Di sisi lain, Zia yang mempunyai jadwal kuliah hari ini sama dengan Arya, baru terbangun pukul 7 pagi. Sedari dulu Zia memang terkenal orang yang sering terlambat ketika datang ke sekolah. Saat SMA, pihak sekolah membuat ketetapan jika Kegiatan Belajar Mengajar dimulai pukul 6:30 pagi. Namun pada jam segitu, Zia justru baru berangkat dari rumahnya, walau rumah cukup dekat dari SMA-nya dulu. Beruntung kedisplinan SMA mereka kurang konsisten dalam memberi hukuman pada murid-muridnya yang sering terlambat.
Buktinya meski Zia sering terlambat, dia jarang sekali mendapat hukuman dari pihak SMA. Namun Zia sendiri tak pernah merasa bersalah meski dirinya selalu terlambat seakan ia yakin tak ada guru manapun yang memberinya hukuman. Meski sering kali terlambat bukan berarti Zia murid yang nakal pada zamannya.
Saat SMA, Zia berada di kelas unggulan. Namun di kelas itu kepintarannya hanya berada di rata-rata, tak sampai jenius yang mampu menduduki peringkat 10 besar paralel. Hanya saja nampaknya Zia berada di SMA terdahulu bukan karena keinginannya sendiri, melainkan karena nilainya terlalu pas-pasan ketika melakukan Ujian Nasional, sehingga ia tak bisa mendaftar di SMA ternama.
Berbeda dengan Arya yang kebetulan memasuki SMA itu karena ajakan teman SMP-nya sebanyak 5 orang. Arya sendiri juga sadar jika kemampuan belajarnya di bawah rata-rata. Sehingga ia mendaftar SMA yang biasa-biasa saja, namun memiliki ekstrakulikuler basket yang maju.
...
Pagi itu, Zia dibangunkan oleh ibunya karena setengah jam lagi ia akan memasuki jam kuliah. Entah bagaimana nasib Zia jika memiliki ibu yang tak peduli dengan urusan kuliahnya. Ibunya Zia pun tak semudah itu membangun anaknya. Ia telah membangunkan anaknya dari jam setengah 7 pagi, namun anaknya tetap tak merasa terganggu.
Bergerak satu inci pun tidak. Bahkan dengan berbagai cara juga dilakukan ibunya untuk membangunkan Zia. Menyalakan lampu kamar, mematikan kipas angin, memukuli pantanya berulang kali, bahkan sampai mengetuk anaknya dengan sapu lidi yang biasanya digunakan untuk membersihkan kasurnya. Namun Zia tetap saja tak bangun dari tidurnya, dan menikmati alam mimpinya. Hingga pukul 7:10, ibunya mulai jengkel dan langsung menyiram anaknya dengan air menggunakan ember kecil
Sontak Zia langsung terbangun, pandangannya melihat ke seluruh sudut hingga akhirnya melihat ibunya di depan wajah kasurnya sembari membawa ember. Mata Zia yang belum terbuka sepenuhnya, kesadarannya belum berkumpul sepenuhnya, melihat ibunya sedikit buram seakan matanya matanya minus.
"Ada apa, mah? Kok pagi-pagi udah marah? Mana sampai siram air lagi," kata Zia kepada ibunya, wajahnya terlihat kesal.
Namun wajah ibunya jauh lebih kesal dibanding Zia. "Gimana mama gak marah? Kamu katanya kuliah jam setengah delapan! Kok jam segini belum bangun. Mau berangkat jam berapa coba?!" bentak ibunya, tak sengaja membanting ember di hadapannya.
Melihat ibunya marah, Zia membalasnya dengan tidur kembali dan tak jadi berangkat kuliah. Sebelum kembali tidur, ibunya diusir dari kamar dengan halus. Melihat anaknya bertingkah kurang ajar, ibunya mulai mengadu pada ayahnya.
"Pah, coba lihat anakmu itu. Katanya mau kuliah tapi malah marah-marah gak jelas terus tidur lagi. Gimana gak jengkel mamah," ujar ibunya mengungkapkan kekesalannya.
"Mau gimana lagi, ma. Mama aja marahin dia kayak gitu, banguninnya kasar pula. Gimana Zia gak marah coba," ujar ayahnya, justru membela Zia.
"Kenapa papah jadi bela Zia? Jelas-jelas anak kita salah lo! Bukannya cepat-cepat bangun mau kuliah, malah tidur lagi. Kesel mamah," ibunya merajuk, membuang muka dari pandangan ayahnya Zia. Ayahnya pun hanya menghela napas, mengalah pada istri tercintanya.
"Ya udah, papah aja yang bangunin Zia. Mamah lanjut masak aja gak papa. Papah udah lapar juga nih," kata Ayahnya Zia sembari terkekeh pelan.
Kemudian berjalan menuju kamarnya Zia. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, ayahnya langsung dan membangunkan Zia dengan perasaan lemah lembut. Namun tetap saja Zia tak merespon perkataan ayahna. Melihat Zia merajuk layaknya bocah cilik, ayahnya pun sedikit mengancam anaknya.
"Zi, kalau kamu gak bangun sekarang, liat aja akibatnya nanti. Uang saku mu buat beli rokok ayah kurangi, biar kamu kapok tiap mau sekolah atau kuliah bangunnya kesiangan terus."
Seketika Zia langsung bangkit, kedua matanya terbuka lebar-lebar. Melempar guling kesayangannya dan membiakkan selimut lembut yang selalu menyerap dingin tiap malamnya. "Jangan dong, pah. Kalau aku gak merokok, gimana aku bisa hidup tenang?" kata Zia wajahnya sekejap lebih segar dari sebelumnya.
"Ya udah makanya cepat bangun. Papah sama mamah mu bayarin kuliah bukan buat kamu tidur dan bangun lebih siang. Buruan sana, nanti mamah mengamuk lebih dari ini bisa gawat papah." Curhat sang ayah, selalu kena marah jika Zia berbuat kesalahan.
Mendengar perkataan ayahnya, Zia tertawa terbaha-bahak sembari mengumpulkan kesadaran. Setelah itu mereka berdua meninggalkan kamarnya. Zia menuju rumah bagian belakang untuk mengambil handuk yang tergantung di jemuran, lalu menuju kamar mandi sembari tergesa-gesa mengetahui jika jam kuliah akan segera dimulai 20 menit lagi. Ketika mandi pun ia juga terburu-buru bahkan belum sampai 5 menit, ia keluar dari kamar mandi dan langsung menuju kamar.
Meski begitu, kedua orang tuanya jarang sekali mempertanyakan hal tersebut pada Zia. Ia cepat-cepat menggunakan kemeja polos berwarna biru muda yang begitu terang, seakan mencolok mata siapapun yang melihat langsung kemejanya.
Menggunakan celana panjang berbahan kain katun berwarna krim, dengan sabuk pinggang berwarna coklat. Dengan gaya penampilannya seperti itu, Zia terkesan lebih mirip pegawai kantoran dibanding mahasiswa yang mengambil Jurusan Olahraga.
Karena telah memasuki minggu kedua, Zia membawa baju latihan, untuk berjaga-jaga ketika dosen menyuruh mereka untuk melakukan praktek suatu olahraga. Kemudian ia keluar dari kamar dan langsung meminta uang saku pada ayahnya sembari menjulurkan tangannya.
"Gak sarapan dulu? Nanti kamu kelaparan lo. Ada jadwal praktek hari ini?" tanya ayahnya setelah dikejutkan Zia yang tiba-tiba menjulurkan tangannya, meminta uang saku.
"Udah terlambat, pah. Kalau sarapan sekarang yang ada aku gak boleh masuk kelas," balas Zia, tangannya digerakkan semaki lebih cepat.
"Makanya kalau dibangun tuh bukannya balik tidur. Udah tahu mau kuliah," sela ibunya, kembali memarahi anaknya. Namun Zia sama sekali tak menaggapi dan terus menatap sang ayah.
Ayahnya pun seketika memberinya uang saku meski tak bisa sarapan bersama anaknya. Setelah menerima uang saku yang lebih dari cukup, Zia langsung mengambil sepatu di rak sepatu, dan menggunakannya cepat-cepat. Memanaskan mesin sepeda motor lalu berangkat dengan kecepatan tak normal.
Sesampai di parkiran depan fakultas, ia melihat jam tangannya pukuk 7:25. Masih ada 5 menit untuk ia mengambil napas, sebelum memasuki waktu perkuliahan.
Bantu review dan kirim power stone ya guys. Ikuti terus cerita AvA (Athlete vs Academician). Thanks ^_^