"Al--gue mau pergi" ucap Rania kemudian menundukan kepala agar bisa menyembunyikan tangisnya. Namun sayang, Ali masih bisa mengetahuinya karena isakan tangis itu terdengar jelas di telinganya walaupun Rania menangis sangat pelan.
"pergi? Kemana? " tanya Ali bingung
"gue mau pergi aja dari dunia ini"
"lo apa-apaan sih ngomongnya. " Ali kembali memeluk Rania.
Selang lima menit, setelah Rania tenang, Ali kembali memberikan air untuk Rania minum guna mengurangi rasa stress nya. Tak lupa ia juga mengusap lembut rambut Rania sambil merapikan beberapa anak rambut yang menempel di pipinya akibat air matanya yang basah.
"udah tenang? " tanya Ali
Rania menganggukan kepala.
"sekarang lo ceritain pelan-pelan, lo kenapa? " tanya Ali
Rania mulai menceritakan secara detail kejadian tadi bersama ayahnya. Dan ketika itu juga butiran bening itu kembali jatuh. Ali dengan lembut mengusapnya beberapa kali, dan hal yang paling ia menyakitinya adalah Rania menangis karena membelanya di depan ayahnya sendiri.
"jadi lo nangis gara-gara gue? Gara-gara ngebela gue? " tanya Ali
"enggak,gue gak ngebela lo. Gue nangis karena kecewa sama ayah" jawab Rania
"bokap lo bener, Ran. Siapa sih orang tua yang mau anaknya pacaran sama anak berandal kayak gue? "
"ini bukan masalah bela membela,Al. Ini masalah sikap dan prilaku ayah yang sama sekali gak pernah mau tahu apa yang gue suka. Dan ayah selalu pakai cara kekerasan sebagai peringatan.. Gue---" ucapan Rania terhenti karena ia menahan isak tangisnya.
"Ayah selalu neken gue buat lakuin hal ini hal itu tanpa ayah tahu gue suka atau enggak. Ayah selalu bilang gue harus belajar, belajar, dan belajar. Ayah nyuruh gue ikut osis di sekolah, ayah nyuruh gue ikutan bimbel, ayah nyuruh gue ikut les, ayah nyuruh gue ikutan olimpiade matematika, ayah nyuruh gue agar selalu menjadi yang terdepan dari siapa pun. Tapi ayah gak tahu tekanan gue saat itu. Dan ayah selalu banding-bandingin gue sama Rafly. Rafly bisa inilah, itulah. Gue sadar, sampai kapan pun gue gak akan pernah bisa ngalahin dia. Tapi seenggaknya gue udah berusaha, seenggaknya gue udah berusaha ngelakuin yang terbaik buat ayah. Tapi ayah gak pernah mau ngerti. Dia cuma mau gue ngelakuin sesuai harapannya. Dan kalau gue gagal ayah bakalan marah, bentak gue, atau bahkan ngelakuin hal kekerasan bahkan sama anaknya sendiri. Gue udah nyoba buat sabar,Al. Tapi sekarang gue udah gak bisa. Gue butuh dukungan saat gue lagi down. Tapi ayah gak pernah ngasih itu dan malah selalu nyalahin gue. Gue gak pernah nuntut apapun dari ayah, gue cuma mau dukungan dan support sama kayak dukungan ayah buat Renzy. Tapi ayah gak pernah ngasih itu sama gue" Rania melanjutkan ucapannya dengan air mata yang terus saja keluar dari kedua matanya yang telah sembab.
Karena merasa tak tega, Ali kembali memeluk Rania dan menepuk pundaknya beberapa kali mencoba untuk menenangkannya. Pikiran Ali kembali terngiang saat ia melihat Rania dengan luka biru di wajahnya beberaoa waktu lalu. Jadi ini alasannya.
Sudah hampir satu jam mereka dalam posisi seperti itu. Ali melihat jam di tangannya sekilas yang telah menunjukan pukul setengah sepuluh malam. Kepala Rania yang masih bersandar di bahunya dan tak ada pergerakan sedari tadi membuat Ali mengira jika Rania telah tertidur. Namun Rania yang tahu pergerakan Ali mendongakan kepalanya menghadap Ali namun dengan posisi yang tetap sama.
