Matahari telah menunjukan cahayanya di pagi hari ini dengan cerahnya. Suara mobil dan motor semakin ramai tanpa berhenti sekalipun membiarkan hari menjadi sepi. Pagi itu masih pukul enam pagi, dan wanita cantik berambut panjang bernama lengkap kanatta Rania Putri kini sedang merapikan rambutnya di depan cermin. Setelah dirasa cukup rapi, ia pun memakaikan bandu seperti biasa di kepalanya. Rania tersenyum melihat dirinya sendiri di depan cermin. Namun karena bibirnya terlihat pucat, ia pun mengoleskan sedikit lipbalm di bibirnya. Kala itu, Rania meringis kesakitan saat lipbalm itu menyentuh sudut bibirnya karena terdapat luka biru.
*flashback on
"dari mana aja kamu? " tanya Natta saat Rania baru saja membukakan pintu. Di sana ada juga kakak, adik, dan ibunya yang sepertinya sedang menunggu Rania pulang.
Ini memang Pertama kalinya Rania pulang setelat ini sehingga ia dapat menduga jika ayahnya akan sangat marah besar.
"sayang, kamu dari mana nak? " tanya Dewi lemah lembut berbeda dengan ayahnya yang bertanya penuh emosi.
"Rania abis sama temen" jawab Rania sambil menundukan kepala.
"abis main? Iyah? Main aja terus. Dan lupa sama belajar. Sekalian aja nanti malem kamu pulang, atau gak usah pulang sekalian. Ayah gak butuh anak yang pembangkang seperti kamu" ucap Natta penuh emosi.
Kemarahan Natta memang selalu membuat Rania menangis, namun kali ini perkataan ayahnya begitu menyakitkan baginya.
"ayah" Dewi dan Randy berusaha menegur Natta. Namun karena emosi nya yang bergejolak, Natta malah menampar Rania dengan cukup keras sehingga meninggalkan darah di bibir Rania.
Semua orang yang ada di sana sangat kaget dengan prilaku Natta. Renzy yang awalnya tidak begitu peduli sekarang mulai merasa iba terhadap kakak perempuan satu-satunya ini.
Tangis Rania semakin pecah. Dewi berusaha merangkul Rania begitu pun dengan Randy yang heran dengan sikap ayahnya kali ini yang begitu keras.
*flashback off
Setelah semua persiapannya telah selesai, Rania pun keluar dari kamarnya dan berniat akan berangkat. Ketika akan berjalan menuju pintu, Dewi memanggilnya karena keluarganya sedang sarapan pagi. Rania pun segera menghampiri sang ibu menuju meja makan.
"sarapan dulu sayang. Dari kemaren kamu belum makan kan? " ucap Dewi sambil menyinduk nasi ke dalam piring
"gak usah, Bun. Rania langsung berangkat aja" ucap Rania yang saat ini belum berani melihat wajah ayahnya.
"lohh dek, sarapan dulu lah. Kasian Bunda udah masak buat kita" ucap Randy
"iya nih, kasian Bunda" sambung Renzy dengan nada seakan tak peduli
"biarin aja. Dia memang anak pembangkang" ucap Natta sambil terus melahap makanannya.
Dan lagi, ucapan Natta selalu membuat Rania ingin menangis. Namun ia coba tahan di depan Ibunda dan kedua saudaranya.
"ayah, udah cukup" ucap Dewi mencoba menghentikan aang suami agar tidak selalu menyudutkan anak perempuan satu-satunya itu
"iya, Yah. Jangan terus mojokin Rania" ucap Randy menyetujui
"kalau gitu Rania berangkat Bun, kak, Ayah" ucap Rania kemudian berpamitan kepada Dewi, Randy, lalu terakhir kepada ayahnya.
Suasana pun kembali menjadi tegang. Setelah tubuh Rania menghilang terhalang pintu, Dewi juga tak melanjutkan sarapannya.
"kalau Rania sakit gara-gara kamu, Mas, aku gak akan pernah maafin kamu" ucap Dewi kepada Natta. Sementara orang yang diajak bicara hanya bersikap tenang sedari tadi tanpa rasa khawatir sedikit pun.
"anak kamu yang gak mau makan. Berarti dia yang gak peduli sama dirinya sendiri. Bukan karena aku" jawab Natta dengan wajah watados nya
"Rania seperti itu karena sikap keras kamu. Aku gak ngerti lagi sama jalan pikiran kamu. Dan rasa peduli kamu sebagai orang tua, ayah mana yang tega menampar anak perempuannya,Rania cuma pulang telat sekali dan itu pun masih dalam batas wajar. Dia masih remaja, mas, kasih dia kebebasan sedikit aja" ujar Dewi yang tak tahu lagi harus mengatakan apa lagi kepada suaminya itu
Karena emosi nya sudah tak bisa ditahan lagi, dengan keras Natta menggebrak meja makan sampai Randy dan Renzy pun kaget.
"aku adalah seorang ayah,aku yang mendidik Rania agar mempunyai masa depan yang lebih baik dari pada ayahnya ini. Aku tak ingin Rania sama seperti aku yang bodoh ini. Tak ada satu pun ayah yang ingin anaknya menderita. Dan ingat Rania itu seorang wanita. Jika aku longgar mendidik dia, dia akan terbawa akan lingkungan buruk di luaran sana. Kita tak pernah tahu akan hal itu. Dan jika Rania hamil diluar nikah, siapa yang akan menanggung malu? Aku. Aku, Dewi. Aku" Ucap Natta penuh penekanan kemudian pergi meninggalkan meja makan. Dewi, Randy, dan Renzy hanya bisa terpaku setelah mendengar ucapan Natta.
.
.
.
.
.
.
.
Saat waktu istirahat tiba, Rania pergi ke kantin sendirian. Suara cacing di perutnya sudah berteriak sejak tadi. Dari kemarin, ia juga belum menyempatkan untuk makan sementara tenaganya sudah sangat terkuras habis.
Di saat dengan nikmatnya Rania melahap makanan ke mulutnya, dari belakang Ali mengagetkannya sehingga hampir membuat Rania tersendak.
"lagi makan lo? " tanya Ali basa-basi kemudian duduk di kursi depan Rania yang kosong.
"bukan. Ya iyalah lagi makan. Lo gak lihat apa. " jawab Rania sensi
"ya biasa aja dong jawabnya. Sensi amat"
"udahhh stop. jangan gangguin gue makan. " ucap Rania
Ali hanya tersenyum melihat sikap Rania yang sangat lucu baginya. Ia melihat suapan demi suapan makanan yang masuk ke mulut Rania. Terlihat begitu enak. Sampai mata elangnya tertuju pada luka di sudut bibir Rania. Ia pun mendongakan wajah Rania ke arahnya sehingga kini kedua wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja. Sementara Rania, jantungnya berdetak lebih kencang melihat tatapan Ali sedekat ini.
"ini kenapa? " tanya Ali sambil mengusap sudut bibir Rania yang luka.
Karena perasaan Rania semakin tak karuan, ia pun melepaskan tangan Ali dan menjaga jarak dengannya dengan salah tingkah.
"gue--gue jatoh" jawab Rania berbohong
"gak mungkin. Kalau lo jatoh gak mungkin lukanya kayak gini. Orang semalem gue anterin pulang juga lo baik-baik aja kok" ucap Ali yang mulai curiga
"gue emang jatoh"
"emang lo jatoh kayak gimana? Tengkurep? " tanya Ali
"ya--ya gitu pokonya. Udah deh, gue lagi makan juga. Jangan so peduli dan jangan ganggu makan siang gue" ucap Rania kemudian kembali memakan sisa makanannya. Walaupun jantungnya masih belum normal. Sedangkan Ali yang masih tersenyum hanya melipat kedua tangannya di dada melihat Rani yang sedang makan.
"lo gak makan? " tanya Rania setelah melihat Ali yang tak kunjung memesan makanan.
Ali pun hanya menggelengkan kepala.
"kenapa? " tanya Rania lagi
"lagi males aja"
"makan kok males sih. Ohh yah BTW permintaan lo apa? " tanya Rania
"permintaan apa? " Ali balik bertanya karena tak mengerti dengan pertanyaan Rania.
"waktu itu lo kan udah nolongin gue dari preman terus gue kan udah janji kalau lo nganterin gue pulang, gue bakalan nurutin semua permintaan lo" jawab Rania
"ohhh iya iya iya iya" ucap Ali baru ingat akan perjanjian itu
"jadi apa permintaan lo? " tanya Rania lagi
Ali berpikir cukup lama. Sementara Rania yang telah selesai menghabiskan makanan nya sejak tadi menunggu dengan fokus permintaan dari Ali.
"nanti aja deh" ucap Ali kemudian
"lohh kok nanti? Terus ngapain so so an mikir kalau gitu? " ucap Rania kesal
Ali pun hanya tertawa karena merasa telah berhasil mengerjai Rania.
"udah deh sebutin aja apa permintaan lo? Biar gue gak terus-terusan berutang sama lo"ucap Rania
"nanti aja Kanatta Rania Putri" jawab Ali
"gue traktir aja deh. Gimana? " tanya Rania
"gak" jawab Ali singkat
Sementara Rania hanya mengerucutkan bibirnya. Dan melihat Ali dengan kesalnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
Seorang wanita berseragam putih abu berjalan di jalanan sepi. Hari ini belum cukup malam. Masih sore. Dan ia meyakini tak akan ada orang jahat yang menganggunya kali ini. Beberapa angkot melewatinya namun tak ada sedikit pun niatnya untuk naik angkutan umum itu. Bukan karena tak punya uang juga, namun kali ini berjalan kaki lebih menyenangkan baginya.
Jarak dari rumahnya ke sekolah tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat juga. Hanya butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai jika berjalan kaki. Karena tenggorokan yang mulau kering, ia membeli terlebih dahulu air mineral di mini market yang dilewati. Sampai tak lama kemudian terdengar bunyi motor berhenti di sampingnya setelah kembali berjalan.
"Raniaaa" panggil seseorang dengan suara berat yang sepertinya tak asing di telinganya. Rania pun menoleh.
"lo masih inget gue kan? " tanya lelaki itu yang telah menuruni motor merahnya
Setelah beberapa menit mengerutkan kening, akhirnya Rania melengkungkan bibirnya lebar. Dan seperti sebuah virus yang menular, cowok itu pun tersenyum lebar juga.
"jangan-jangan lo udah lupa ya sama gue? " tanya nya lagi walaupun Rania tahu kalau itu hanya candaan
"iya, gue lupa sama lo. Kalau gak salah nama lo Alex kan? " Rani membalas candaan cowok yang baru saja ia sebut namanya.
Tawa renyah pun menggema diantara mereka. Dan agar lebi santai, mereka pun ngobrol di bawah pohon yang taj jauh dari sana.
"apa kabar lo? " tanya Alex
"baik. Lo gimana? " tanya Rania balik
"belum ada kabar, nanti kalau ada di kabarin"
Rania kembali tersenyum.
"lo sekolah dimana? " tanya Alex
"di sekolah daerah sini"
"ohh"
"lo? "
"di sekolah daerah sana"
"apaan sih lo"
Alex adalah teman Rania waktu SMP. mereka berada di sekolah yang sama kala itu. Alex anak yng cukup nakal selama di sekolah dan Rania lah satu-satunya orang yang berani terhadapnya. Dan entah kenapa, mereka jadi akrab sampai sekarang. Dan selain itu juga, Alex orang yang cukup humoris sehingga tak ada alasan bagi Rania untuk tak berteman dengannya. Kemudian setelah lulus, mereka tak pernah bertemu lagi dan tak pernah saling tahu. Dan sekarang mereka kembali bertemu di sini.
"udah lama tahu kita gak ketemu, sekitar dua tahunan kali ya? " ucap Alex
"iya kayaknya, setelah lulus gue gak pernah lihat lo lagi"
"sama"
"gue kira lo di luar kota, atau paling enggak di pesantrenin sama bokap lo"
"tadinya sih emang gitu. Tapi karena takdir gue di sini ya udah"
"takdir apaan"
Tak sengaja pandangan Rania terfokus pada jaket hitam Alex yang tertulis jelas nama Tyrex di depannya. Namun ia tak menghiraukannya, mungkin saja memang itu nama jaketnya kan? Atau nama salah satu spesies dinosaurus mungkin.
"lo ngapain tadi jalan kaki? Pulang sekolah? " tanya Alex
"iya"
"tumben, dulu aja lo paling benci sama yang namanya jalan kaki dan alesannya takut item. Hahaha" Alex tertawa receh diikuti Rania setelahnya.
"gue boleh minta nomor lo gak? Ya---biar gampang aja komunikasi" ucap Alex
"sini handphone lo"
Alex kemudian mengeluarkan ponselnya lalu memberikannya pada Rania. Setelah beberapa menit, ponsel itu Rania kembalikan.
"terus sekarang lo mau kemana? Pulang? Mau gue anterin? " tanya Alex
"gak papa nih? "
"ya elah. Lo kayak siapa aja. Udah ayo"
"oke deh"
Sebenarnya Rania sedikit merasa kurang nyaman, entah karena penampilannya yang berbeda, entah karena mereka telah lama tidak bertemu, dan entahlah, Rania merasa Alex benar-benar banyak berubah.