Unduh Aplikasi
92.59% Ambang Senja / Chapter 25: Kembalinya Sang Pejuang

Bab 25: Kembalinya Sang Pejuang

Bekas Istana Darussalam, Langkat, April, 1946

"Ape ini yang kite dapat setelah merdeke?" komentar Irwansyah.

Irwansyah memandangi sisa Istana Darussalam yang telah terbakar dengan perasaan kecewa. Asril, Asrul dan Pak Cik Bujang mengikuti Irwansyah berjalan melewati puing-puing yang hangus sambil membayangkan kengerian di tempat ini.

Irwansyah tersenyum pahit. "Mereke menyebut pembantaian besar-besaran ini dengan name Revolusi Sosial? Licik betul, membungkus aksi kebiadaban dengan istilah revolusi agar terdengar seperti aksi perjuangan. Mereka berteriak anti penjajahan pada orang asing, tapi mereka juge menyembelih saudarenya sendiri."

Irwansyah menunduk sambil mengangkat kedua tangan memanjatkan doa untuk para korban.

"Mari kite meninjau tempat Wak Hasyim, Bang Usman dan Sani," ajak Irwansyah.

"Kau yakin nak meninjaunye? Aku sendiri belum berani, bile menerime kenyataan yang tak kunginkan," ujar Pak Cik Bujang.

"Pikirkan dulu, Wan. Kondisimu belum pulih betul," saran Asril.

Irwansyah menghela nafas berat, matanya tampak berkaca-kaca. "Aku dah berserah pade Allah. Pesan mendiang Atukku, sekalipun badai yang nak diturunkanNye, tak kan mungkin Tuhan salah berhitung. Bile ade orang baik yang mati terhempas badai, itu karene Tuhan merindukannye. Allah nak menghapus dose dan nak segere mengganjar amal baiknye. Hadapi sepahit apapun kenyataan dan bertawakallah, mari kite berangkat."

****

Langkat.

Irwansyah mengunjungi Rumah Tengku Usman, Tengku Sani dan terakhir rumah Tengku Hasyim, semuanya telah rusak. Menurut informasi dari orang-orang di sekitar rumah mereka. Tengku Usman tewas, istri dan anaknya hilang. Tengku Sani dan anggota keluarganya hilang. Tengku Hasyim tewas, istri dan anaknya juga hilang.

Irwansyah merasa tidak punya kekuatan lagi untuk berdiri. Ia duduk sambil menangis di bekas rumah Tengku Hasyim yang telah rusak. Wajah Tengku Farisya saat bercerita tentang mimpinya muncul di benak Irwansyah, ternyata kekasih Irwansyah itu telah mendapat firasat tentang kepergian Irwansyah dan kejadian di Sumatera Timur ini.

"Aku harus mampu bertanggung jawab atas ucapanku tadi. Aku sudah kehilangan segalanya, saudaraku, kekasihku bahkan negeri Melayu yang kukenal. Walau sulit, aku harus sabar dan tawakal menghadapi kenyataan ini. "

Asril, Asrul dan Pak Cik Bujang ikut duduk di dekat Irwansyah sambil memegang pundaknya tanpa sanggup bicara.

"Bang Irwan!" panggil seorang yang pernah bekerja menjadi kuli kebun.

"Oh, Slamet," sahut Irwan.

Slamet memeluk Irwansyah sambil menangis. "Alhamdulillah, Abang masih hidup. Abang gole'i sopo? Semua bangsawan wis mati atau hilang. Yang ngojok-ojoki mateni uwong, yo rombongane Bang Syam."(93)

"Wislah, Met. Serahkan semuanya pada Gusti Allah, tiap perbuatan ono ganjarane ing akhirat. Mbok Yem isih manggon ing omah lawas?"(94) tanya Irwansyah.

"Keluargane Mbok Yem, wis suwe pindhah neng Medan, Bang. Aku duwe alamate. Bang Irwan kudu ketemu anak-anake si Mbok, saiki wis dadi Tentara Indonesia,"(95) saran Slamet.

