Unduh Aplikasi
0.55% AIR MATA PENGABDIAN SEORANG ISTRI / Chapter 2: DIPERLAKUKAN TIDAK BAIK OLEH MERTUA

Bab 2: DIPERLAKUKAN TIDAK BAIK OLEH MERTUA

Melani berjalan menuju sofa. Tidak lebih hanya karena memenuhi perintah sang Papa. Di rumah itu tak ada yang berani membantah Hardi dikarenakan ketegasan serta kerasnya hukuman yang ia berikan ke pada siapa saja yang melakukan tindak tidak terpuji. Namun bukan berarti lelaki paruh abad itu dapat berbuat sesuka hati. Sedari dulu ia selalu menerapkan kedisiplinan serta sopan santun yang baik dalam berkeluarga.

Wajah yang tidak seperti biasanya. Melani tampak menekuk kelopak mata sehingga membuat sepasang alisnya terikut. Pertama kalinya ia duduk dalam lapak yang sama dengan Rubi. Tentu saja ia tidak terbiasa.

"Temani kakakmu. Papa lihat kalian tidak pernah mengobrol bareng,"

Hardi ingat betul bahwa kedatangan Rubi pertama kali ke rumah mereka, Melani sedang berada di luar bersama teman-temannya. Selain itu, Melani juga pulang lebih awal saat pernikahan Jaya dan Rubi kemarin, mengingat ada Mama yang tidak boleh ditinggal terlalu lama.

"Bagaimana kuliahnya, Mel?" Rubi memulai percakapan.

Dara yang saat ini sedang menduduki semester enam di salah satu kampus ternama itu memutar bola mata malas. Tenggorokannya protes, seharusnya es leci itu sudah mengalir di dalam sana.

"Lancar," jawab Melani irit bicara.

Entah kenapa, Rubi seolah merasakan ada yang lain dari adik iparnya tersebut. Menurut logikanya, semua ini wajar karena Rubi yang masih berstatus sebagai orang baru menimbulkan kecanggungan di antara keduanya. Namun hatinya menolak, Melani seakan menyimpan sesuatu terhadap Rubi.

Drrrt drrrt drrrt…

Pucuk dicinta ulam pun tiba.

Dara bersurai panjang itu bersorak dalam hati, tatkala ponselnya bergetar panjang. Siapapun dia, Melani sangat berterima kasih karena sudah ditelepon pada waktu yang pas. Gegas ia meminta izin pada sang Papa untuk beranjak ke beranda guna menjawab panggilan tersebut. Tak lupa es leci yang sempat ia letak di atas meja, kini dibawa kembali.

"Ah, iya. Kapan kalian akan berbulan madu? Kalau bisa secepatnya. Jangan khawatir! Papa yang akan membiayai mulai dari pergi hingga pulang. Ya, hitung-hitung sebagai hadiah tambahan atas pernikahan kalian,"

Deg!

Mendengar bahwa mertuanya membahas hal sensitif membuat Rubi jadi malu. Tidak seharusnya Hardi sebagai lelaki membicarakannya hal seperti itu pada menantu perempuannya.

"Aku berencana untuk membawa Rubi ke Paris. Papa tidak usah mengeluarkan uang karena itu sudah menjadi tanggung jawabku," Jaya tidak tahu harus mengucapkan apalagi ke pada Papanya yang sudah sangat berbaik hati.

"Paris? Untuk apa?" di penjuru lain, Rubi tampak seperti orang linglung. Jangankan ke luar negeri, ke luar kota saja pun ia tidak pernah. Hidupnya hanya dihabiskan untuk berkeliling kampung guna menjajakan cilok.

Jaya menarik kedua sudut bibir. Itulah sebab kenapa Jaya tidak menyentuh istrinya sewaktu di rumah. Dia ingin melepas mahkota Rubi di sebuah Kota indah.

"Bulan madu, Sayang," jawabnya seraya tersenyum nakal.

Wajah Rubi sontak dipenuhi oleh rona kemerahan. Kurasa suaminya sudah gila. Apa dia tidak sungkan membahas perihal intern itu di depan Papanya sendiri?

Wanita itu tidak banyak berkata-kata. Ada bahagia yang membuncah saat tahu bahwa dirinya akan diboyong ke Paris. Sudah menjadi keinginan terbesarnya dapat menikmati setiap sudut dunia sejak dahulu. Kini, Sang Maha Kuasa perlahan mengabulkannya.

"Oh ya. Di mana Mama Mas? Aku ingin bertemu," keadaan terlampau dingin, karenanya Rubi berusaha mengganti topik lain.

Baik Jaya maupun Hardi sama-sama terkesiap. Hilang sudah tawa yang tadinya keluar dari mulut mereka. Matanya tak berkedip, keduanya saling pandang sambil menaikkan sebelah alis.

"Ayo Mas antar,"

Jaya menggandeng tangan sang istri. Ia menggiring dara tersebut memasuki sebuah ruangan yang menampakkan sesosok wanita yang tengah terbaring lemah.

