Unduh Aplikasi
23.07% UnReach / Chapter 6: 6. Dear Tobias

Bab 6: 6. Dear Tobias

Jam pelajaran pertamaku di kelas sejarah benar-benar kacau, materi yang diajarkan tidak masuk ke dalam otakku sama sekali. Aku tak bisa konsentrasi dengan baik, bagaimana ini?

Melirik pada catatanku yang berantakan, aku mendesah pelan dan berpikir untuk menenangkan diri di toilet. Tapi, baru saja bangkit dari duduk, seseorang merangkul pundakku dari belakang. Sosok pemuda bongsor yang sangat aku kenali.

"Tobias!" ah.. aku lupa kami satu kelas.

"Halo Maaariie!" Sapaan khas yang menjadi kebiasaannya sejak kami berada di taman kanak-kanak dulu.

Memang agak aneh jika dipikir-pikir, sikap manjanya seperti anak-anak, tapi tubuhnya benar-benar sudah seperti pria dewasa. Tingginya hampir menyentuh 190 cm, tubuhnya besar dan otot-ototnya nyaris terbentuk. Aku tak heran soal itu, dia mengikuti kegiatan klub football dan termasuk pemain inti dari sekolah ini.

"Marie, makan siang nanti seperti biasakan?" Ia menarik rangkulan tangannya hingga membuat tubuhku mendekat dengan cepat dan membentur sisi dadanya yang bidang.

"Iya iyaa, aku juga bawakan cookies coklat yang aku buat kemarin."

"Luar biasa! Kau memang yang terbaik! Ayo kita ke kelas sains bersama!" Tobias bangkit dan menarikku keluar ruangan.

Dia adalah sahabatku sejak kecil, kami selalu bersama. Dan anehnya dia selalu bisa mendapatkan kelas yang sama denganku. Hanya satu hal yang tidak aku sukai darinya, meski aku berusaha untuk memakluminya.

Tobias ini sangat pemaksa.

***

"Marie, kenapa hari ini makanmu sedikit sekali?" Tobias mendekatkan wajahnya padaku. Lamunanku seketika terhenti. aku bahkan sampai bisa melihat dua tanda lahir di keningnya.

Sejujurnya sejak aku duduk di kursi kantin aku sedang membayangkan dan memikirkan cara bagaimana mengembalikan helm milik Michael. Tapi, Tobias berhasil membuat semua rencana yang aku rancanh dalam benakku terhempas entah kemana. Dan sialnya aku langsung melupakannya begitu saja.

"Tobi, wajahmu terlalu dekat!" Aku mendorong wajah Tobias mundur, ia kembali duduk dan menggigit sandwichnya sambil tertawa.

"Aku lihat kau sangat tidak berkonsentrasi Marie." Ia kembali bersuara tapi tak melihat ke arahku. Mengunyah makanannya sedangkan pandangannya mengedar pada seisi ruangan kantin sekolah yang luas dan ramai, "beberapakali aku lihat kau menggaruk garuk kepala atau jangan-jangan ada kutu di rambutmu?!"

"Jangan bercanda! Kalau kau punya waktu untuk mengawasiku, kenapa kau tidak gunakan untuk mendengarkan guru bicara dan memperbaiki catatanmu." Aku menjawab ketus. Tobias sendiri hanya cengengesan, sembari kembali menggigit sandwichnya yang kini tinggal separuh.

Kami terbiasa bercengkrama. Bagiku hanya Tobias teman laki-laki yang bisa dengan santai aku ajak bicara, kami terbiasa saling ejek, marah kemudian kembali berbaikan lalu kembali saling ejek. Tapi kami saling mendukung dan memberikan saran satu sama lain.

Tobias bagiku adalah sahabat terbaik sepanjang hidupku. Tobias jugalah yang berhasil lolos begitu saja dari ketatnya ibuku terhadap orang-orang yang akan berteman denganku.

Bisa aku pastikan karena Tobias adalah anak dari rekan ayah dan teman masa sekolah ibuku. Lalu latar belakang keluarga kami yang sama. Terlepas dari itu, kepribadian Tobias memang sangat hangat dan menyenangkan.

"Hei sejak kau diperbolehkan tinggal sendiri aku jadi kesepian. Jika aku ingin bermain denganmu dan mengunjungimu. Si penyihir itu akan mengutukku." Wajah Tobias terlihat sangat masam ketika menyebut 'si penyihir'. Itu membuatku tertawa.

Siapa lagi yang ia juluki penyihir kalau bukan pamanku. Lucu sekali jika mengingat paman dan tobias yang tak pernah bisa akur jika bertemu.

Ya, pamanku adalah guru kimia di sekolah ini. Dia sangat pandai, tampan dan juga brengsek. Bisa aku katakan begitu karena pamanku suka sekali bergonta-ganti wanita. Itu yang membuat ibuku dan ayahku tidak terlalu bisa akrab dengannya.

Tentu saja tobias juga.

Pamanku sangat protektif terhadapku. dia berkata 'jika ada pria yang ingin menyentuh Maria, maka ia harus menyentuhku dulu'. Entah apa maksudnya itu. Yang jelas itu adalah hal yang tidak patut untuk dilakukan oleh anak baik sepertiku.

Karena itulah, tobias agak kesulitan untuk bisa mengunjungiku di rumah yang sementara itu.

"Ada soal yang sulit sekali aku mengerti dan aku ingin kita belajar bersama." Tobias kembali bicara setelah menghabiskan semua makanan dan menyeruput sekotak jus jeruk.

"Sejujurnya aku mau sekali, tapi hari ini aku harus pergi ke suatu tempat." Ya.. aku harus mengembalikan helm si malaikat teledor, Michael.

"Kemana? Boleh aku mengantarmu?" Tawaran tobias sejujurnya adalah hal yang sangat amat membantuku. Terutama tentang menghadapi premanisme disana nanti. Tapi, jika aku pergi dengan Tobias dan Tobias tahu tujuanku adalah sebuah bar dan menemui pemuda pirang yang bekerja di sana. Entah apa yang akan terjadi.

Bisa berbahaya jika ternyata Tobias malah menceritakannya pada ayah dan ibuku.

Jadi aku tolak.

"Tidak Tobi, lain kali kita akan pergi bersama dan makan malam bersama oke. Tapi hari ini tidak bisa."

Kilauan mata Tobias, sekelibat tadi membuatku silau. Seakan sebuah janjiku yang barusan aku ucapkan tak boleh aku lupakan dan harus aku kabulkan suatu saat nanti.

"Oke kalau begitu. Hati-hati ya Marie! Oh ya! Cookiesnya aku bawa ya." Ia beranjak pergi meninggalkan aku yang belum berhasil menyelesaikan makan siangku.

Tentu saja dengan cepat aku memakannya, jam istirahat akan segera berakhir.

***

Aku sedang berada di kamar. Memilih dan memilah pakaian yang sekiranya jika aku kenakan, maka aku akan terlihat seperti wanita dewasa. Sayangnya.. semua pakaian yang aku miliki, sangat standar pelajar gemilang. Kau tahu maksudku?

Kemeja, rok selutut, rompi, jaket rajut, celana jeans itu pun tak ketat sama sekali. Semua pakaian yang ibuku belikan hanya berdasarkan apa yang ingin ia lihat dari diriku. Bukan karena aku menginginkannya.

Kenapa aku sangat ingin terlihat dewasa kali ini? Tidak.. bukan untuk menggaet Michael dan berharap ia terpesona. Tidak sama sekali. Tapi belajar dari yang telah terjadi. Aku harus terlihat dewasa agar aku tak diganggu para preman, juga agar bisa memasuki bar.

Memangnya ada pelajar yang diperbolehkan masuk ke dalam sebuah bar?

Setelah sekian jam. Setumpuk pakaian yang menggunung ada di atas ranjangku. Ah.. aku benci sekali. Aku harus melipatnya kembali dan menatanya dalam lemari. Ini seperti kerja dua kali.

Akhirnya sebuah celana jeans dan kemeja motif kotak-kotak merah menjadi pilihanku, dengan sangat terpaksa. Ada sebuah gaun putih, tapi mana mungkin aku pakai itu kan?! Yang benar saja!

Sedikit riasan aku poleskan pada wajahku, setidaknya aku harus terlihat lebih tua agar tak dicurigai. Aku cekikikan melihat cermin. Ini seperti permainan detektif yang sedang menyamar.

Setelah memakai jaket putih kesayangan, dan menggerai rambut. Aku memasukan helm besar itu ke dalam ransel. Dan bergegas pergi keluar.

Lucu sekali, aku berpikir bahwa aku akan berpetualang sekarang. Dasar anak rumahan.

***


Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C6
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk