Benua Merah adalah salah satu dari tiga Benua terbesar yang ada di Daratan Tengah. Benua Merah menempati urutan kedua sebagai benua terbesar. Sedangkan benua terbesar pertama bernama Benua Biru, dan yang terbesar ketiga bernama Benua Hijau.
Di Benua Merah, terdapat sebuah kota yang bernama Kota Kabut Putih.
Dan di kota itulah kisah ini bermula …
Saat itu malam hari. Langit benar-benar gelap, awan mendung tampak bergulung-gulung. Malam itu semakin gelap karena tidak adanya rembulan dan bintang-bintang yang biasa menghiasai malam.
Di tengah padang rumput yang terdapat di Kota Kabut Putih, telah berdiri sepuluh orang pendekar tua. Usia mereka sekitar lima atau enam puluhan tahun ke atas. Semuanya pria.
Meskipun usianya sudah lanjut, namun nyatanya orang-orang tersebut masih terlihat gagah dan berwibawa.
Wajah mereka garang. Sorot matanya sangat tajam, seperti tajamnya sebilah pedang. Sepuluh orang pendekar tua tersebut memelihara janggut yang panjangnya hampir menyentuh dada.
Pakaian para pendekar itu beragam.
Ada yang mengenakai jubah hijau tua, jubah biru, jubah kuning, dan lain sebagainya. Selain daripada itu, para pendekar itupun tampak membawa berbagai macam senjatanya masing-masing. Ada yang membawa golok panjang, pedang tipis, bahkan ada juga yang menggunakan kipas baja.
Sepuluh pendekar tersebut sedang berhadapan dengan seorang perempuan tua yang berumur tidak jauh dari mereka sendiri.
Perempuan tua tersebut mengenakan pakaian dan jubah hitam. Meskipun usianya sudah masuk kepala enam, namun tak dapat dipungkiri, wajahnya masih terlihat cantik. Bahkan kerutan yang biasanya muncul di usia senja, tidak terlalu terlihat di wajah wanita tua itu.
Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka karena sayatan senjata tajam. Kemarahan tergambar dengan jelas pada sorot matanya yang membara bagaikan api neraka tersebut.
Di sisi wanita itu, terlihat pula ada seorang gadis kecil berusia sekitar dua belas tahun. Gadis itupun mengenakan pakaian merah muda. Keduanya sama-sama terkepung. Bedanya, di tubuh gadis tersebut tidak terlihat luka sedikit pun.
Tetapi meskipun demikian, gadis cilik itu jelas merasa takut. Sudah sejak tadi dia memainkan ujung bajunya sendiri dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Mungkin hal tersebut dimaksudkan untuk mengusir sedikit rasa takut yang hinggap pada tubuhnya.
Siapa sepuluh pria tua itu? Siapa pula wanita tua dan gadis kecil tadi?
Sepuluh pria tua tersebut ternyata merupakan tokoh dunia persilatan yang sudah melegenda. Mereka berasal dari partainya masing-masing. Dan partai yang pernah dipimpin oleh orang-orang tersebut, adalah partai-partai terkemuka yang terdapat di Benua Merah. Bahkan sebagian ada yang berasal dari partai terbesar.
Sedangkan si wanita tua tadi, dia adalah seorang pendekar wanita yang berasal dari golongan hitam. Tetapi meskipun demikian, sepak terjangnya justru sangat bertolak belakang.
Dia selalu bersikap seperti pendekar golongan putih. Selalu menolong dan memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan uluran tangannya.
Sesuatu yang bertolak belakang itu bukan hanya berlaku kepadanya saja. Bahkan berlaku pula terhadap sepuluh tokoh persilatan yang ada di hadapannya saat ini. Mereka mengaku berasal dari golongan putih, namun sepak terjangnya justru seperti pendekar yang berasal dari golongan hitam.
Sayang sekali, terkait hal tersebut, tiada seorang pun yang mengetahuinya. Sebab mereka selalu bersikap suci ketika berada di hadapan banyak orang.
"Yun Tian Li, menyerahlah sekarang juga. Sekeras apapun berusaha, kau tetap tidak akan bisa keluar dari kepungan kami," kata seorang tokoh tua yang mengenakan jubah biru. Dia bernama Song Ti dan berjuluk Golok Malaikat Maut.
Wanita tua yang ternyata bernama Yun Tian Li itu tersenyum dingin ketika mendengar ucapan tersebut.
"Tua bangka Song, kau harus tahu satu hal," katanya sambil menatap tajam kepada Song Ti.
"Apa?"
"Dalam kamus hidup Dewi Bunga Hitam, tidak ada yang namanya kata menyerah. Aku lebih baik mampus daripada harus mengucapkan perkataan busuk itu,"
Suara Dewi Bunga Hitam terdengar sangat lantang. Saking lantangnya, suara itu bahkan terdengar sampai jarak radius setengah kilometer.
"Hahaha … bagus, bagus. Aku suka orang sepertimu. Tapi, apakah kau tidak memikirkan bagaimana nantinya nasib gadis kecil yang berdiri ketakutan di sisimu itu?" seorang pria berjubah hijau tua tiba-tiba ikut nimbrung dalam pembicaraan.
Suaranya tidak kalah lantang. Bahkan tekanan tenaga dalam yang terkandung dalam nada suara itu lebih besar daripada orang-orang sebelumnya.
Tokoh tua yang baru saja bicara itu bernama Yang Tin Bu. Julukannya adalah Kakek Selaksa Pedang. Kemampuannya dalam memainkan pedang memang sudah sangat tinggi sekali. Bahkan puluhan tahun lalu, ketika dirinya masih aktif mengembara dalam dunia persilatan, dia disebut-sebut sebagai jago pedang pilih tanding.
Ketika mendengar ucapan itu, Dewi Bunga Hitam seperti baru tersadar dari mimpi. Di wajahnya tersirat sedikit kekagetan.
Tapi hal itu hanya berlangsung sekejap, sesaat kemudian dia baru berkata, "Itu bukan masalah," katanya sambil tersenyum dingin. Setelah berhenti sejenak, Dewi Bunga Hitam kembali melanjutkan bicaranya, "Sebelum melanjutkan permasalahan kita ini, apakah aku boleh mengajukan satu permintaan kepada kalian?"
Sepuluh tokoh persilatan itu saling pandang. Sesaat kemudian, si Golok Malaikat Maut menjawab, "Apa permintaanmu?"
"Aku hanya ingin bicara sebentar dengan muridku,"
"Hemm, baiklah. Silahkan," katanya dengan nada dingin.
"Terimakasih," jawab Dewi Bunga Hitam sambil menganggukkan kepalanya.
Kemudian dia berpaling kepada muridnya yang bernama Jiang Mei Lan.
"Lan'er, apakah kau takut?" tanyanya kepada gadis kecil yang bernama Jiang Mei Lan tersebut.
"Aku … aku …" Mei Lan tidak mampu berkata lebih jauh lagi.
Bagaimanapun juga, dia masih kecil. Bahkan seorang gadis pula.
Melihat bagaimana dahsyatnya pertarungan yang baru saja terjadi di depan matanya, hal itu benar-benar sudah menjatuhkan mentalnya. Sekarang Mei Lan seperti hidup dalam ketakutan. Saking takutnya, bahkan seluruh tubuhnya menggigil keras.
"Jangan takut, Lan'er. Justru kau harus berani. Kau pun harus mengingat dengan jelas wajah orang-orang munafik ini. Ayo, angkat wajahmu sekarang juga. Ini perintah dari gurumu sendiri!" kata Dewi Bunga Hitam.
Karena tidak mau menjadi seorang murid pembangkang, akhirnya secara perlahan Mei Lan mencoba untuk mengangkat kepalanya. Dia segera memandang wajah sepuluh orang tokoh dunia persilatan itu. Gadis kecil tersebut kemudian mengingatnya lekat-lekat.
"Apakah kau sudah mengingat semua wajah mereka?" tanya Dewi Bunga Hitam melanjutkan.
"Ehmm, su-sudah guru," katanya sambil menganggukkan kepala.
"Bagus. Nah, sekarang terimalah ini," wanita tua itu kemudian memberikan sebuah Cincin Ruang kepada Mei Lan.
Cincin Ruang tersebut berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan berbagai macam benda-benda. Selain itu, Cincin Ruang juga bisa digunakan untuk menyimpan makanan beberapa waktu lamanya.
Mei Lan kemudian menerima Cincin Ruang pemberian gurunya. Meskipun gadis kecil tersebut belum mengerti sama sekali, namun dia tetap mencoba menuruti perintahnya.
Sepasang mata yang masih polos itu memandang wajah Dewi Bunga Hitam dengan berbagai macam pertanyaan.
Dewi Bunga Hitam sendiri mengerti maksud dari tatapan mata murid kesayangannya tersebut, oleh karena itulah, tidak menunggu waktu yang lama, dia segera berkata, "Dalam Cincin Ruang ini tersedia segala sesuatu yang akan kau perlukan di kemudian hari. Selain daripada itu, di dalamnya juga tersedia catatan penting yang kelak harus kau ketahui. Tapi kau harus ingat bahwa sebelum dirimu berusia dua puluh tahun, kau tidak boleh menggunakan apapun selain menggunakan sumber daya saja,"