Unduh Aplikasi
74.37% The Gladiol / Chapter 119: Sonder

Bab 119: Sonder

"Aku hanya mengecohnya, karena dia sok sokan mengenalku dan mengajakku kencan."

"HA?" seru teman temannya. "Benarkah?"

"Sepertinya dia sudah gila!"

"Bagaimana mungkin dia mengajak kencan perempuan yang baru ditemuinya? Dia pasti mata keranjang."

"Dia pasti psikopat cabul!"

"Dia pasti merasa bisa mengajak semua gadis berkencan. Aku yakin dia pasti uga sering menggoda siswi siswi di kelasnya."

"Apa jangan jangan…dia pernah menghamili salah satunya?"

"HA?"

"Iiiihh ngeri sekali."

Amy hanya tersenyum kecil melihat teman temannya menggibah.

"Kalian ini malah asyik gibah." Amy selesai ganti baju lalu menutup loker penyimpanan pakaiannya. "Kalau begitu aku keluar dulu. Masih ada 20 menit kan sisa jam nya."

"Ah iya kau benar. Pak guru sangat pengertian hehe."

"Haruskah kita beli burger?"

"Ah aku juga mau."

Sementara teman temannya sibuk merencanakan apa yang akan mereka makan, Amy keluar dan berjalan melewati koridor. Sembari mengelus tangannya yang masih perih.

"Sialan si Nino itu! Lain kali aku akan mendorongnya biar jatuh dari tangga sekalian." pikirnya sembari menyeringai jahat.

Tangga di kursi penonton di lapangan tidak terlalu tinggi dan curam karena itu diperuntukkan untuk penonton. Mendadak ia ingat saat Dio berteriak tadi dan berlari ke arahnya.

"Si Dio sialan itu kenapa si selalu sok keren? Kenapa dia berteriak seperti itu tadi, cih!" namun Amy sebenarnya senang saat melihat Dio datang, karena itu sengaja membuat Nino melukainya lagi.

"Benar benar menyebalkan," Amy tertawa sendiri mengingatnya.

Tiba tiba ia menabrak seseorang dan hampir oleng, untung ia tidak jatuh. Amy mendongak.

"Ketua kelas!"

"Kau menikmatinya?"Raka tiba tiba menatapnya tajam.

"Apa maksudmu?"

"Apa tadi itu menyenangkan buatmu?"

"Kenapa kau yang kesal. Lagipula siapa yang memanggil kakakku ke sana?"

"Sudah kubilang aku akan memanggil BK tapi aku malah bermain peran di sana, yang lain mungkin tidak tahu, tapi…" Raka bersuara pelan. "Kau tadi pura pura jatuh kan?"

"Iya," kata Amy menjawab cepat tanpa berpikir panjang.

"Kau mengakuinya?"

"Iya, aku memang berpura pura jatuh tadi karena kulihat ada kakakku di sana. Salah sendiri kau memanggil kakakku. Lagipula jika aku tadi menonjok si br*sek Nino, kakakku yang akan memukulku, makanya aku pura pura jatuh. Jadi kenapa? Apa itu masalah buatmu? Apa aku merugikanmu? Bukannya kau juga menikmatinya? Menunjukkan wajahmu di depan siswa sma yang sok keren itu?"

"Ha? Kau ini bicara apa sih?"

"Kenapa kau tadi tiba tiba menyuruhku ke lapangan?"

"Itu karena…" Raka mengalihkan wajahnya dan menghela napas. "keadaannya akan semakin runyam kalau kakakmu dan geng Nino itu bertengkar."

"Iya makanya aku tanya kenapa? Kan bukan kau yang buat masalah kenapa kau takut?"

"Sial! Bicara sama kau yang bermuka dua itu memang tidak ada habisnya?" Raka melenggang pergi namun tiba tiba Amy mencekal tangannya, ia melirik sinis.

"Terus kenapa? Kenapa kalau aku bermuka dua? Jika kakakku tadi tidak datang, kau yang akan menyelamatkanku?! Jika mereka berusaha menyentuhku apa kau yang akan datang memukul mereka?! Apa guru BK akan memukul mereka untukku?! Apa kau bahkan memikirkan bagaimana posisiku tadi?!"

Raka membisu. Ia lupa kalau Amy tetaplah korban dari pembulian tadi.

"Dia berusaha menyentuh pahaku tadi." kata Amy sembari berkaca kaca. Ia melempar lengan Raka.

Raka terdiam mendengarkan penjelasan Amy yang jujur. Padahal gadis itu merasa sakit hati, malu dan marah namun mengatakan itu padanya.