"Oh gitu? Nuwun sewu, Met,"(96) sahut Irwansyah.

*****

Medan, April, 1946

Irwansyah diam di dalam mobil Pak Cik Bujang tanpa bicara sepatah katapun. Ia mencoba mengalihkan kesedihannya dengan memandangi kota Medan sambil mengenang masa lalu.

Mobil Pak Cik Bujang melewati Masjid Al Mashun, Irwansyah teringat masa kecilnya bersama Tengku Sani yang pernah bermain di taman seberang masjid tersebut. Setelah melihat kondisi Sumatera Timur, ia tidak berani berharap saudara angkatnya itu masih hidup.

Sesaat kemudian mobil Pak Cik Bujang melewati istana Maimun yang masih tegak berdiri dengan megahnya. Dulu ia dan Tengku sani juga sempat akrab dengan anak-anak para bangsawan Deli lainnya. Mereka belajar silat, menari hingga mencoba alat-alat musik para musisi istana. Kini istana itu terlihat sepi dari penghuni, hanya ada beberapa anggota TRI yang berjaga-jaga di depan halaman Istana.

Mobil Pak Cik Bujang meninggalkan pusat kota Medan, kemudian menyusuri jalan di tengah pemukiman yang tidak terlalu padat dan masih banyak pepohonan, hingga akhirnya berhenti di halaman rumah yang alamatnya diberikan Slamet.

Setelah keluar dari mobil, Irwansyah berjalan pelan menghampiri orang-orang yang sedang bercakap-cakap di serambi rumah. Di sana seorang perempuan berdiri dan memandangi Irwansyah dengan tatapan tidak percaya.

"Assalamualaikum," sapa Irwansyah dengan air mata tergenang.

"Waalaikumsalam. Bang Irwan," sahut Tengku Farisya, juga dengan air mata tergenang.

Irwansyah dan Tengku Farisya saling berpandangan dengan wajah sedih sekaligus bersyukur karena keduanya masih bisa bertemu. Ia memegang pundak Tengku Farisya yang sedang mencium tangannya sambil menangis pilu.

"Alhamdulillah, Dek. Ternyata kau selamat," ujar Irwansyah.

"Awak juge bersyukur, Bang. Bise melihat Abang lagi." sahut Tengku Farisya.

Mbarep, istri Mbarep, Budi, Ragil, Mbok Yem, Istri Tengku Hasyim dan istri Tengku Usman ikut berdiri. Irwansyah mendekati orang-orang di serambi rumah. Semua orang menyalami dan beberapa diantaranya memeluk Irwansyah sambil menangis. Asrul, Asril dan Pak Bujang pun ikut bergabung di serambi rumah.

"Kenape Abang jadi sangat kurus?" tanya Tengku Farisya.

"Abang baru keluar dari penjare. Nanti Abang ceritekan. Dimana Wak Hasyim, Bang Usman dan keluarga Sani? Semoge Abang salah mendapat informasi," ujar Irwansyah.

Para perempuan di serambi rumah menangis, Irwansyah pun paham bahwa tangisan itu pertanda informasi yang ia dapat memang betul.

Mbarep angkat bicara. "Begini ceritanya, Bang. Aku, Budi dan Burhan sudah dapat informasi sebelum penyerbuan massa ke Langkat, kebetulan kami bertiga wis dadi anggota TRI, Bang. Kami pun segera datang untuk mengamankan keluarga bangsawan. Tentu kami ndak sanggup mengamankan semuanya, sehingga kami pilih yang punya hubungan paling dekat dengan Bang Irwan. Sayangnya Wak Hasyim dan Bang Usman bersikeras tidak mau ikut, beliau memilih menunggu kedatangan penyerang dan menghadapinya di rumah masing-masing, terus menitipkan keluarganya pada aku dan Budi. Burhan milih menjaga Wak Hasyim. Sementara, kalau Bang Sani, ternyata rumahnya sudah kosong saat kami datang, sepertinya sudah pindah. Setelah kami mengungsikan saudara-saudara kita yang masih bisa Abang lihat ini ke rumahku, Aku, Budi dan anggota TRI lain kembali ke Langkat. Wis terlambat, Bang. Sultan dan para bangsawan Langkat lain sudah meninggal, sebagian yang hilang kami temukan di tempat-tempat berbeda, juga sudah dalam keadaan tewas, termasuk Wak Hasyim, Bang Usman dan Burhan."

