“Tuh kan, Kakak bohong! Terus gimana? Kita enggak bawa jas hujan.” Matanya menyorot tajam menyalahkan sang kakak. Aku pun terkekeh jadinya. Aku memang merasa bersalah karena sudah menyarankan Nazwa untuk langsung pergi tanpa membawa jas hujan.
Tapi, harus bagaimana lagi? Aku bukan Dewa yang bisa menghentikan hujan seketika. Aku juga bukan pesulap yang bisa berkata Bim Salabim dan keajaiban datang. Dan aku juga bukan Jin dalam botol yang bisa mengabulkan permintaan adik cengengku ini.
“Jadi kamu maunya gimana? Mau nerobos atau tunggu sebentar?” tanyaku. Memberikan pilihan pada Nazwa. Nazwa tidak sukan hujan, berbeda denganku yang selalu merasa tenang jika hujan membasahi bumi. Apalagi di malam hari. Dia seperti nada-nada romantis yang menemani.
Nazwa merajuk. Bibirnya mengerucut, alisnya saling bertemu dan matanya membulat sempurna. Melihatnya seperti itu, aku pun jadi tertawa.
“Sudah malam. Hujan juga tidak akan reda.” Malik ikut nimbrung di tengah perdebatan kami.
Hujan tidak menyentuh orang-orang yang sedang makan nasi goreng. Karena tempat ini teduh. Jadi, saat ini nampaknya yang khawatir soal cuaca hanya Nazwa dan aku saja. Malik pun juga terlihat tenang, padahal rumahnya cukup jauh dari sini. Katanya tadi kan lumayan jauh. Walaupun aku tidak tahu pasti seberapa jauh.
Aku tidak mengerti dengan ucapan malik barusan. Sesudah dia berucap, Malik pun berjalan menuju motornya. Dia terlihat membuka bagasi motor. Tempat motornya terparkir kehujanan, jadinya Malik juga sedikit basah saat dia kembali.
Malik berdiri di hadapanku yang masih mematung melihat hujan lebat yang mengguyur jalanan.
Malik kemudian menyodorkan jas hujan. “Pake saja punyaku. Ini jas hujan yang lebar, jadi bisa dipakai berdua. Kamu bisa mengembalikannya besok di sekolah.”
Aku masih enggan menerimanya. Tapi kulihat Nazwa mengangguk-angguk. Dia menyuruhku menerima. Lantas kuterima saja, sambil kutanya, “terus nanti kamu pulangnya gimana?” Aku khawatir. Enggak enakkan kalau yang punya jas hujannya malah kehujanan?
Malik tersenyum. “Di bagasi ada jas hujan juga. Jas hujan seharga tiga belas ribu, yang kubeli dari toko swalayan, hehe. Jangan khawatir, Mit! Aku aman. Kasihan adikmu. Takutnya nanti sakit.”
Aku pun tersentuh. Bukan karena kebaikan Malik juga sih. Tapi, pada ucapannya barusan. Kenapa harus disebutin juga harga jas hujan murah itu? Dasar konyol! Kukira dia bukan orang yang suka membuat humor di tengah hujan besar begini. Ya, itu sebagian dari humor. Masa sombong ya, kan? Membeli jas hujan murah bukanlah kesombongan.
Kerendah hatian? Bukan juga. Tapi itu lebih kebersifat humornya Malik.
“Terima kasih Malik, besok aku kembaliin ya.”
Malik mengangguk. Dia terlihat sangat ikhlas meminjamkannya. Aku dan Nazwa pun segera menuju ke motor. Kami berniat menerobos hujan dengan pinjaman jas dari Malik, si pemuda baik hati. Yaelah.
Kulihat Malik masih memerhatikan. Dia berucap pelan. Kutahu apa yang diucapkannya itu.
“Hati-hati di jalan!”
Ya Alloh kok hati ini semakin berdebar ya. Aku jadi salah tingkah ingin buru-buru pergi. Bukan ingin segera menjauh dari Malik. Tapi lebih ke salah tingkahnya saja. Hihi.
Iya Malik, aku akan berhati-hati. Jalanan memang lebih licin saat hujan. Tapi, apakah Malik tidak tahu kalau hatiku lebih licin jika berhadap-hadapan dengannya? Seperti ada yang main seluncuran di dalam hatiku ini. Kalian tahu rasanya? Ser-seran enggak jelas gimana gituh.
Eh, Mita! Lagi-lagi mudah baper gini. Ya Alloh. Aku sepertinya harus diruqiyah. Panah asmara Malik masuk jadi roh halus yang terus melonglongkan namanya.
Kenapa selalu soal makanan, ya? Pas di sekolah saat di kantin, dan sekarang membeli nasi goreng. Tak bisakah jika suatu hari nanti yang kita bahas itu soal tunangan?
Hahahaha. Haluku, di malam-malam seperti ini.
Aku masih senyum-senyum sendiri. Air hujan yang menyentuh tangan dan wajahku rasanya sejuk. Menyegarkan sekali.
Nazwa yang duduk di belakangku masih anteng terdiam. Tumben dia tak mengoceh. Aneh sekali. Tapi biarlah. Mungkin Nazwa kedinginan.
Ternyata saat pulang, biarpun hujan. Waktu terasa lebih cepat dibanding saat berangkat. Rumahku saja sudah terlihat, tinggal berhenti sebentar untuk membuka pagar.
“Nazwa, kamu turun dulu. Bukain pagar,” kataku. Tapi Nazwa tetap saja diam. Kenapa anak ini? Ngambek? Ah, masa iya. “Nazwa cepet ih.” Aku kesal. Tapi tak kunjung terdengar jawaban darinya.
Ku seperti ngomong dengan angina atau juga seperti adegan horror yang saat kutengokkan wajah ke belakang. Hihhi. Cengir Miss Kunti memekik telinga.
Jangan, tidak boleh! Aku punya ayat kursi sebagai penangkal. Tenang saja Mita. Masa iya adikmu tiba-tiba jadi kuntilanak? Enggak mungkin.
Ya, habisnya lagi so diam-diam begini nih anak.
Aku pun menoleh ke belakang. “Naz –“ Wawww! Aku syok banget. Syok berat malah. Merinding lagi. Ke mana tuh anak? Kok enggak ada? Apa jangan-jangan Nazwa diam-diam sudah masuk ke dalam rumah?
Kutengok pagar. Tidak. Pagar masih tertutup.
Apa jangan-jangan Nazwa terjatuh dan aku enggak sadar? Ah mana mungkin. Dia kan udah gede. Bisa teriak juga.
Tunggu! Aku merenung sejenak. Mencoba tidak panik. Apa tadi Nazwa benar-benar sudah naik ke motor?
Hahaha. Aku pun lupa.
Apa tadi aku langsung melaju dan melupakan Nazwa?
Tiba-tiba motor yang tidak asing lagi di mataku pun mendekat. Lampunya menyorot ke mata. Hujan juga sudah tidak lebat lagi.
“Mita!” panggilnya.
“KakakkKKK!” teriak Nazwa yang dibonceng olehnya. Cempreng sekali.
Mampus aku. Saking terpana oleh senyumannya Malik yang bilang untuk hati-hati. Aku sampai melupakan Nazwa. Bodoh sekali aku. Kok teledor gini, sih?
Aku bengong. Malu setengah kesetrum inimah. Haaaa.
“Mit, kamu kesambet apa sih? Kok bengong gituh? Tadi kami teriakin kamu lo. Sampai si mang tukang nasi goreng juga ikut manggil kamu. Kamu lupa bawa adik kamu. Jadi aku anterian dia, kasihan.” Malik menjelaskan. Aku tidak bisa berkata-kata apa-apa lagi. Terlalu malu. Malik juga terlihat menahan tawanya.
Ini tuh bukan komedi. Aku tuh tadi bener-benar mengira Nazwa sudah naik ke motor.
Aku pun turun dari motor. Nazwa juga turun dari motor Malik. Malik masih duduk di motornya.
“Sebel! Aku ditinggal-tinggal. Aku bilangin ke Ayah sama Ibu kalau kak Mita keterlaluan. Karena kesemsem sama Kakak ini, kak Mita jadi hilang kesadaran. Sebel, ah!” Nazwa merajuk padaku. “Makasih kak Malik.” Tapi dia tidak lupa berterima kasih.
Malik tersenyum. “Sama-sama Cantik,” katanya. Sosok yang super ramah memang.
Nazwa pun mendelik padaku dan dia langsung pergi ke dalam rumah lebih dulu.
Aku pun hanya bisa menggaruk-garuk kepalaku saja. Ingin sekali kusumpit mulut tipis Nazwa yang sudah berucap tidak sopan itu. Aku kan jadi berasa tidak punya muka di depan Malik sekarang.
Malik hanya tersenyum-senyum. Semakin menambah tampan wajahnya.
“Oh ya, kamu mau masuk dulu ke rumah?” Aku basa-basi. Tapi kalau Malik mau, aku tidak akan menolak juga. Dikunjungi oleh dia, adalah sebuah kehormatan tersendiri bagiku.
Malik menggeleng. “Tidak usah Mit. Aku pulang ya.” Malik terlihat bersiap untuk pergi.
“Terima kasih ya. Maaf ngerepotin. Gara-gara aku rusuh, jadinya kamu basah kuyup gituh. Nanti aku kembaliin jasnya pas udah dicuci ya. Sekalian sama jas seharga tiga belas ribu yang udah adikku pake tadi. Maaf, Malik.” Berat sekali bibir ini untuk bicara.
Malunya bener-bener bikin pengen tiarap. Tapi harus kupaksakan menatap pada Malik. Ya ngapain juga tiarap kan? Enggak ada yang mau nembak kok. Eh, ngarep sih inimah.
Jangan pakai peluru. Kalau bisa pakai hati. Ya, mana bisa? Mungkin Malik sudah ilfeel duluan karena aku teledor. Bisa-bisanya naik motor sendiri dan Nazwa tertinggal. Orang-orang yang berteriak padaku pun tidak kudengar sama sekali.
Gara-gara terpana, bisa sebabkan tuli juga.