"Maafkan aku Amy, aku tidak memikirkannya sampai sejauh itu. Aku tidak ada di posisimu jadi aku asal bicara, maaf."

"Lupakan. Laki laki mana paham. Kau akan bersikap sama dengan Dio jika kau punya adik perempuan yang manis dan lucu sepertiku, cih" Amy lalu melenggang pergi dari sana meninggalkan Raka sendirian.

Raka mengingat lagi percakapannya dengan Dio tadi.

"Maaf kalau aku kelewatan. Tapi kau akan melakukan hal yang sama kalau kau punya adik perempuan sepertiku. Maaf juga membuat keributan."

Raka memegang kepalanya yang pening. Ia merasa bersalah telah memarahi Amy dan membuat kakak beradik itu tidak nyaman.

"Astaga kenapa aku mengatakan itu tadi sih!" Raka menyesal sendiri.

Pulang sekolah seperti biasa, Dio menunggu Amy di parkiran sekolahnya. Amy melihatnya dan masuk ke dalam, dari jauh Raka yang mengendarai motor ninja menatapnya.

"Mereka benar benar adik akak yang akrab." batinnya. Setelah itu Raka memakai helm, menghidupkan motor dan keluar melewati gerbang.

"Pinjam tanganmu," kata Dio sembari mengulurkan tangan.

Amy meliriknya sinis.

"Mau apa?"

Dio menatapnya seolah mengatakan cepatlah tidak usah bertanya. Amy tidak punya pilihan selain menurut.

Dio membuak kotak p3k dan mengeluarkan salep, lalu mengoleskannya ke punggung tangan Amy yang berdarah.

Amy tersentuh.

"Apa kau kenal dengan Nino?"

"Tidak."

"Jangan mengumbar informasi orang yang tidak kau kenal di depannya. Kau membahayakan dirimu sendiri."

"Kau dengar itu juga?"

"Tentu saja, bodoh."

Dio membuka plester gambar motif es krim dan menempelkannya di punggung tangan adiknya yang kecil dan putih. Dio mengelusnya.

"Masih perih?"

Amy menggeleng.

"Apa ada yang sakit lagi? Nino tadi mendorongmu."

Amy membuang muka, padahal ia tadi sengaja menjatuhkan dirinya sendiri.

"Tidak ada kok. Aku baik baik saja. Lain kali tidak usah sok pahlawan begitu. Kalau kau yang dibuli dia di sekolah bagaimana?"

"Kau mengkhawatirkanku?" Dio tersenyum.

"HA? Kau gila?!"

Dio tersenyum kecil.

"Jangan ketawa bodoh!"

Dio tidak bisa menahan senyumya.

Amy memandangi plester yang imut itu lalu ia senyum senyum sendiri.

Dio meliriknya. "Dasar anak kecil!" ia mengusap poni Amy hingga berantakan.

"Asiihh apa yang kau lakukan pada rambutku?!"

"Haha."

"Terus saja kau ketawa dasar bodoh!"

"Bisa apa kau tanpa aku." kata Dio kemudian. "Panggil aku kalau kau butuh kakakmu yang hero ini."

"Kalau begitu belikan aku es krim."

Dio tersenyum mengiyakan.

Flashback selesai

"Kau bilang aku harus memanggilmu kalau aku membutuhkanmu, tapi sekarang…" Di dalam taksi Amy masih menangis mengingat kenangan itu. "Sekarang kau tidak ada di sini. Kau bilang akan melindungiku tapi kau kabur… dasar kakak siala, dasar br*ngsek!"

Taksi berhenti di depan rumahnya yang megah nan mewah. Ia melewati gerbang, jalan setapak dan ke pintu utama sembari berjalan cepat. Ia ingin segera berbicara dengan ayahnya. Namun sesampainya di ruangannya.

"Maaf Nona Muda, Tuan tidak ada di rumah."

"EH?"

"Tuan Holan sedang bekerja, tadi malam beliau juga belum pulang, sepertinya lembur di kantor."

"Ayah kan sudah selesai dari tugasnya di camp pelatihan? Mungkin dia ada di kantor."

Amy segera keluar dan menuju kantor polisi. Holan memang sudah lama menyelesaikan pekerjaan di camp pelatihan militer sebagai pembina. A sudah kembali ke pekerjaannya sebagai polisi di kantor ibu kota.

Sesampainya di kantor, Amy menaiki masuk ke dalam dan menemui petugas administrasi di lobi

"Permisi."

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Di mana ruangan ay... maksudku Letnan Holan Satria?"

Petugas itu melihat Amy yang terlihat masih sangat muda.

"Apa sudah membuat janji sebelumnya?"


Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C119
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk