BAB 4
"Karena itu kau, segalanya jadi terasa menyenangkan."
[Apo Nattawin Wattanagitipat]
UNTUK mempersingkat persiapan pesta, Mile pun menyelesaikan formalitas dengan cepat. Dia mempertemukan Apo dengan para prajurit, memperlihatkan Apo semua rumah yang tersebar di berbagai belahan bumi, lalu mengajaknya kembali ke Italia.
Mile juga sempat memugar kembali altar do'a Bible jadi lebih mewah. Kemudian menemani Apo meditasi di sana selama beberapa jam.
"Jadi, besok adalah hari resepsinya?" kata Apo yang tidak bisa tidur pada malamnya.
"Kau gugup? Ha ha ha, padahal tidak ada formalitas yang kau inginkan," tawa Mile.
"Iya, tapi kan resepsinya karena aku denganmu," kata Apo. "Mana bisa tidak gugup sedikit pun."
Apo yang sekarang memang tidak lagi meminta sumpah suci atau semacamnya untuk peresmian. Itu artinya, perjanjian Mile dengan kaisarnya juga batal. Karena Apo sudah paham bagaimana perannya sebagai pasangan Mile berjalan. Dan itu berarti kebebasan Mile kembali.
"Selamat, Mile, Apo ...." kata tamu undangan berulang-ulang di telinga keduanya. Mereka bertemu untuk kesekian kali, tapi sekarang dengan penampilan yang lebih mewah. Apalagi yang datang lebih banyak daripada tamu undangan dua tahun lalu. Tidak hanya sanak kerabat dan ajudan raja seperjuangan, Mile bahkan menghadirkan kenalan dan para prajurit sekalian.
Apo tentu tidak mengenali wajah-wajah mereka. Apalagi sebagian ada yang ngotot tidak mau berubah wajah jadi versi Asia. Jadi, semuanya cukup memusingkan. Dia sampai lelah tersenyum untuk mereka seharian, dan Jeje sigap menahan bahu Apo agar tidak limbung ketika Mile masih berjabat tangan.
"Mile, sini. Adik Ipar ...." kata Jeje memperingati.
Mile pun mengakhiri sesi jabat tangan dengan sisa tamunya, lalu menggandeng Apo masuk. Jeje juga menggantikan tempatnya untuk mengurus mereka, lalu mengubah acara klasik itu menjadi pesta. Ada musik. Ada dansa pelan, hingga yang urakan seperti salsa. Kemudian mereka minum-minum sesuka hati.
Riuh sekali suasana resepsi pada hari itu. Padahal, tidak hanya dalam satu hotel. Mile memisah mereka di gedung sebelahnya hingga tiga baris, dan semuanya dihiasi tawa.
"Hati-hati, hati-hati. Istirahat saja tak masalah. Ini sudah jam 8 malam dan kita belum berhenti sejak tadi pagi," kata Mile. Namun, Apo tidak mau berbaring. Dia justru memeluk pinggang sang suami, lalu menenggelamkan wajahnya di dada.
"Aku bukannya capek, tapi bosan sekali dengan situasinya," kata Apo. "Astaga, Mile. Aku bingung harus bersyukur atau sedih dapat orang penting sepertimu. Koneksi kalian ternyata besar sekali. Memang iblis itu sebanyak apa? Kupikir undangannya maksimal hanya 1000-an."
"Oh, mereka tidak seberapa. Toh yang kuundang hanya yang berkaitan dengan kerajaan," kata Mile sembari membelai rambut Apo. "Kalau iblis biasa pastinya lebih banyak lagi. Seperti kalian para manusia. Ada yang bekerja untuk pemerintah, ada yang rakyat di seluruh muka bumi."
"Hah? Yang benar?" kaget Apo.
"Tentu saja. Intinya jumlah kita dengan manusia setara. Hanya beda dunia dan aturan saja," kata Mile.
BRUGH!
"Aaaah! Oke. Aku benar-benar capek kali ini ...." keluh Apo yang langsung meleyot ke belakang. Dia ambruk di atas ranjang dengan muka uring-uringan, tapi tertawa ketika Mile mengangkat tubuhnya hingga berbantalkan pangkuan sang iblis.