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Semoga mereka yang sudah pergi mendahului kita mendapat ganjaran syahid dari Allah," ujar Irwansyah sambil menangis.

*****

Beberapa hari kemudian, Irwansyah dan Tengku Farisya menikah. Mereka menempati rumah milik Tengku Rasyid, ayah angkat Irwansyah. Mertua Irwansyah dan kakak iparnya, Tengku Farida beserta 2 anaknya juga tinggal di rumah itu.

Setiap hari Irwansyah melakukan investigasi kasus revolusi sosial bersama Asril dan Asrul. Ia mendatangi semua istana dari kesultanan dan kerajaan di Sumatera Timur dan menemui anggota keluarga bangsawan yang masih hidup. Pada malam harinya, Irwansyah mengetik hasil penelusuran kasus tersebut.

Irwansyah berusaha menghubungi koneksi-koneksinya di luar negeri melalui surat. Ia menghubungi Edward di Inggris, dosen-dosen hukum Universiteit Leiden di Belanda, dan Yano Kenzo di Jepang untuk meminta pendapat dan dukungan untuk menuntut keadilan.

Semuanya membalas surat Irwansyah dan mendukung upaya Irwansyah yang ingin menuntut keadilan. Edward juga memberikan tawaran pekerjaan sebagai dosen hukum dari pemerintah Inggris dan mengirimkan uang jasa yang sangat besar dari pemerintah Inggris atas bantuan analisisnya saat perang dunia.

Dosen-dosen hukum Universiteit Leiden di Belanda memberi surat resmi pengakuan kompetensi dan ijazah kelulusan Irwansyah di bidang hukum serta kemudahan akses jika ia ingin membawa kasusnya ke pengadilan internasional.

Yano Kenzo menyurati beberapa pejuang besar yang dulunya mau bekerja sama dengan Jepang dan kini sudah menduduki jabatan penting di pemerintahan pusat Indonesia, sehingga Irwansyah bisa mendapatkan posisi sebagai kepala Jaksa di Medan.

Orang-orang Indonesia yang setuju dengan upaya Irwansyah untuk menuntut keadilan juga membantunya. Komandan satuan tempur Divisi X/Gadjah Medan memberi perlindungan keamanan pada Irwansyah. Koneksi-koneksi Asril dari kelompok kanan di pemerintahan pusat juga membantu Irwansyah agar kelompok kiri di pemerintahan pusat tidak campur tangan.

Akhirnya Irwansyah berhasil mendapat jadwal sidang di pengadilan di Medan untuk menuntut para pelaku aksi biadab berkedok revolusi di Sumatera Timur.

*****

Catatan Kaki

93. "Alhamdulillah, Abang masih hidup. Abang mencari siapa? Semua bangsawan sudah mati atau hilang. Yang menghasut membunuh orang, kelompok Bang Syam."

94. "Sudahlah, Met. Serahkan semuanya pada Allah, setiap perbuatan ada ganjarannya di akhirat. Mbok Yem masih tinggal di rumah yang lama?"

95. "Keluarganya Mbok Yem, sudah pindah ke Medan, Bang. Aku punya alamatnya. Bang Irwan hasru bertemu anak-anaknya Mbok, sekarang sudah jadi Tentara Indonesia,"

96. "Oh gitu? Terimakasih banyak, Met,"


Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C25
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk