Kedua tangan Jeni tampak memegang perut bagian bawah. Ia merintih kesakitan.
"Kamu belum sembuh juga, Jen?" Wili yang terkejut saat melihat Jeni meringgis kesakitan, segera ia membantu kekasihnya itu untuk duduk di kursi.
Wili tampak khawatir, ia mengusap lembut pipi Jeni kemudian membiarkan kepala kekasihnya bersandari di dadanya.
Jeni sepertinya sakit karena ulahnya sendiri. Ia bersandar di dada Wili sambil meringgis sakit.
'Apa rasa mules ini karena efek obat yang telah dua kali aku minum? Tapi sakit sekali rasanya. Pinggangku juga terasa panas. Aku rasanya lemas menahan mules ini,' batin Jeni.
"Jen apa kamu sudah minum obat? Mengapa sakitnya belum juga sembuh!" Wili kembali bertanya. Perhatian penuh yang ia berikan membuat Jeni semakin berat untuk mengatakan yang sejujurnya.
Padahal, sakita di perutnya itu karena sengaja Jeni ingin membuat janinnya tak mampu bertahan.
"A-aku sudah minum obatnya kok. Sebentar lagi sakitnya akan membaik, aku yakin. Biasanya memang seperti ini," jawab Jeni dengan suara merintih. Ia masih menahan rasa sakitnya dan berusaha terlihat kuat di hadapan Wili.
Sementara Karin, ia enggan untuk masuk ke ruang tamu karena mengetahui Jeni tengah memainkan dramannya. Ia hanya menginyai dari ruang dapur. Perasaannya memang masih hancur, namun ia mulai legowo menerima kesalahan anaknya.
'Wili anak baik, ia tak pernah membuat kamu kecewa, Jen! Mamah tak akan tega melihat Wili dengan kenyataan pahit ini,' batin Karin dengan raut wajahnya yang sedu. Ia kemudian kembali duduk di kursi yang berada di ruang makan itu. Merenung dan menyesali kehancuran yang berawal dari rumah tangganya.
Jeni adalah anak dari buah broken home kedua orang tuanya dan Karin menyadari kesalahannya.
'Ini semua gara-gara lelaki itu yang telah mengawali kehancuran hidup Jeni. Jeni tak akan melakukan ini semua kalau saja papahnya tak sebejad itu,' gumam Karin penuh kebencian. Ia tampak mengepalkan kedua tangannya penuh rasa dendam yang kian membara di dalam dada.
Sementara di ruang tamu, Jeni masih saja terlihat merintih kesakitan. Pinggang dan perut bagian masih saja terasa sakit dan panas.
'Sial! Mengapa rasanya sakit sekali!' gerutu Jeni tampak mengerutkan wajahnya menahan rasa sakit yang kian menerpa. Kedua tangannya tampak tak lepas dari menekan perutnya.
"Jen! Wajahmu sudah pucat dan aku akan segera membawa kamu ke rumah sakit." Wili tampak mengangkat tubuh Jeni yang lemas. Ia tidak butuh lagi jawaban Jeni mau atau pun tidak, Wili tetap akan membawanya ke rumah sakit.
"Ti-tidak, Wil. A-aku di rumah saja. Jangan bawa aku," pinta Jeni dengan suaranya yang terdengar lesu tak bertenaga. Ia masih saja dengan rasa sakit pada bagian perutnya yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
"Tidak, Jen. Aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang dan jangan membantah!" balas Wili. Kali ini ia tampak memaksa karena demi kebaikan kekasihnya sendiri.
Jeni pasrah, dengan sedikit kekuatan ia memang tak akan mampau melawan atau pun menolak keinginan Wili.
Lelaki tampan berkulit putih itu tampak memangku Jeni, membawanya keluar menuju kendaraan roda empatnya yang terparkir di halaman rumah Jeni.
Setelah membuka pintu mobilnya, Wili kemudian membaringkan Jeni di kursi mobil bagian belakang. Jeni yang tak berdaya ia mengikuti dan tak bisa membantah.
"Wil mau kemana?" panggil Karin dengan sedikit meninggikan suaranya. Ia merasa aneh tatkala menyadari jika kursi tamunya sudah kosong tanpa Wili mau pun Jeni.