"Sini, sini. Kau boleh memukulku kalau ingin marah-marah."
"Ha ha ha, apa sih. Marah buat apa memangnya? Lagipula memukulmu juga percuma. Lukamu pasti langsung sembuh seperti sihir."
"Ha ha ha ha ha."
"Ha ha ha ha ha."
Mereka pun tertawa karena baru menyadari sudah meninggalkan tamu undangan. Namun, daripada bercinta, Apo semangat mengajak Mile menyambangi dunia iblis setelah itu.
"Kau yakin? Mau berkunjung ke sana sekarang?"
"Iya, ingin lihat-lihat saja. Setidaknya aku tahu gambaran duniamu sebelum melakukan perjalanan jauh untuk bunga-nya," kata Apo. Dia tiba-tiba telungkup dan mendongak menatap Mile. Tentu saja senyum Apo susah ditolak sang suami.
"Baiklah, tapi sebentar saja. Jam 9 nanti kau harus sudah kubawa pulang. Aku lebih tidak suka kau kenapa-napa," kata Mile. Lalu membawa Apo pergi.
Ternyata untuk ke sana, Mile perlu membuka gerbang dua dunia melalui lambang tertentu yang menempel di lantai kamar.
Apo diminta berdiri di atasnya, sementara Mile baru mendampingi setelah menulis mantra.
"Siap?"
"Tentu saja," kata Apo. Lalu menggandeng Mile.
"Jangan lepaskan tanganku," kata Mile. "Ini akan seperti kau diguncang dalam mobil terjelek saat melakukan perjalanan."
"Ha ha ha. Oke. Asal denganmu pasti semuanya menyenangkan."
"Dasar ...."
Begitu cahaya merah keluar dari lambang tersebut, mereka pun menyeberang ke Devil Realm.
***
This is a fairy tale.
Just a world full of beauty where you want to stay forever.
Dulu, Apo kecil pernah dibacakan dongeng oleh sang ibu. Namun, meski dijelaskan artinya satu per satu, Apo tetap tidak percaya adanya dunia yang amat indah seperti di dalam buku. Namun, begitu dirinya sampai di dalam sana ... Apo ingat tempat-tempat yang pernah menghiasi mimpinya.
Itu seperti istana. Yang meski dalam posisi diajak terbang tinggi, Apo bisa melihat ribuan prajurit yang berjejer memasuki tempat tersebut.
"MILEEE! KATAMU DUNIA KALIAN SUDAH DAMAI! TAPI KENAPA PASUKANNYA SEBANYAK ITU?!" tanya Apo penasaran.
"Ya, karena merdeka bukan berarti lengah. Kami harus siap kapan saja untuk pertempuran berikutnya kalau ada."
"WOAAAAH. SEPERTI WAJIB MILITER YA?!"
"Hm, kurang lebih. Tapi di sini lebih kepada mengabdi. Bukan latihan militer beberapa tahun saja. Sekali masuk ke dalam badan keamanan, mereka takkan lepas posisi kecuali melakukan kesalahan. Seperti aku yang panglima. Mereka abadi di jalan yang sudah dipilih."
"OKEEE AKU RASANYA PAHAM!" kata Apo. Mendadak, Mile pun terbang lebih rendah lagi. Padahal tadi mereka diantara awan-awan. Namun sekarang melewati pepohonan yang amat indah.
"Jembatan itu ...." batin Apo senang. "Aku pernah melihatnya, tapi waktu itu sore. KEREN!"
Mile juga sempat berevolver diantara separuh lingkarannya hingga Apo kaget, tapi tertawa. Dia menukik seperti jarum, kemudian terbang tinggi setelah sayapnya menyentuh air di bawah jembatan.
WUSSSSSSHHHHHHHH!
"Sekarang lihat ke kanan, arah jam 3," kata Mile.
"Ada apa?"
"Lihat saja. Sebentar lagi kita sampai," kata Mile. Apo pun menurut hingga dia bisa melihat tebing-tebing penuh patung super besar. Ada 5 patung di sana, masing-masing berbentuk aneh dan memiliki aura magis, lalu Mile menjelaskan yang membawa pedang adalah dirinya.
"GILA! ITU KAU?!"
"Ya, diantara para senator," kata Mile. "Di sebelahku yang wanita adalah Pim, dan lainnya merupakan ksatria serta penasihat." (*)
(*) Kalau kalian inget, Apo pernah lihat Mile pake pin "Dominus" di lukisan. Nah, "Dominus" adalah kata Latin untuk tuan atau pemilik. Dominus melihat penggunaan sebagai gelar kekaisaran Romawi. Itu juga merupakan gelar Latin dari feodal, superior dan mesne.
Tanpa sadar, pipi Apo pun memerah. "A-Aku ingin melihat mukamu kalau helm-nya dibuka," katanya gugup. Entah kenapa, kalau membayangkan Mile berpenampilan seperti itu pasti seksi sekali.
Hei, Jeje benar, ternyata.
Mile menyia-nyiakan ribuan tahun kehidupannya dengan melajang! Apo yakin, kalau Mile mau berpasangan dari dulu, dia pasti dapat jodoh seperti apapun yang dimau.
"Aku sibuk berperang waktu itu, jangan pikirkan hal macam-macam ...." kata Mile. Meski dia tidak bisa membaca seperti Jeje, tapi ekspresi malu-malu Apo kentara sekali.
"He he, apa sih. Pura-pura tidak lihat kenapa?" kata Apo. "Tapi ngomong-ngomong, kau bilang dulu tidak merdeka. Kalian sebenarnya sedang melawan siapa?"
"Hmmm, sebaiknya kau menyapa seseorang dulu sebelum aku memberitahumu," kata Mile.
"Eh, seseorang?"
"Ya, dulu panglima sebenarnya ada 3. Aku, Pim, dan yang satu ini gugur dalam perang. Diantara kita, hanya kami berdua yang selamat hingga berhasil melawan musuh."
DEG
"Oh, oke. Aku jadi tidak sabar untuk melihatnya," kata Apo. Meski jantung sudah berdebar keras seperti tabuh genderang perang.
Dia pun diam karena suasana entah kenapa mulai serius, apalagi angin mendadak dingin ketika Mile melewati daerah utara.
Sang suami mengajaknya terbang ke sekitar hutan, dan seperti yang Mile katakan. Di sana para iblis menggunakan wujud asli naga masing-masing, bahkan ada yang berbentuk ular besar dan membuat Apo kaget. Tapi hanya sebatas itu.
"Selamat datang, Tuan Mile ...." sambut si ular naga. Yang ternyata masih bawahan Mile juga. Dia menunduk di depan Apo, dan minta dielus meski wajahnya terlihat kejam. "Salam juga untuk Tuan Natta. Maaf, aku tidak bisa hadir ke acara kalian karena harus menjaga hutan ini setiap saat."
Apo pun mengelus kepala ular naga merah itu, kemudian tersenyum manis. "Ya, tak apa kok. Toh aku sendiri yang datang kemari sekarang. Ya kan Mile?"
"Hm. Baik-baiklah selama di sini," kata Mile kepada si ular naga. "Dan jaga hutan Yang Mulia dengan serius. Kami pergi dulu, Feng."
"Baik, Tuan."
"Daaaah ...." kata Apo. Dia pun melambaikan tangan sebelum diajak pergi, walau masih penasaran apa yang dijaga Feng di dalam hutan itu karena sampai tidak boleh kemana-mana.
Namun, Apo tidak bertanya banyak. Dia lebih fokus menikmati perjalanan ini, kemudian diturunkan di belahan lain alam iblis ini.
Sebuah tebing batu bersalju. Bentuknya terjal dan naik turun. Juga tajam dimana-mana.
Namun, Mile sigap memeluk Apo dengan sayap-sayapnya sebelum lelaki itu dijatuhi serpihan dingin.
"Wah, siapa namanya, Mile? Ini dia yang kau maksud, kan?" tanya Apo.
Namun, kepala naga Mile justru menunduk di hadapan patung batu itu. "Aku datang, Ayah. Dan aku membawa istriku kemari."
Bersambung ....