "Ya Allah ... Ibu ..." Rif'an akan beranjak.
"Jangan bergerak, Ibu syok, tadi Kak Ruf'an sudah tidak bernapas," jelas Dana. "Ibu ... Bangun Kak Rif'an hidup kembali," imbuhnya, Rif'an tertawa.
"Aku memang masih hidup Dana, Istriku, hanya saja tadi aku berada di mimpi yang teramat nyata, namun juga ada rasa yang teramat sakit." jelas Rif'an, Indana penasaran, Ibu Sopiah siuman.
Rif'an menitihkan air mata saat Ibu Sopiah sudah bangun. Ibu Sopiah berdiri dengan dibantu Indana.
"Ibu ... Maafkan aku," ujar Rif'an tiada rasa kesakitan saat bangun lalu akan bersimpuh dihadapan wanita yang melahirkan. Rif'an meraih tangan Ibunya.
"Ibu Maaf ..." pinta Rif'an tertunduk dibawah Ibu Sopiah, Ibu Sopiah memeluk putranya.
"Kamu anak yang baik, tidak perlu minta maaf, hiks," jelas Rif'an, "Tunggu sini sebentar ya," ujar Ibu Sopiah melepaskan tangan Rif'an.
Indana membantu Rif'an berdiri, "Sudah tidak ada rasa sakit lagi," jelas Rif'an keduanya duduk, Indana membulatkan mata.
"Sungguh? Tidak hoax kan?" tanya nya, Rif'an mengangguk.
"Tadi aku seperti mimpi, tapi seperti nyata pula. Ini benar-benar real. Sungguh suatu pengalaman yang tidak bisa terlupakan, yang sangat luar biasa yang telah aku alami barang kali mereka-mereka juga pernah mengalaminya, terutama pengalaman spritual yang mati suri. Aku mungkin mengalami itu Indana," ucapan Rif'an membuat Indana menatapnya, namun tatapan Rif'an kosong.
"Tolong ceritakan siapa tau menjadi kuat iman islam dihati," pinta Dana, Rif'an mengecup kening Istrinya.
"Rasanya sangat sakit seperti ribuan tusukan pedang. Aku pernah membaca buku yang isinya gambaran tentang kehidupan setelah mati, siksa pertanyaan malaikat dan bagaimana siksa kubur itu terjadi. pada cerita bergambar itu memang diceritakan apa-apa yang akan ditanyakan oleh malaikat ketika jenazah sudah dikuburkan dan para pengantar jenazah baru saja tujuh langkah meninggalkan tanah pekuburan. Kamu sudah taulah soal itu. Pertanyaannya adalah, man Robbuka, atau siapa tuhanmu, siapa pemimpin kamu, dimana kiblat kamu dan banyak hal. Tadi sungguh adalah momen yang sangat luar biasa, perjalanan spiritual. Aku merasa ada yang bertanya soal Man Robbuka dan lain-lain, aku bisa menjawab, lalu ... Aku berada didua tempat satu padang sahara yang panas tanpa pepohonan, gersang, yang pastinya akan membakar kulit, yang kedua taman yang sangat indah, rumput yang hijau, air terjun bertingkat yang sangat indah. Namun aku melihat seseorang yang berada ditempat yang panas tadi, dia sendirian tersiksa,aku akan masuk namun tidak bisa. Aku berniat menolongnya, namun aku tidak bisa menembus tempat itu,"
"SubhanaAllah ... Lalu?" tanya Dana, menggenggam erat tangan Rif'an karna ada rasa takut yang datang.
"Ada suara tanpa rupa, itulah siksa anak yang membantah dan durhaka kepada orang tua yang soleh. Saat orang tua mengingatkan dia berkata ah, dan tidak mendengarkan. Sungguh Dana, siksa itu nyata, apalagi saat nyawa terlepas dari raga, rasanya sangat sakit seperti kulit hewan yang dilepas dari dagingnya. Tercabik, ya Allah ... Apalagi siksa orang yang kuropsi begitu pedih Dana, masih dalam kubur siksanya sudah sangat meneyakitkan apalagi nanti saat adanya keadilan Ya Allah ...." Rif'an menangis di bahu Indana.
"Hiks, mari kita intropeksi diri dan perbaiki semuanya, tidak perlu ngomongin orang lain, yang penting mendidik diri sendiri, kala ada yang menegur kita, itu kita dengarkan baik-baik lalu intropeksi diri merubah sedikit demi sedikit, apa lagi nanti pada bulan dimana setiap langkah dan setiap kegiatan yang kita lakukan sebagai umat islam akan diganjar dengan pahala yang berlipat ganda, Allah memudahkan, kurang lima belas hari lagi. Cerita ini menyadarkan kita, betapa nyata pembalasan yang akan diperoleh, oleh manusia di akhirat kelak luar biasa pedihnya. Makanya mari kita kita berbuat baik agar mendapatkan rasa yang penuh bahagia, karena itu jangan pernah main-main dengan perintah dan larangan Allah SWT.
Seandainya para koruptor, penjahat, dan orangcorang yang bermaksiat, merasakan hal tadi, pasti mereka bisa taubat.Andaikan yang telah melakukan sistimatis membuat kehidupan rakyat Indonesia sengsara tujuh turunan merasakan kepedihan itu, pasti mereka sudah tidak kejam lagi, aku sangat berharap mereka mau berhenti menjadi pencuri uang Negara. Bukankah tidak ada gunanya menumpuk harta, apa lagi harta yang diperoleh dengan cara menyengsarakan kehidupan rakyat banyak. Tidak juga uang-uang haram tersebut dapat dipergunakan diakhirat, karna mati hanya membawa raga yang terbungkus kain kafan. Aku ingat Almarhum. Ustadz K.H. Zainuddin MZ dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa ada dua pertanyaan yang akan diajukan oleh para malaikat kelak di akhirat mengenai harta ini. Pertama dari mana atau dengan jalan apa harta itu diperoleh dan yang kedua untuk apa saja harta itu dipergunakan selama di dunia. Sungguh berat pertanggung jawaban yang harus dipikul si pemilik harta kelak.
Lalu pertanyaannya, mengapa mereka yang saya yakin seyakin-yakinnya tahu bahwa hukum mengambil harta orang lain itu adalah haram dan hukuman yang setimpal akan menanti mereka kelak baik di dunia maupun di akhirat, tetapi mengapa mengambil yang bukan haknya tetap saja diambil, karna harta dan tahta sudah membutakan mata hati. Secuil apapun nanti akan dihisab, uang seribu pun akan ditanyakan oleh malaikat Allah, tuntaslah segala urusan jika sudah ditindaklanjuti diakhirat. Gemerlapan, pangkat sudah tiada artinya. Tiada gunanya, jadi ... Sekarang sudah tidak sakit?" tanya Dana, Rif'an mengangguk.
"Hilang rasa sakit itu ketika aku membuka mata, SubhanaAllah ... MasyaAllah ... Kalau aku sembuh total, kita lanjutkan cita-cita yang tertunda, dengan bismillah ... Membangun panti jompo dan panti asuhan inginku juga, namun tentunya rejeki dari keringat sendiri. Aku yakin Allah yang Maha Baik, akan membantu jadi ... Mari lanjutkan petualangan mesin waktumu dan melanjutkan cita-cita dengan hadirnya buah hati," kalimat terakhir yang diucapkan Rif'an membuat Indana terkejut.
Muahc
Suara kecupan Rif'an dibibir Dana, "Ya Allah ... Rontok rasanya," ucap Dana mengendalikan jantung yang terus meledak didalam dadanya.
"Ha ha ha, Alhamdulillah ya ... Allah memang magic, is the best. Ya Allah sukron," Rif'an mengangkat tangan lalu mengusap wajahnya. Indana masih menutup bibirnya dengan jari-jarinya. Rif'an menatap gadis itu, lalu mengecup dahi, kedua pipi dengan cepat.
"Rasanya aku ingin pingsan, jantungku ...." keluhnya, Rif'an hendak memegang dada Indana ingin memastikan detak jantung, dengan cepat Dana, menangkis tangan itu.
"Kamu sudah halal, menolak ajakan suami dosa lo," ledek Rif'an.
"Disembuhkan seharusnya beribadah bukan malah bercinta," tegur Dana salah tingkah.
"Bercinta jika sudah sah juga ibadah," ucapan Rif'an lebih benar, Indana menatap suaminya sebentar lalu merunduk.
"Jadi, mau berapa tendangan? Atau berapa ... E ...." bisik Rif'an, mereka sangat dekat debaran yang bergejolak, membuat mereka saling menatap dan akan melakukan ....
"Nak ...." suara Ibunya, keduanya merubah posisi duduk alah tingkah, Rif'an menaikan kaki berbaring diranjang, Indana merunduk.
"Menantu Ibu, makan dulu, Ibu sudah masak banyak ini," ujar mertua, Indana membantu melepas rantang dari kailnya, dengan jailnya Rif'an mencolek Indana menepis tangan Rif'an.
"Rif ... Jangan jail Ibu tau," tegur Ibunya, Rif'an memegang kepala lalu menahan tawa karna malu.