"lo ngantuk, Al? " tanya Rania
"enggak" jawab Ali sambil menggeleng.
Rania pun kembali menatap ke depan sambil memainkan tangan Ali yang memegangnya sejak tadi.
"lo gak mau pulang, Ran. Ini udah malem loh, nyokap lo pasti nyariin dan khawatir sama lo" ucap Ali walaupun ada sedikit keraguan di hatinya
"lo ngusir gue? " tanya Rania pelan namun masih bisa di dengar oleh Ali.
Ali tahu jika kekasihnya itu merasa sedih dengan ucapannya.
"enggak bukan gitu, ini kan udah malem sayang. Kan kamu juga harus tidur " ucap Ali
Rania sangat senang ketika Ali menyebutnya dengan sebutan 'sayang' dan lagi ucapan Ali itu sangat lembut sehingga membuat Rania luluh seketika.
"lo mau pulang? " tanya Rania
"gue mau ke beskem dulu"
"ikut" ucap Rania dengan nada manjanya
"lo harus istirahat, bukannya besok lo mau ke puncak kan? "
Pertanyaan Ali membuat Rania melebarkan matanya seketika. Benar juga. Kenapa Rania baru mengingat bahwa besok ia akan ke puncak untuk kemah LDKS.
"ya udah yuk pulang" ajak Rania yang langsung beranjak saat itu juga.
Namun bukannya ikut beranjak, Ali malah tertawa mendengar penuturan Rania.
"kenapa? " tanya Rania bingung
"mood lo berubah-ubah yah, tadi nangis, sedih, manja, sekarang malah lucu" jawab Ali
"ihhhh udah ayo ahh"
"oke oke tuan putri "
Lima belas menit kemudian...
Kedua sejoli itu telah sampai di depan rumah Rania. Terlihat ada keraguan di dalam diri Rania. Ia, melangkah ragu. Sementara Ali yang melihat hal itu, melihat jamnya sekilas, kemudian setelah menghembuskan napasnya kasar, ia pun memanggil Rania.
"ada apa? " tanya Rania setelah membalikan badannya.
Ali menghampiri Rania. Ia menatapnya lekat sejenak kemudian memegang tangannya dan berjalan menuju depan pintu rumahnya.
Ali mengetuk pintu itu beberapa kali. Dan tak lama setelah itu muncul sosok lelaki berkumis yang Ali kenal sebagai ayah dari kekasihnya itu.
"hallo, Om" sapa Ali sambil menundukan sedikit kepalanya.
Natta tak menjawab. Terlihat ada raut kemarahan di wajahnya.
"masuk!! " perintah Natta pada Rania
Rania sempat melirik Ali sejenak bermaksud meminta ijin dan Ali pun menganggukan kepala sambil tersenyum. Ali tahu jika Rania sangat mengkhawatirkan nya, untuk itu Ali berusaha memendamkan rasa gugupnya di hadapan Rania.
Setelah Rania masuk, Natta masih saja menatap tajam Ali.
"kalau gitu, saya pamit dulu, Om" saat Ali berniat ingin memberi salam, tiba-tiba Natta menutup pintu begitu saja dengan cukup keras.
Ali menghembuskan napas nya sejenak lalu berniat untuk pulang. Ada rasa khawatir di dalam hatinya terhadap Rania. Sebelum menaiki motornya lagi, beberapa kali Ali melihat ke arag rumah kekasihnya itu dengan hati yang terus berharap agar Rania baik-baik saja di dalam sana.
Sementara di sisi lain, Rania yang kini sedang duduk di ruang keluarga di temani oleh sang bunda di sebelahnya juga sang kakak yang selalu menemaninya. Sedangkan adiknya, Rania dapat menduga jika anak itu pasti telah bergelut dengan selimutnya mengingat sekarang telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.
Setelah sang ayah datang, suasana menjadi tegang. Namun Rania mencoba untuk tetap tenang saat itu.
"kamu dari mana aja? Kamu tahu sekarang jam berapa? " Natta mulai menginterogasi namun kali ini nada bicaranya sangatlah rendah bahkan Rania hampir tidak mendengar ucapan ayahnya itu.
"maaf, ayah" hanya kalimat itu yang dapat Rania keluarkan dari mulutnya.
"apa sih kelebihan anak berandal itu?" Natta tak hais pikir
Rania tak menjawab. Ia hanya terdiam sambil menundukkan kepala.
"Yah, udah dong. Ayah kan udah janji gak bakal ngebahas itu. Yang penting sekarang anak kita pulang, Yah. " Dewi berucap kemudian memeluk anak perempuan satu-satunya itu.
"iya, Yah. Ayah lupa sama janji ayah waktu di rumah sakit? Udah cukup ayah nyakitin anak ayah sendiri" Randy juga ikut berucap, mencoba untuk menyadarkan sang ayah yang telah melanggar janjinya.
Perkataan Dewi dan Randy berhasil membuat Natta terdiam.
"sayang, sekarang kamu masuk yah. Istirahat. Pasti kamu cape kan nak" perintah Dewi dengan nada penuh kelembutan
Rania kembali memeluk sang bunda. Lalu setelah itu, ia pun beranjak menuju kamarnya.
Saat baru tiga langkah berjalan, sang ayah tiba-tiba memanggilnya sehingga membuat Rania menghentikan langkahnya.
"ayah kasih kamu dua pilihan. Putuskan anak berandal itu atau kamu harus kuliah di US" ucap Natta penuh penekanan
Mata Rania melebar sempurna. Bagaimana bisa ayahnya memberikan pilihan seperti itu.
"baik ayah. Rania akan kuliah di US, tapi Rania juga mau minta sesuatu sama ayah"
"...."
.
.
.
.
.
.
.
Setelah selesai membersihkan badannya, Rania membaringkan tubuhnya di atas kasur bersprei spongebob. Hari ini cukup melelahkan. Banyak hal yang terjadi yang menguras pikirannya lebih banyak dibanding saat belajar.
Jam beker yang terpajang menunjukan pukul dua belas malam. Sudah larut. Namun, matanya masih belum bisa menutup.
Sejenak, ia membuka ponselnya barangkali ada pesan dari Ali. Dan benar saja, ada panggilan tak terjawab darinya sebanyak tiga kali. Lalu Rania pun mencoba menghubunginya balik.
Tuut tuut tuut. Panggilan di angkat.
"hallo. Lo belom tidur? " Ali langsung bertanya kala itu
"belom. Kenapa lo juga belom tidur? " tanya Rania
"gue gak bisa tidur"
"sama dong kalau gitu"
"lo gak papa kan? Ayah lo gak---"
"enggak. Lo tenang aja" Rania langsung menyela ucapan Ali
"serius? "
"iya"
"syukur deh. Gue khawatir tahu gak"
Rania pun tersenyum senang. Ternyata Ali memang peduli terhadapnya.
"gue tadi belum sempet nanya, di kantor polisi apa aja tadi? " tanya Rania
"ya biasalah, diinterogasi"
"terus lo jelasin apa? "
"ya gue bilang aja sejujurnya"
Rania menganggukan kepala walaupun ia tahu Ali tak melihatnya.
"gue minta maaf yah, kemaren---"
"gue tahu kok, lo gak usah jelasin apapun"
"tahu apa? "
"semua tentang lo"
"maksudnya?"
"nanti gue jelasin kalau ketemu"
"ya udah. Besok lo jadi ke puncak?"
"jadilah"
"ya udah hati-hati"
"iyah. Ya udah gue tutup ya. Eh tapi lo di rumah kan gak di beskem? "
"iya gue di rumah kok"
"ya udah. Bye. Cepetan tidur"
"iya SAYANG. "
Rania tersenyum lebar. Entah kenapa setelah berbincang dengan Ali selalu membuatnya bahagia. Walaupun hal-hal kecil dan terkadang juga tidak penting, tapi dengan begitu Ali dapat membuat Rania melupakan sejenak masalahnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa vote dan comment ya!!!
Karena satu suara dari kalian sangat berarti untuk keberhasilan cerita ini...