"Holan…" Rataka serius. "Mari bicarakan ini dengan direktur."
"Kau gila?!" nada suaranya meninggi.
"Kau sudah sekacau ini. Kau bisa menahannya lagi?"
Holan terdiam.
Taka sudah tidak kuat lagi menahan semua misi sembunyi sembunyi ini. Dia memang bawakan Rossan, tapi Holan adalah temannya. Holan harus tahu bahwa ayah mertuanya juga mengawasi dan melindungi keturunannya selama ini, mungkin Rossan bisa membantu dan mencari jalan keluar. Terutama bagaimana cara agar Dio mana terlebih dahulu.
"Untuk saat ini…"
Drftt drfftt drfftt
Tiba tiba Yohan menghubungi Holan. Rataka mengangguk, memintanya untuk mengangkatnya lebih dulu.
"Anu Tuan Holan.."
"Katakan saja."
"Maafkan aku tentang tadi."
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak peka terhadap kondisi Tuan Muda. Sekarang aku berada di depan kamar Dio, dia tengah berbincang normal dengan Tuan Muda Arvy. Mereka terlihat baik baik saja, bahkan tertawa bersama."
"Apa? Apa maksudmu aku tidak mengerti.
"Sebenarnya…Tuan Arvy mengetahui kondisi Tuan Muda."
"Panggil saja Dio dan Arvy. tidak usah bertele tele."
"Aku salah duga bahwa kondisi Dio memburuk, Arvy mengetahuinya baru baru ini. mereka mengobrol dan tertawa."
"Arvy? Putranya Ardana yang sifatnya seperti es batu itu?"
"Iya tuan, makanya aku juga bingung. Aku tidak memperhatikan lebih detail lagi tadi."
"Iya, aku tahu mereka dekat, Arvy juga lumayan dekat dengan Amy dan Alfa. Tapi aku tidak menyangka seakrab itu dengan Dio. Jadi apa Dio masih perlu perawatan profesional intensif?"
"Jadi saranku selanjutnya adalah…"
Setelah berdiskusi cukup banyak, Holan kembali membahas nya dengan Taka.
"Arvy…apa anak itu selalu super seperti itu?" Holan bertanya tanya.
"Karena itulah aku ingin bertemu denganmu hari ini."
"Ah iya. Kau yang menelponku tadi. Maaf aku malah curhat panjang lebar. Jadi apa yang ingin kau bicarakan?"
"Aku bertemu dengan Arvy hari ini."
"Apa?!"
"Kami bahkan berbincang dan bertukar kartu nama."
"Jadi?"
"Aku sejenak lupa, Lan. Cucu Satria yang bernama Arvy itu…bukankah ia cucu keturunan asli Direktur Rossan?"
Degh.
Mereka berdua saling pandang, baru menyadari bahwa cucu kandung satu satunya keturunan Satria adalah Arvy, karena Amy dan Dio adalah anak adopsi. Keduanya tersentak dengan fakta yang tidak pernah mereka sadari sebelumnya.
"Jadi tujuanku adalah… buatkan aku pertemuan dengan Ardana."
"Apa kau gila?! Ardana katamu?!"
"Kalian masih tidak bicara satu sama lain?"
"Bukan begitu. Kita hanya tidak pernah diberi kesempatan bertemu dan mengobrol, dia yang mengurus perusahaan sekarang. Aku dengar dia dulu pemabuk yang menyusahkan anaknya. Sekarang dia andalan ayah untuk mengurus perusahaan bahkan pabrik. Dia direktur utama di sana. Jadi apa yang kau bicarakan dengan anaknya kemarin?"
"Kalau begitu aku akan memberimu kesempatan agar kau dan dia mengobrol. Bagaimana? Bagus, kan?"
Holan memicingkan mata, tanda penolakan.
"Aku punya info yang yang akan membuatmu pingsan kalau mendengarnya."
Holan mendengarkan dengan seksama
"Anak itu bisa melihat Liska."
"APA?" Holan melotot. "Arvy?"
"Hanya seseorang yang pernah memegang pedang ini yang bisa melihatnya, atau minimal memegang sarungnya."
"Bahkan ketika aku tidak bisa melihatnya?"
"Tapi dia mengira aku ini cos… poscley...clospey…cos… ah aku lupa apa namanya. Pokoknya dia mengira kalau pedangku ini mainan. Kau tahu aku memang membawa Liska kemana mana kalau kondisinya fit kan? Kebetulan aku membawanya seharian kemarin. Aku berniat bertemu Alfa untuk menggali Ramon, tapi gagal karena insiden bertemu Arvy secara tidak sengaja"
"Bagaimana bisa itu terjadi? Aku tidak pernah menyadari keberadaanya selama ini, karena dia yang paling jarang saat ada pesat keluarga."
"Kita perlu mencari tahu. Jika dugaanku benar, dia bisa menjadi ace bagi kita."
"Ace?"
Holan penasaran apa maksud Taka, namun ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Yohan.
"Aku akan ke rumah sakit," katanya tiba tiba.
"Mengunjungi Dio?"
"Iya, baiklah. Ah ya Holan, kalau kau mengatakan akan memberikan Dio pada ku lagi hanya karena masalah penyakitnya akan kupatahkan kakimu, paham?"
"Aku minta maaf. Kau akan tahu rasanya kalau sudah jadi ayah." Holan memakai jaketnya. "Aku pergi dulu"
Holan meninggalkan bar Taka dengan tergesa. Ia buru buru keluar dan menuju ke tempat Dio.
Sementara Dio dan Arvy membahas siapa yang akan mendapat rangking 1 kalau mereka berdua di sekolah yang sama dulu.
"Sepertinya aku yang akan mengalahkanmu," kata Arvy bercanda.
Dio tertawa "Sepertinya kakak tidak lebih pintar dariku?"
"Apa katamu sialan?"
"Haha kau bahkan menyumpah serapahiku seperti Amy, haha."
"Cih." Arvy tersenyum melihat Dio tertawa. Kalau diingat kembali ia sadar bahwa Dio kehilangan ibunya saat masih kecil, berbeda dengannya yang sudah mengerti dan lebih dewasa. Anak ini hanya luarnya saja mengatakan membenci keluarganya, namun sebenarnya tidak begitu, justru sebaliknya dia begitu mencintai keluarganya hingga tak sanggup membendungnya dan mengatakan bahwa itu telah berubah menjadi benci.
"Apa kau sesenang itu membuliku?" tanya Arvy dengan nada kesal namun bercanda.
"Kalau dipikir pikir kau dan Amy kadang kadang mirip."
"Apa? Aku dengan anak ingusan itu?
"Kenapa kau menyebutnya anak ingusan? Dia sudah tumbuh menjadi gadis cantik."
"Gadis cantik apanya? Cih."
Tiba tiba ia mengingat saat mabuk berat dan menangisi san mengingat Gita dengan pilu, ia ingat seolah menyentuh pipi Gita namun ternyata itu adalah Amy. Arvy bahkan memegang pipinya yang halus.
"Apa itu tadi? Kenapa ada ingatan seperti itu?" batin Arvy terkejut. "Apa kemarin Amy datang ke bar? Jadi itu bukan mimpi bertemu Gita?"
"Kak? Kak Arvy?"
"Ah tidak."
"Iya sih lagi pula kau tidak akan menganggap Amy sebagai wanita. Dia hanya anak ingusan bukan?"
"Iya! Tentu saja! Kau ini ada ada saja." Arvy menelan ludah dengan susah payah. Ia berusaha menyangkal ingatan itu.
Yohan datang dan membawa irisan apel dan buah naga, serta jeruk.
"Apa kalian ingin makan yang manis manis?' Yohan menaruh meja kecil di depan Dio dan menaruh piring buah di atasnya. Dio duduk dan melihat betapa segarnya buah buahan itu.
"Kak Yohan yang mengupasnya?'
"Iya siapa lagi kalau bukan aku?"
"Maafkan aku, Kak. Aku pasti menyusahkanmu hari ini."
Yohan menggeleng.
"Kau serius memanggilnya kakak? Dia terlihat seperti om om."
"Tuan muda Arvy, tolong jangan mengejek saya seperti itu." Yohan menekankan kalimatnya dengan gigi menempel, ia sangat kesal mendengar Arvy mengatakan itu seharian ini .
Dio hanya tertawa.
"Apa kalian tidak bosan? Aku akan menyalakan televisi."
Yohan menghidupkan televisi, mereka bertiga menikmati buah buahan sembari melihat siaran dengan nyaman, tiba tiba sampai di berita bahwa sketsa wajah pelaku penganiayaan dan pengedar narkoba yang menyerang Alfa telah dipublikasikan. Bahkan siapapun yang melaporkannya akan diberi imbalan.
Arvy melihatnya, dan terkejut setengah mati.
"Akhirnya pelaku yang menyerang alfa disebar juga." Dio bersyukur.
"Alfa hampir tidak terselamatkan kemarin." sambung Yohan
"Amy juga menangis setiap hari. Matanya sembab setiap kami bertemu." Dio bernapas lega.
Arvy berdiri dan mengakan jaket yang tadi di letakkan di gantungan di sudut kamar vip itu.
"Kak Arvy? Ada apa?"
"Aku harus pergi."
"Apa ada masalah?"