Sesampainya di rumah. Maya menatap rumah Andika. "Ini rumahmu Andika?"
"Memangnya kenapa?" Andika bertanya
"Sepertinya biasa sekali. Aku kira rumahmu jauh lebih besar dari ini."
"Kau kira aku ini anak manja. Kau lupa kejadian beberapa hari lalu."
"Iya juga sih. Ayahmu sampai merusak ruangan latihan."
Andika membuka pintu. Dia masuk lalu melepas alas kakinya. "Ayo masuklah." Mengajak Maya masuk.
"Permisi." Maya masuk. Melepas alas kakinya.
Datang adik perempuan Andika yang bernama Megina. "Oh kak Andika sudah pulang." Melihat ke arah Maya.
"Megina ibu sudah pulang?" Tanya Andika.
"Ibu sedang memasak di dapur. Oh iya kakak siapa perempuan di sampingmu?" Megina bertanya.
"Oh dia~
"Oh kakak yang di samping itu pacar kakak." Megina langsung lari ke dalam dapur.
"Hah." Maya kaget.
"Hei Megina jangan lari."
Di dapur. Hamida sedang masak untuk makan malam. "Oke sip. Hampir matang." Habis mencicipi masakan yang dia buat.
Megina menghampiri ibunya. "Bu, ibu tahu. Hari ini kak Andika membawa pacarnya ke sini."
"Hmm mungkin kurang garam." Sibuk dengan masakannya.
"Ibu dengar tidak sih."
"Oh iya. Kenapa anak ibu yang manis."
"Bu hari ini kak Andika membawa pacarnya ke sini."
"Oh kamu serius." Hamida kaget.
Beberapa menit kemudian di meja makan.
"Ya ampun, ibu sudah tidak sabar memberi tahu ayahmu."
"Memangnya kenapa?" Fadla bertanya.
"Itu loh kakakmu." Mengedipkan matanya ke arah Andika.
"Sudahlah. Bu dia hanya teman sekelasku."
"Oh. Jadi kalian juga sekelas." Kata Hamida.
"Sudahlah hentikan. Bu, apa ibu punya baju seukuran dengannya?" Andika bertanya.
"Tenang saja untuk pacarmu semua pasti ada."
"Sudahlah bu."
Hamida pergi bersama Maya mencari baju untuk di pakai Maya.
"Kak Andika jadi siapa namanya? Aku penasaran." Tanya Megina.
"Kau bisa diam tidak. Semua ini ulahmu."
"Hehehe. Maaf."
Tok tok tok suara pintu diketuk.
"Biar aku yang buka." Kata Megina.
Megina berlari menuju pintu. Ternyata yang datang adalah ayahnya yang sedang kelelahan. Dia duduk sambil membuka alas kakinya.
"Ayah, kau tahu tidak."
"Tidak, kalau mau bertanya nanti saja ayah lelah."
"Hmp." Megina cemberut.
"Iya kenapa, anak ayah yang cantik." Mengelus kepala Megina.
"Hari ini, kak Andika membawa pacarnya ke sini."
"Iya lalu. Tunggu tadi siapa? Pacar? Siapa Andika?" Sukirto kaget.
Megina mengangguk.
"Di mana Andika sekarang?" Tanya Sukirto ke Megina.
"Di ruang makan."
Sukirto berlari ke ruang makan, menghampiri Andika lalu berkata. "Kau boleh juga Andika, di umurmu yang ke enam belas tahun sudah bisa punya pacar. Nice." Menunjukkan jempolnya.
"Tuh kan jadi tidak jelas." Kata Andika.
"Jadi di mana pacarmu itu?" Tanya Sukirto.
"Kalau wanita tadi, dia bersama ibu. Sedang mencari baju, tadi dia ke sini basah kuyup." Kata Fadla.
"Oh begitu."
Tak lama kemudian.
Hamida dan Maya datang ke ruang makan. "Tada. Bagaimana baguskan bajunya. Bagaimana Andika cantik bukan?"
"Biasa saja." kata Andika.
"Jangan begitu Andika. Walaupun baju itu biasa, tapi ketika dipakai oleh orang yang spesial bagi kita. Maka baju itu tampak seperti baju mahal yang tiada bandingnya di dunia. Ya walaupun itu baju lama ibumu saat bertemu dengan ayah dulu." Kata Sukirto berkata sambil duduk di meja makan.
"Wah jadi ingat dulu ya."
"Iya. Ha ha ha ha hahh." Menundukkan kepalanya Sukirto ingat kenangan dulunya yang selalu diperintah oleh Hamida.
Hamida. Menyuruh Maya duduk di samping Andika.
"Oh iya, jadi kalian sudah berapa lama pacaran?" Tanya Sukirto.
"Ayolah, dia hanya teman sekelas." Kata Andika.
"Oh. Jadi kalian juga teman sekelas."
"Ahh, jadi tambah ribet. Hei kau bilang sesuatu dong." Kata Andika ke Maya.
"Se-sesuatu." Maya bingung bicara apa karena menahan malu.
"Aku serius Maya."
"Sebenarnya. Kami tidak pacaran paman, kami hanya teman sekelas."
Suasana hening seketika.
"Ah masa." Kata Sukirto dan Hamida.
"Kalian masih tidak percaya." Kata Andika.
"Iya-iya kami tahu. Kami minta maaf ya nona atas kejadian hari ini. Padahal kami kira kau sungguh punya pacar loh." Kata Sukirto.
"Terserahlah." Kata Andika.
"Oh iya dari warna ~
Oh iya juga. Aku lupa bilang sesuatu kalau di novel ini setiap Klan biasanya berbeda warna rambut tapi terkadang juga tidak. Seperti warna rambut Klan Kisana putih tapi rambut Fadla berwarna hitam. Ya seperti itulah. Nanti juga akan aku beri tahu.
~ merah rambutmu kau dari Klan Rena ya?" Tanya Sukirto.
"Ya." Kata Maya.
"Sudahlah bicaranya dilanjutkan nanti saja nanti makanannya nanti jadi dingin." Kata Hamida.
"Iya juga ya. Jangan sungkan ya kalau mau tambah tinggal bilang."
"Iya." Maya mengangguk.
Mereka makan dengan lahap. Seperti biasa habis sampai tidak tersisa satu pun. Sesudah makan mereka melanjutkan percakapan mereka tanpa Fadla dia beralasan ada banyak tugas.
"Oh iya. Andika tadi kau bilang nama temanmu Maya bukan."
"Iya." Kata Andika
"Oh Maya, anak dari Raika." Kata Hamida.
Maya mengangguk.
"Dulu ayahmu itu sangat terkenal loh. Banyak perempuan yang suka padanya."
"Memang benar ibu Andika."
Hamida mengangguk, "Iya. Hampir semua kelas membicarakannya dan banyak pula perempuan yang sering menaruh surat cinta di laci mejanya. Tapi semua surat itu dia buang."
"Kenapa?"
"Itu karena ibumu ~
"Hamida!" Sukirto memberi peringatan kepada Hamida.
"Tidak apa-apa paman. Lagi pula aku ingin tahu seperti apa ibuku."
Hamida melanjutkan ceritanya, "Ibumu dulu adalah murid yang baik. Walaupun dia kurang dalam hal tertulis."
"Oh seperti itu." Kata Andika.
"Kenapa kak Andika?" Megina bertanya.
"Tidak, tidak ada apa-apa."
"Walaupun seperti itu dia pernah loh membanting ayahmu sangat keras sampai tulangnya patah. Untung saja ayahmu Klan Kisana jadi lukanya langsung sembuh." Hamida berkata ke Andika.
"Wah aku baru tahu ada yang bisa mengalahkan ayah selain ibu." Kata Megina.
"Memangnya kenapa bisa sampai begitu?" Tanya Maya.
"Dulu saat itu aku tahu kalau ibumu dan ayahmu sama-sama saling suka. Jadi aku menantangnya, jika aku menang, ibumu dan ayahmu harus pacaran. Tapi ibumu dulu sangat pemalu, ibumu tetap menyimpan perasaannya pada ayahmu. Dia menerima tantangannya tapi kalau ibumu menang, aku harus menutup mulut kalau ibumu menyukai ayahmu. Baru juga mulai, aku langsung dibanting dengan keras." Kata Sukirto.
"Yaa, dulu ibumu hampir masuk pemegang sepuluh besar kursi kelas S, tapi karena dia gagal di pelajaran tertulis jadi tidak bisa masuk." Kata Hamida.
"Jadi seperti apa wajah ibuku itu?" Tanya maya sangat penasaran.
"Rambutnya hitam panjang cantik apalagi kalau di kuncir, tingginya kira- kira sebahu ayahmu, kuat walaupun dia masih kalah denganku." Kata Hamida.
"Iya deh. Pemegang kursi kedua kelas S."
"Ah ayah bisa saja. Ayah juga sama walaupun kursi ke lima."
"Lalu ada lagi?"
"Ya. Dia sangat suka hal-hal bela diri, dia hampir bisa semua teknik berpedang bahkan yang paling sulit seperti teknik sepuluh kali tebasan dalam satu ayunan. Padahal pamanmu hanya bisa delapan kali tebasan dalam satu ayunan lho Andika."
Andika hanya diam.
"Memangnya sesulit itu ya tekniknya?" Tanya Maya.
"Kalau seumuran kalian sangatlah sulit, tapi kalau kalian terus berusaha pasti bisa melebihi itu. Kau tahu pedang emas milik Klan Rena. Ayah dan ibumu adalah orang pertama dan kedua yang bisa menggunakan "ketajaman enam belas kali". Para pemimpin Klan Rena dulu hanya bisa sampai "ketajaman empat kali" mungkin sampai delapan tapi hanya sedikit." Kata Hamida.
"Jadi intinya adalah terus latihan, terus latihan, terus latihan." Kata Sukirto.
"Oh iya paman. Tadi bibi bilang kalau dia ada di bangku kedua. Yang pertama siapa?" Tanya Maya.
"Oh kalau yang di bangku pertama ~
Andika memotong pembicaraan. Andika berdiri dari bangkunya. "Maya kau ingin pulang tidak biar aku temani."
Maya mengingat waktu, Karena terlalu asyik bicara sampai lupa waktu. Dia terkejut karena sudah malam.
"Wah cepat sekali, sudah mau pulang." Kata Sukirto.
"Iya paman besok juga masuk sekolah." Kata Maya.
"Ya sudah kalau begitu, hati-hati di jalan. Andika jangan ke tempat-tempat gelap ya." Kata Sukirto.
"Aku tidak akan segitunya ayah." Balas Andika.
Andika mengantar pulang Maya.
Sepertinya Andika belum bisa menerimanya ya."
"Ya."
"Oh iya buatkan aku kopi dong. Sudah lama aku tidak minum kopi buatanmu." Kata Sukirto.
"Ayah nanti tidak bisa tidur lho."
"Kau yakin. Malam ini kau juga tidak akan ku biarkan tidur lho." Sukirto tersenyum.
Hiraukan saja candaan orang dewasa.
"Ayah ada Megina di sini." Menyikut Sukirto.
"Kenapa? ayah dan ibu mau begadang semalaman?" Megina bingung.
Di jalan.
"Andika tadi kira-kira yang berada di kursi pertama. Siapa ya?" Maya bertanya ke Andika dijalan.
"Oh dia pamanku."
"Seperti apa dia?" Tanya Maya.
"Maaf aku tidak mau membicarakan orang yang sudah lama tidak ada."
"Maaf aku tidak tahu."
"Tidak apa-apa. Rumahmu masih jauh?"
"Tidak, 5 belokan lagi juga sampai."
"Itu lumayan namanya."Andika menarik baju Maya ke arah lain. "Ayo lewat sini saja biar cepat." Mengarah ke gang kecil sepi dan gelap.
"Kau yakin aku tidak pernah lewat sini sebelumnya."
"Aku biasa lewat sini."
Mereka terus berjalan melalui gang itu. Sepi, gelap, dan sunyi. Awalnya mereka biasa-biasa saja melewati gang itu, tapi mereka dicegat oleh seseorang.
"Kau dari Klan Kisana ya?" orang misterius itu bertanya.