"Maaf, Tante. Saya akan ke Dokter sebentar membawa Jeni. Perutnya sakit, saya tidak tega melihatnya," jawab Wili dengan raut wajahnya yang tampak cemas dan gelisah. Rasa khawatirkan tak akan bisa hilang selama Jeni masih merasak kesakitan.
Karin terkejut. "Sakit!" Ia mengulangi ucapan Wili.
"Iya, Tante. Setelah diperiksa Dokter saya akan langsung membawa Jeni pulang. Percayalah," ucap Wili kembali menegaskan niatnya.
"Oke, hati-hati," balas Karin singkat. Ia tak bisa bicara lebih banyak lagi. 'Entah apa yang tengah direncanakan, Jeni,' gumamnya.
Sementara kendaraan roda empat Wili telah berlalu menjauhi rumahnya. Karin segera masuk ke dalam rumah. Ia berjalan kembali menuju ruang makan dimana pikirannya tiba-tiba mengingat sesuatu yang berderakat di atas meha tadi.
Karin kembali memegang obat-obatan yang telah diminum, Jeni. Beberapa kaplet obat dalam genggamannya itu tampak kosng, sementara obat yang berbentuk cair pun terlihat kosong dengan dua botol yang terletak di atas meja.
Karin terbelalak. "Jangan-jangan Jeni memang sakit sungguhan karena pengaruh obat ini!" Ia berbicara sendiri dengan gelimang kecemasan di dalam dadanya.
Nafasnya tiba-tiba berhembus tak beraturan, Karin semakin gelisah karena Jeni dibawa pergi oleh Wili.
"Bagaimana jika Wili mengetahui semuanya? Apakah Jeni sudah siap kehilangan kekasihnya? Ya Tuhan, apa pun yang akan terjadi nanti semoga Jeni dapat menerima konsekwensi dari perbuatannya itu," harap Karin semakin cemas. Ia tak bisa berbuat apa-apa, sementara Jeni dibawa ke Dokter yang mana pun ia tak mengetahuinya. Biarkan Jeni belajar atas ulahnya karena setiap pilihan akan ada yang harus di pertanggung jawabkan.
Saat ini, kendaraan roda empat milik Wili telah sampai di sebuah klinik Dokter 24 jam yang tak jauh dari kediaman Jeni. Hanya butuh sepuluh menit saja mereka sudah sampai di sana. Sengaja Wili tak membawa ke tempat yang jauh karena ia sudah tidak tega melihat Jeni yang terus saja meringgis kesakitan di sepanjang jalan menuju tempat dokter.
"Sus tolong saya!" Wili tampak memanggil salah satu petugas media untuk menyiapkan kursi roda untuk, Jeni.
Segera ia sampaikan kondisi terakhir yang menimpa kekasihnya itu. Dengan waut wajah cemas Wili mengurus pendaftaran dan administarsi untuk kekasihnya, sementara Jeni dengan cepat dibawa oleh dua orang petugas media ke ruang Dokter untuk segera diperiksa.
Wili tampak gelisah, ia menunggu Jeni di luar ruangan Dokter yang tengah memeriksanya. Karena Wili hanya mengaku sebagai teman, maka Dokter tak memperbolehkannga masuk ke ruang pemeriksaan.
Di ruangan Dokter, Jeni tengah di periksa bagian perutnya dengan alat ultrasonografi yang dapat memperlihatkan isi perutnya. Nampak jelas yang terlihat pada layar monitor yang berada di samping Jeni, isi perutnya memang tengah bermasalah.
"Ada obat keras yang telah anda minum sehingga membuat janin anda terganggu," ucap Dokter saat selesai memeriksa perut Jeni.
Jeni terkejut dengan bola mata terbelalak.
'Apa janin ini berhasil gugur dan akan segera keluar?' pikiran Jeni langsung tertuju pada kehamilannya yang tak diinginkan. Wajahnya gelisah ingin segera mendengar penuturan Dokter selanjutnya. Dengan kedua tangan yang kembali menekan perut, Jeni masih tampak menagan rasa sakitnya.
"Perut saya sakit, Dok. Saya minum obat nyeri untuk meredakan sakit. Lalu, bagaimana dengan kandungan saya?" Jeni segera bertanya tanpa ingin lagi basa-basi. Ia sudah memastikan bahwa Wili tak ada di ruangan itu sehingga ia bisa leluasa bertanya walau dengan keadaan sakit yang luar biasa.