"Mama,"

Jaya mendekat dengan perlahan, mengelus dahi wanita paruh abad yang terasa begitu panas. Bibirnya mengering dan terkelupas. Tak ada tanda-tanda semangat hidup di sana.

"Maafkan Mama mertuamu yang tidak bisa datang di acara pernikahan kalian. Beliau sedang sakit," titah Hardi yang tiba-tiba ikut menyembul ke kamar lalu duduk di sisi ranjang.

Rubi mengangguk mafhum. Ternyata mertuanya sedang tidak sehat. Ia sempat sedih dan menduga bahwa wanita itu memang sengaja tidak datang. Ah! Rubi jadi menyesal karena sudah berburuk sangka.

"Ibu sakit apa?" tanya Rubi seraya mendekatkan jarak.

"Eits! Kalau kamu memanggil Papa dengan sebutan Papa, berarti kamu harus memanggil Mamanya Jaya dengan sebutan Mama juga. Itu akan adil, bukan?" sebuah pernyataan yang mengundang kerutan di dahi perempuan paruh baya tersebut.

Hardi seperti begitu menyayangi Rubi. Belum pernah ia berlaku demikian pada gadis manapun yang pernah dibawa oleh Jaya ke kediaman mereka.

"Mama sakit apa?" ralat Rubi yang tak ingin berdebat dengan mertuanya sendiri.

Bukannya menjawab, orang yang ditanya malah membuang muka. Hal itu tentu saja menimbulkan rasa heran pada diri Rubi. Ia menggigit bibir bawahnya. Apakah ada yang salah dari kalimat yang baru saja ia lontarkan?

"Eum, hanya demam biasa. Sebentar lagi juga akan sembuh," jawaban diambil alih oleh Jaya.

"Mama sudah makan?" lagi-lagi Rubi menanyakan hal yang sama sekali tidak direspon oleh Mama mertuanya.

Perempuan bertubuh pendek tersebut mengulang mantra yang berbunyi "Apa ada yang salah, ya?" di dalam hati. Kerutan masam terlukis di rupa wanita yang tengah sakit itu. Ia mulai menebak-nebak. Kurasa memang ada yang tidak beres dengan mertua perempuannya.

"Belum. Mamamu sedang tidak berselera makan," kali ini Hardi pula yang menjawab.

"Kalau begitu biar aku buatkan bubur dulu. Ayo, Mas antar aku ke dapur,"

Rubi yang diakui oleh banyak orang bahwa masakannya enak, lantas saja dengan percaya diri memberikan penawaran tanpa ingin ditolak. Gegas ia berbalik badan kemudian diikuti oleh Jaya di belakang.

Sebelum mereka benar-benar hilang dari ambang pintu, sepasang telinga Rubi menangkap suara Hardi yang sedang berbicara pada istrinya.

"Anti. Jangan terlalu menunjukkan bahwa kau…" Selebihnya Rubi tak dapat mendengar dikarenakan jarak mereka yang kian jauh.

***

Pukul tiga lebih lima menit. Rubi membawa nampan berisi bubur ayam serta air putih di kedua tangannya. Tak lupa Jaya senantiasa mengiringi dari belakang. Agak lama, karena Rubi yang memang belum terbiasa memasak di dapur mewah dan super canggih milik keluarga Jaya, karena selama ini ia hanya menggunakan kayu sebagai sumber panasnya.

Rubi mengetuk pintu dan mendapati tubuh Hardi yang sudah menghilang dari sana. Ia meletakkan nampan tersebut di atas nakas. Aroma ayam begitu menusuk telinga. Rubi memang jagonya masak. Ia sudah lihai mencampurkan segala jenis rempah untuk menghasilkan cita rasa yang nikmat sejak berusia 15 tahun. Semua itu tentu tidak terlepas dari ajaran almh bundanya.

"Silahkan dimakan dulu, Ma. Orang sakit harus butuh energi banyak," ucapnya seraya memundurkan langkah.

Maksud hati ingin sekali membantu perempuan bernama Anti itu untuk memasukkan bubur ke dalam mulut. Namun apa boleh buat, Rubi merasa tidak pantas untuk melakukannya.

Sementara menunggu wanita itu untuk bersandar pada kepala ranjang, Rubi menilik wajah suaminya di belakang yang tampak harap-harap cemas. Laki-laki itu terlampau kaku, seolah sedang menyaksikan sebuah pertempuran hebat.

Butuh beberapa menit agar perempuan paruh abad tersebut menggerakkan tubuh. Rubi senang melihatnya, karena mengira bahwa Anti akan segera melahap masakannya. Namun hal itu tidak berangsur lama. Bukannya memakan bubur ayam buatan menantunya, ia malah meminta agar dara itu keluar dan membiarkan suaminya untuk tetap tinggal di sana.

"Bisa kau keluar sebentar, hem? Aku ingin mengobrol dengan putraku,"

***

Bersambung


next chapter
Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Rank -- Peringkat Power
    Stone -- Power stone

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C2
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank NO.-- Peringkat Power
    Stone -- Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk